Serdadu Rindu
Kumpulan-kumpulan abstrak
Absurd, tak berbentuk
Lambat laun mengoyak batin
Memaksa ingatan untuk kembali
Bak film yang diulang-ulang
Mengiris hati, menusuk nurani
Serdadu rindu
Berbaris di antara memori abu-abu
Serdadu rindu
Menyendat langkah padu
Berhenti untuk nostalgia masa lalu
Sekedar menguapkan pilu
Serdadu rindu
Di antara imaji semu
Di antara abu-abu
Melengkungkan senyum haru
Citra PNegari
26/03/2014
Sabtu, 20 September 2014
Ajari Aku [1]
Halooo? akhirnya bisa selo aka punya waktu luang.
Semenjak ppsmb udah jarang lagi buka blog. Mana setelah itu kehidupan kampus dimulai, jadi makin nggasempet buka blog absurd ini. Akhirnya kesampaian selo beberapa hari sebelum nanti praktikum anatomi lagi *pukul pala pake femur sapi*
Jadi ini cerita yang kemarin dulu itu ada trailernya. Nih, enjoy yaaa~~
**
Semenjak ppsmb udah jarang lagi buka blog. Mana setelah itu kehidupan kampus dimulai, jadi makin nggasempet buka blog absurd ini. Akhirnya kesampaian selo beberapa hari sebelum nanti praktikum anatomi lagi *pukul pala pake femur sapi*
Jadi ini cerita yang kemarin dulu itu ada trailernya. Nih, enjoy yaaa~~
**
SATU: HOW THEY MET
Label:
ajari aku,
cerbung,
fan fiction
Jumat, 19 September 2014
Poci Teh Tiara
Sejak seminggu lalu, ia jadi gemar
lewat di depan toko perkakas rumah tangga yang baru saja buka itu. Dengan mata
membulat antara penasaran, kagum, dan keinginan untuk membeli, Tiara memandangi
etalase toko yang memajang seperangkat peralatan minum teh. Hari ini pun, ia
melakukannya lagi. Melewati toko itu dengan pandangan terpana pada etalase
tokonya. Bahkan, gadis yang baru saja masuk SMA itu melambatkan langkahnya
hanya agar ia bisa lebih lama memandang perangkat minum teh itu.
Tiara menghela napas berat saat ia
sudah berjalan melewati toko perkakas rumah tangga itu. Ia kemudian merogoh
saku roknya. Keluarlah selembar dua ribuan dari kantong gadis itu. Uang saku
tiara hari ini, bukan yang tersisa tapi memang itulah uang saku Tiara. Tiara
memasukkan uangnya itu ke saku lagi. Gadis itu kemudian menggunakan jarinya
untuk menghitung.
“Sudah lima hari, berarti sudah
sepuluh ribu. Kurangnya...” Tiara menepuk dahinya pelan. Kalau begini terus
caranya, poci teh dan cangkir-cangkir lucu tidak akan pernah sampai ke
tangannya. Tiara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Harus ya gue part time?” tanya
gadis itu pada dirinya sendiri. Bayangan poci teh itu melintas di benak Tiara.
Iya, Tiara harus part time! Batin gadis itu mantap.
**
Tiara sedang mengaduk air yang ia
campur dengan tanah. Setelah itu gadis cilik itu beralih pada panci mainan yang
berisi daun –yang juga telah dicampur air—juga dengan piring mungil tempat ia
meletakkan tanah yang sudah tersusun menjadi kue-kue nan.
“Pesanan siap!” seru Tiara riang.
“Iya, selamat makan.” Jawab Tiara
sendiri. Memang selalu seperti ini, Tiara bermain sendirian. Tidak ada anak
seusianya di kompleks perumahan yang baru ia tinggali kurang lebih enam bulan
dengan Ayah dan Bunda. Tapi, Tiara tidak pernah merasa sendiri. Semuanya
baik-baik saja, ia bahagia. Untuk gadis berusia tujuh tahun dengan Bunda yang
pandai mendongeng serta Ayah yang selalu menuruti apapun keinginannya bukankah
itu cukup? Teramat cukup malah. Iya, begitulah yang ada di benak Tiara remaja
saat ini.
“Tiara, Ayah pesan tehnya satu,”
kalimat yang langsung membuat gadis berpipi tembam itu menoleh dari ‘sup’
buatannya. Gadis itu mengangguk riang lalu mulai meracik ‘teh’ di cangkir
mungilnya. Ini kali pertama Ayah main dengannya setelah pindah rumah. Dengan
sumringah, Tiara menghantarkan teh itu kepada Ayah. Ayahpun sama menerimanya
dengan senyuman yang paling lebar yang pernah Tiara lihat.
