Sabtu, 20 September 2014

Serdadu Rindu

Serdadu Rindu

Kumpulan-kumpulan abstrak
Absurd, tak berbentuk
Lambat laun mengoyak batin
Memaksa ingatan untuk kembali

Bak film yang diulang-ulang
Mengiris hati, menusuk nurani
Serdadu rindu
Berbaris di antara memori abu-abu

Serdadu rindu
Menyendat langkah padu
Berhenti untuk nostalgia masa lalu
Sekedar menguapkan pilu

Serdadu rindu
Di antara imaji semu
Di antara abu-abu
Melengkungkan senyum haru

Citra PNegari
26/03/2014

Ajari Aku [1]

Halooo? akhirnya bisa selo aka punya waktu luang.
Semenjak ppsmb udah jarang lagi buka blog. Mana setelah itu kehidupan kampus dimulai, jadi makin nggasempet buka blog absurd ini. Akhirnya kesampaian selo beberapa hari sebelum nanti praktikum anatomi lagi *pukul pala pake femur sapi*
Jadi ini cerita yang kemarin dulu itu ada trailernya. Nih, enjoy yaaa~~

**


SATU: HOW THEY MET

Jumat, 19 September 2014

Poci Teh Tiara



            Sejak seminggu lalu, ia jadi gemar lewat di depan toko perkakas rumah tangga yang baru saja buka itu. Dengan mata membulat antara penasaran, kagum, dan keinginan untuk membeli, Tiara memandangi etalase toko yang memajang seperangkat peralatan minum teh. Hari ini pun, ia melakukannya lagi. Melewati toko itu dengan pandangan terpana pada etalase tokonya. Bahkan, gadis yang baru saja masuk SMA itu melambatkan langkahnya hanya agar ia bisa lebih lama memandang perangkat minum teh itu.
            Tiara menghela napas berat saat ia sudah berjalan melewati toko perkakas rumah tangga itu. Ia kemudian merogoh saku roknya. Keluarlah selembar dua ribuan dari kantong gadis itu. Uang saku tiara hari ini, bukan yang tersisa tapi memang itulah uang saku Tiara. Tiara memasukkan uangnya itu ke saku lagi. Gadis itu kemudian menggunakan jarinya untuk menghitung.
            “Sudah lima hari, berarti sudah sepuluh ribu. Kurangnya...” Tiara menepuk dahinya pelan. Kalau begini terus caranya, poci teh dan cangkir-cangkir lucu tidak akan pernah sampai ke tangannya. Tiara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
            “Harus ya gue part time?” tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Bayangan poci teh itu melintas di benak Tiara. Iya, Tiara harus part time! Batin gadis itu mantap.
**
            Tiara sedang mengaduk air yang ia campur dengan tanah. Setelah itu gadis cilik itu beralih pada panci mainan yang berisi daun –yang juga telah dicampur air—juga dengan piring mungil tempat ia meletakkan tanah yang sudah tersusun menjadi kue-kue nan.
            “Pesanan siap!” seru Tiara riang.
            “Iya, selamat makan.” Jawab Tiara sendiri. Memang selalu seperti ini, Tiara bermain sendirian. Tidak ada anak seusianya di kompleks perumahan yang baru ia tinggali kurang lebih enam bulan dengan Ayah dan Bunda. Tapi, Tiara tidak pernah merasa sendiri. Semuanya baik-baik saja, ia bahagia. Untuk gadis berusia tujuh tahun dengan Bunda yang pandai mendongeng serta Ayah yang selalu menuruti apapun keinginannya bukankah itu cukup? Teramat cukup malah. Iya, begitulah yang ada di benak Tiara remaja saat ini.
            “Tiara, Ayah pesan tehnya satu,” kalimat yang langsung membuat gadis berpipi tembam itu menoleh dari ‘sup’ buatannya. Gadis itu mengangguk riang lalu mulai meracik ‘teh’ di cangkir mungilnya. Ini kali pertama Ayah main dengannya setelah pindah rumah. Dengan sumringah, Tiara menghantarkan teh itu kepada Ayah. Ayahpun sama menerimanya dengan senyuman yang paling lebar yang pernah Tiara lihat.