“Silakan.” Ujar Tiara dengan mata
bulatnya yang menggemaskan. Ayahpun mengangguk –masih dengan senyum
lebarnya—lalu pura-pura menyeruput teh itu. Tiara tergelak saat Ayah membuat
bunyi ‘slurrp’, rasanya ia adalah anak paling bahagia saat itu. Ayahpun ikut
tergelak lalu menarik anak gadisnya itu ke dalam pelukannya. Pelukan yang
ternyata menjadi pelukan terakhir Ayah untuk Tiara. Karena setelah itu,
hari-hari selanjutnya, Ayah tidak pernah pulang. Saat Tiara bertanya pada
Bunda, Bunda malah mendelik kesal pada gadis kecilnya dan turut serta
menghilang dari hidup Tiara kecil. Meninggalkan gadis berusia tujuh tahun itu sendirian
hingga akhirnya asisten rumah tangganya merawatnya hingga sekarang.
**
Tiara memegang dadanya yang
tiba-tiba sesak mengingat masa lalunya. Masa yang sudah terjadi delapan tahun
lalu. Efeknya masih sama, mengingatnya membuat Tiara tertawa lalu menangis
sejadi-jadinya.
“Neng? Eneng Tiara kenapa?” suara
lembut itu membelai telinga Tiara, Ibu, asisten rumah tangganya dulu, yang kini
berusaha keras membesarkannya.
“Tiara nggak apa-apa kok, Bu.” Sahut
Tiara parau. Ibu menarik napas pelan, Tiara bohong.
“Eneng kangen Ayah sama Bunda, eneng
ya?” tanya Ibu retoris. Tiara mengangguk samar lalu berlari menuju ibu yang
berada di ujung pintu.
“Tapi Tiara nggak mau sedih. Kalau
Tiara sedih nanti Ibu sedih, kalau Tiara buat Ibu sedih nanti Ibu pergi. Tiara
nggak mau Ibu pergi.” Rengek gadis itu. Ibu mengelus puncak kepala Tiara. Ia
tahu seberapa getir masa kecil Tiara. Masa dimana semuanya harusnya sempurna
malah hancur begitu saja. Keegoisan orang tuanya membuat Tiara kecil menderita
walau tak kasat mata.
“Eneng, sabar ya. Ayah sama Bunda
eneng pasti kembali. Kembali untuk eneng Tiara.” Entah sudah berapa kali Tiara
mendengar Ibu berkata seperti itu untuk menenangkannya, untuk meyakinkannya.
“Yang penting eneng sabar. Eneng
percaya kan sama takdir Allah? Takdir Allah tidak pernah salah neng, dan takdir
Allah pasti datang di waktu yang tepat buat eneng, iya kan?” Tiara mengangguk.
“Iya, Bu. Tiara percaya. Selalu.”
*
Tiara mencuci tumpukan piring itu
dengan telaten. Inilah pekerjaan yang bisa ia dapatkan. Memang sih berat,
mencuci piring di sebuah rumah makan waralaba, tapi hasilnya lumayan besar
sehingga dengan cepat, tabungannya bertambah dan perangkat teh itu akan segera
berpindah ke tangannya. Selain itu, hasil dari kerja sampingan ini bisa membantu
Ibu memenuhi kepentingan sehari-hari mereka.
“Tiara, kemari.” Panggil seorang
pria muda dengan tulisan ‘manager’ di atas saku kiri kemeja hijau-kuningnya.
Tiara menghentikan pekerjaannya lalu berjalan menuju manajernya itu.
“Iya, Pak. Ada apa?” tanya Tiara
pelan. Pria muda itu tersenyum ramah.
“Ini gaji kamu sesuai perjanjian
kita dua bulan lalu.” Ujar pak Manajer sambil memberikan amplop kepada Tiara.
Tiara mengangguk senang.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih
banyak.” Ujar gadis itu riang. Kerja keras gadis itu terbayar, kini dengan uang
hasil pekerjaan sampingannya itu, ia bisa membeli perangkat minum teh yang ia
impikan sejak lama.
*
Tiara keluar dari toko perkakas
rumah tangga dengan sebuah plastik besar pembungkus perangkat minum tehnya.
Sepanjang jalan pulang, gadis itu tak hentinya tersenyum. Akhirnya ... ia bisa
punya perangkat teh sungguhan. Sesampainya di rumah, gadis itu langsung
mengeluarkan kardus dari plastik besarnya tadi. Dengan hati-hati, ia membongkar
kardus itu dan mengeluarkan poci teh dan cangkirnya.
Tiara lalu sibuk merebus air dan
juga menyiapkan teh dan gula. Setelahnya, dengan telaten ia menata rapi
cangkir-cangkirnya. Lalu, setelah airnya matang, gadis itu mulai meracik
tehnya. Dengan sabar, dengan keriangan yang entah mengapa membuncah di hatinya,
dan juga dengan kepercayaan yang amat ia yakini. Suatu saat Ayah dan Bunda akan
kembali untuk memeluknya. Saat Tiara menyeduh teh untuk mereka berdua.
Selesai~~
Langganan:
Postingan (Atom)