            “Silakan.” Ujar Tiara dengan mata bulatnya yang menggemaskan. Ayahpun mengangguk –masih dengan senyum lebarnya—lalu pura-pura menyeruput teh itu. Tiara tergelak saat Ayah membuat bunyi ‘slurrp’, rasanya ia adalah anak paling bahagia saat itu. Ayahpun ikut tergelak lalu menarik anak gadisnya itu ke dalam pelukannya. Pelukan yang ternyata menjadi pelukan terakhir Ayah untuk Tiara. Karena setelah itu, hari-hari selanjutnya, Ayah tidak pernah pulang. Saat Tiara bertanya pada Bunda, Bunda malah mendelik kesal pada gadis kecilnya dan turut serta menghilang dari hidup Tiara kecil. Meninggalkan gadis berusia tujuh tahun itu sendirian hingga akhirnya asisten rumah tangganya merawatnya hingga sekarang.
**
            Tiara memegang dadanya yang tiba-tiba sesak mengingat masa lalunya. Masa yang sudah terjadi delapan tahun lalu. Efeknya masih sama, mengingatnya membuat Tiara tertawa lalu menangis sejadi-jadinya.
            “Neng? Eneng Tiara kenapa?” suara lembut itu membelai telinga Tiara, Ibu, asisten rumah tangganya dulu, yang kini berusaha keras membesarkannya.
            “Tiara nggak apa-apa kok, Bu.” Sahut Tiara parau. Ibu menarik napas pelan, Tiara bohong.
            “Eneng kangen Ayah sama Bunda, eneng ya?” tanya Ibu retoris. Tiara mengangguk samar lalu berlari menuju ibu yang berada di ujung pintu.
            “Tapi Tiara nggak mau sedih. Kalau Tiara sedih nanti Ibu sedih, kalau Tiara buat Ibu sedih nanti Ibu pergi. Tiara nggak mau Ibu pergi.” Rengek gadis itu. Ibu mengelus puncak kepala Tiara. Ia tahu seberapa getir masa kecil Tiara. Masa dimana semuanya harusnya sempurna malah hancur begitu saja. Keegoisan orang tuanya membuat Tiara kecil menderita walau tak kasat mata.
            “Eneng, sabar ya. Ayah sama Bunda eneng pasti kembali. Kembali untuk eneng Tiara.” Entah sudah berapa kali Tiara mendengar Ibu berkata seperti itu untuk menenangkannya, untuk meyakinkannya.
            “Yang penting eneng sabar. Eneng percaya kan sama takdir Allah? Takdir Allah tidak pernah salah neng, dan takdir Allah pasti datang di waktu yang tepat buat eneng, iya kan?” Tiara mengangguk.
            “Iya, Bu. Tiara percaya. Selalu.”
*
            Tiara mencuci tumpukan piring itu dengan telaten. Inilah pekerjaan yang bisa ia dapatkan. Memang sih berat, mencuci piring di sebuah rumah makan waralaba, tapi hasilnya lumayan besar sehingga dengan cepat, tabungannya bertambah dan perangkat teh itu akan segera berpindah ke tangannya. Selain itu, hasil dari kerja sampingan ini bisa membantu Ibu memenuhi kepentingan sehari-hari mereka.
            “Tiara, kemari.” Panggil seorang pria muda dengan tulisan ‘manager’ di atas saku kiri kemeja hijau-kuningnya. Tiara menghentikan pekerjaannya lalu berjalan menuju manajernya itu.
            “Iya, Pak. Ada apa?” tanya Tiara pelan. Pria muda itu tersenyum ramah.
            “Ini gaji kamu sesuai perjanjian kita dua bulan lalu.” Ujar pak Manajer sambil memberikan amplop kepada Tiara. Tiara mengangguk senang.
            “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.” Ujar gadis itu riang. Kerja keras gadis itu terbayar, kini dengan uang hasil pekerjaan sampingannya itu, ia bisa membeli perangkat minum teh yang ia impikan sejak lama.
*
            Tiara keluar dari toko perkakas rumah tangga dengan sebuah plastik besar pembungkus perangkat minum tehnya. Sepanjang jalan pulang, gadis itu tak hentinya tersenyum. Akhirnya ... ia bisa punya perangkat teh sungguhan. Sesampainya di rumah, gadis itu langsung mengeluarkan kardus dari plastik besarnya tadi. Dengan hati-hati, ia membongkar kardus itu dan mengeluarkan poci teh dan cangkirnya.
            Tiara lalu sibuk merebus air dan juga menyiapkan teh dan gula. Setelahnya, dengan telaten ia menata rapi cangkir-cangkirnya. Lalu, setelah airnya matang, gadis itu mulai meracik tehnya. Dengan sabar, dengan keriangan yang entah mengapa membuncah di hatinya, dan juga dengan kepercayaan yang amat ia yakini. Suatu saat Ayah dan Bunda akan kembali untuk memeluknya. Saat Tiara menyeduh teh untuk mereka berdua.
Selesai~~

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang