Sabtu, 20 September 2014

Ajari Aku [1]

Halooo? akhirnya bisa selo aka punya waktu luang.
Semenjak ppsmb udah jarang lagi buka blog. Mana setelah itu kehidupan kampus dimulai, jadi makin nggasempet buka blog absurd ini. Akhirnya kesampaian selo beberapa hari sebelum nanti praktikum anatomi lagi *pukul pala pake femur sapi*
Jadi ini cerita yang kemarin dulu itu ada trailernya. Nih, enjoy yaaa~~

**


SATU: HOW THEY MET

                Rio sibuk bersiul-siul sambil memandang garang ke mereka yang melintas di hadapannya. Rio sedang menunggu ‘mangsa’nya untuk dimintai rupiah yang seharian ini belum satupun masuk ke kantungnya. Rio mengetuk-etukkan jarinya di kursi kayu panjang yang ia duduki, seakan menghitung detik-detik terakhir mangsanya. Namun, sayang dari tadi belum ada satupun orang yang pas untuk dijadikan sasaran. Rio membuang pandangannya ke kiri, segerombolan remaja berbalut seragam putih abu-abu terlihat disana. Rio menghela napas sebentar.
                ‘buat apa sih inget-inget hal itu’ batinnya kesal. Rio lalu kembali ke fokus sebelumnya, jalanan di depannya.
                “Sepi boss?” tanya seorang cowok berambut kribo yang asyik menjilat permen kakinya. Rio mengangkat kedua alisnya, iuh batinnya. Di samping cowok kribo itu ada seorang lagi dengan rambut Mohawk dan celana jins bolong-bolong asyik menyetem gitarnya.
                “Habis darimana lo berdua?” tanya Rio sambil merebut gitar dari si rambut Mohawk. Si rambut Mohawk itu mendelik kesal.
                “Beli senar buat si Tarra”
                “Tarra? Cewek lo?” tanya Rio sambil memetik senar gitar si Mohawk. Si rambut Mohawk itu mendelik lagi. Bukannya sudah berulang kali ia memberi tahu si Rio siapa itu Tarra. Dasar, memang bossnya tidak pernah peduli pada urusan orang lain. Bagus sih, tapi nggak gitu juga keles!
                “Yaelah boss. Mana adalah si Debo punya cewek. Tuh tarra ya yang lagi dipetik boss.” Jelas pemuda kribo sambil terkekeh pelan. Rio menepuk dahinya, ia baru ingat kalau Tarra itu nama gitar si Mohawk – umm, Debo—.
                Well, mari kita beramah tamah sebentar. Memperkenalkan tiga orang yang bercakap-cakap di paragraph sebelumnya. Kita mulai dari si Kribo, yang paling kecil di antara ketiganya. Tidak berniat mempunyai rambut kribo, niat awalnya menjadi gondrong dan jadi keren, eh rambutnya malah tumbuh ke atas seperti brokoli. Namanya Baskoro tapi karena ia rasa nama itu terlalu cupu dan tidak cocok untuk kehidupannya yang sekarang bisa dibilang keras ia memakai nama Bastian. Oiya, mengingat dia yang paling kecil dia yang biasanya dijadikan pembantu dadakan oleh dua temannya.
                Yang kedua, si rambut Mohawk. Namanya Debo, pemuda yang sebenarnya lugu namun tiba-tiba terikat dengan Baskoro umm Bastian karena sebuah kecelakaan kecil yang dulu menimpanya. Debo yang kala itu membantu pamannya berdagang bakso tiba-tiba ditabrak Bastian. Sebagai ganti rugi, Debo meminta dibelikan gitar oleh Bastian –yang kala itu langsung disembur pamannya, ‘bukannya minta gerobak bakso malah minta gitar. Beleguk sia’—ya, si Tarra itu pemberian Bastian. Semenjak itu terobsesi menjadi gitaris band rock sampai mengubah gaya rambutnya menjadi Mohawk. Dan juga membuang jauh raut lugunya yang dulu.
                Yang terakhir last but not least…
                Yang kerap dipanggil Bastian dan Debo ‘boss’ meskipun ia sendiri tidak pernah meminta untuk dipanggil seperti itu. Yang paling misterius di antara ketiganya, namanya Rio. Tidak ada yang tahu masa lalunya. Sudah, segitu saja tentang si Boss. Ketiga orang ini bukan preman, bukan tampang mereka memang berandal. Mereka hanya orang jalanan, tinggal di jalanan yang keras. Daripada memalak mereka lebih suka mengamen. Kala mengamen pun mereka tak menginginkan uang. Ketiganya hanya suka bernyanyi dan memetik gitar. Well, walaupun Rio terkadang suka menagih rupiah pada anak sekolah yang lewat di depannya. Oh, ya satu tambahan mengenai Rio, ia selalu menatap tak suka pada SMA entah untuk alasan apa. “mungkin itu kenapa boss malak, dia nggak suka anak SMA” celetuk Debo polos saat sedang ngobrol dengan Bastian tentang kebiasaan Rio.
                “Boss, kita cabut dulu ya?” pamit Bastian pada Rio. Debo di sebelah Bastian hanya tersenyum lemah sambil menatap Tarra yang masih di pangkuan Rio.
                “Nih. Nggak usah melas gitu mukanya.” Rio menyerahkan Tarra pada Debo.
                “Dadah boss.” Bastian pun dengan hebohnya melambai kea rah Rio yang menatapnya, oh-plis-gue-nggak-kenal-lo.
                Selepas Bastian dan Debo pergi, Rio menatap kea rah seorang yang tengah berjalan ke arahnya dengan ketar-ketir. Rio tersenyum miring, anak SMA, batinnya senang. Ya, setidaknya bertambahlah korban palaknya hari ini. Pelaris, eh?

*
Sofia menyesal tidak mengiyakan ajakan Raynald pulang bersama siang ini. Dengan sok jual mahal, Sofia malah melenggang pergi saat Ray menawarkan diri mengantarnya pulang.
“Gue bisa pulang sendiri, Ray.” Ujar Ify tadi sambil berjalan layaknya Cinderella yang terburu-buru meninggalkan pangerannya karena sudah jam dua belas malam.
Dan sekarang Ify menyesal setengah mati, coba saja kalau iya duduk manis di jok sebelah Ray pasti ia sudah di rumah asyik dengan novel-novelnya. Tapi, sekarang? Jangankan sampai rumah, Ify malah berjalan kaki karena bus yang tadi ia tumpangi mendadak mogok. Mana jalan yang dilalui Ify kali ini terkenal dengan preman yang garang. Ify kan ngeri. Seumur hidup, ia tidak pernah bertemu preman. Bagi gadis itu, preman hanyalah mitos. Tapi? Sekarang Ify percaya preman itu ada. Ia kini melihatnya, beberapa meter dari tempatnya berdiri sekarang. Dan nampaknya si preman peka akan kehadirannya.
Ify sudah ketar-ketir, sempat berpikir untuk putar balik. Tapi, akan terlalu lama.
“Ify, itu jalanmu satu-satunya.” Ify bergumam sendiri.
“Face it. Itu Cuma preman.” Ujar Ify enteng. Oke, ternyata kalimat-kalimat itu berefek pada kepercayaan diri Ify. Dengan langkah mantap, gadis yang masih berbalut seragam SMA itu meneruskan langkahnya. Tidak peduli ia akan dibully si preman, yang ada di pikiran Ify ‘itu Cuma preman, and he may not smarter than me, haha’
“Heh! Bocah!” hardik pemuda yang tengah duduk di kursi kayu. Ify melenggang cuek, bukan dia kok yang dipanggil. Ify kan bukan bocah lagi, keep walking Ify. Rio –pemuda tadi—menggeram pelan, besar juga nyali gadis yang baru saja lewat. Rio segera mencekal pergelangan tangan Ify. Ify tercekat, ada yang aneh, bukannya merasa terancam Ify malah merasa…. Ah sudahlah.
“Apa lo?” sahut Ify nyolot dan berusaha melepaskan cekalan tangannya. Pemuda di depan Ify tersenyum miring dan menatap tajam mata Ify. Lagi-lagi, bukannya merasa terancam, Ify merasa…
“Bagi duit.” Hardik Rio cepat, khasnya jika sedang memalak orang. Ify tidak merogoh saku atau dompetnya untuk memberikan rupiahnya untuk Rio. Gadis itu malah balas menatap Rio tajam.
“Atas dasar apa gue harus ngasih uang gue ke elo?” sanggah Ify sambil terus berusaha melepaskan cekalan Rio. Rio menatap Ify semakin tajam, Ify agak ngeri sebenarnya tapi ia tak mau kalah dalam hal ini. Ia juga menajamkan tatapannya.
“Apa ini termasuk pajak? Retribusi? Idihh.” Ify mengubah nada bicaranya, kedengaran seperti mengejek.
“Pajak apa retribusi mah masih ada untungnya. Masih ada hal yang layak dibalik gue nyerahin duit gue buat itu. Lah elo?” Ify menatap Rio tajam, gadis itu tak ada niat untuk menghentikan ucapannya. Pelan-pelan, cekalan di tangannya mengendur. Rio melepaskannya, ify merasa menang.
“Elo Cuma sampah masyarakat, haha.” Ledek Ify, yang merasa menang. Ify tidak sadar kalau sekarang Rio sedang mengepalkan tangannya. Mungkin kapan saja ia bisa menghajar Ify, tidak peduli apapun gender Ify, tak peduli akan dicap apa ia nanti. Yang jelas, gadis di hadapannya ini berhasil membuat darahnya mendidih.
“Coba lo ulangi sekali lagi?” Rio kini mencengkeram bahu Ify kuat-kuat. Ify sedikit tercekat dan rasa panic mendadak menghinggapinya. Tenang, Ify, those with brain are braver, stronger than those with muscle, rapal Ify dalam hati.
“Sampah masyarakat! Dia yang selalu menggunakan otot untuk mengintimidasi yang lain, bahkan mungkin otaknya juga digunain buat hal yang sama.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Ify. Hal yang sebenarnya disesali Ify. Sepintar-pintar Ify, Ify nol besar dalam hal bela diri. Jadi, mungkin besok nama Ify akan ada di head line koran, sebagai korban preman. Ify kini menggigit bibir bawahnya, rasa takut itu baru muncul saat mata pemuda itu menusuk bola matanya. Ify takut setengah mati.
“CK!” pemuda di depan Ify berdecak keras lalu melepas pegangannya pada Ify lalu melenggang begitu saja. Ify baru bisa bernapas lega, saat pemuda itu hilang dari pandangannya. Rasa lega mulai menjalari dirinya, tapi selain itu rasa ingin tahu gadis berdagu tirus itu mencuat seketika. Tentang preman tadi, Ify merasa ada yang beda dari dirinya, bisa saja di balik kebrandalannya menyimpan rahasia. Tentang dia dan hidupnya.
**
Setelah kejadian siang hari minggu lalu, Ify selalu menerima tawaran teman-temannya untuk pulang bersama, naik bus atau naik motor mereka, Ify terima. Tapi yang paling sering menawarkannya tumpangan adalah Raynald. Cowok dengan rambut yang sudah hampir mencapai bahu, gondrong. Di sekolah Ify memang terserah sih mau laki-laki atau perempuan bergaya rambut apapun, asalkan rapi dan sopan, silakan berangkat ke sekolah.
“Ify?” panggil Ray, saat Ify baru keluar dari kelasnya.
“Hari ini kita nggak bisa pulang bareng deh. Anak-anak ngajakin nge-jam.” Ujar Ray saat mendapat perhatian penuh Ify. Ify mengangguk mengerti lalu menepuk pundak Ray.
“Iya, nggak apa-apa. Coverin gue lagu ya, Ray?” balas Ify. Ray mengangkat kedua jempolnya lalu berpamitan pada Ify.
Ify segera memasuki bis yang berhenti di halte depan sekolahnya. Ia segera mencari-cari tempat duduk. Beruntung, bis yang ia tumpangi sekarang tidak penuh, lengang sekali malahan dan juga berisikan anak-anak dari sekolahnya, Ify jadi merasa aman.
“Selamat siangg!!” suara cempreng itu menggelegar memenuhi ruangan bis. Ify melongok dari tempat duduknya, didapatinya dua orang cowok dengan rambut kribo dan yang satunya Mohawk. Si Mohawk menenteng gitar.
“Untuk mengisi kekosongan di bis ini. Kita disini mau nyanyi buat sekedar menghibur teman-teman,” ujar si Kribo riang. Ify kembali membetulkan posisi duduknya lalu melihat ke arah jendela, melihat jalanan yang selalu penuh sesak.
Melihat tawamu, mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku, warna-warna indahmu
Ify masih termangu memandang ke luar, suara syahdu dua orang tadi membuat Ify makin terlarut dengan pemandangan kendaraan yang bersalipan untuk mencapai tujuan.
Saat kau di sisiku, kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu, anugerah terindah yang pernah kumiliki
Ify menoleh ke arah cowok tadi, penasaran suara siapa yang teramat merdu membelai pendengarannya. Begitu menoleh kea rah depan, mata Ify membulat sempurna. Itu kan…
**
Rio melanjutkan lirik yang ia nyanyikan sumringah, ini salah satu lagu favoritnya. Sambil terpejam, ia coba menghayati lagu ini setiap menyanyikan.
Tegaskan bahwa kamu, anugerah terindah yang pernah kumiliki
Begitu menyelesaikan lirik itu, Rio membuka matanya. Dan berbarengan dengan itu sepasang mata yang membulat sempurna tengah menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca. Itu gadis yang minggu lalu yang mengatainya tidak berotak. Rio tersenyum miring padanya, dan gadis itu kembali ke posisi semula, tak lagi menatap Rio.
“Udah boss?” tanya Bastian polos. Rio tak menjawab, malah melenggang pergi dan melompat turun dari bis yang untungnya sedang berjalan pelan. Bastian mengedikkan bahu bingung saat Debo bertanya ‘boss kenapa?’
Saat bis benar-benar berhenti di halte. Barulah Bastian dan Debo turun dengan membawa recehan yang mereka dapatkan.
“Lumayanlah buat beli es teh.” Gumam Debo sambil terkekeh pelan. Bastian memutar bola matanya malas, pikiran debo hanya berputar pada dua hal; Tarra dan es teh. Dasar!
“Tunggu! Tunggu!” teriakan seorang gadis membuat debo dan Bastian berhenti dan menoleh. Seorang siswi dari bus tadi juga rupanya, yang tadi memberi mereka selembar 5000 pada mereka.
“Ada apa mbak?” tanya Bastian sopan. Gadis tadi sedikit kaget mendengar Bastian berucap begitu sopan. Gadis tadi menggeleng.
“Aku Ify, kalau kalian?” ujar Ify memperkenalkan diri. Debo dan Bastian berpandangan bingung. Tapi, mereka memberi tahu Ify siapa mereka.
“Aku mau nanya. Cowok yang nyanyi tadi siapa?” tanya Ify begitu Bastian dan Debo berhenti mengolok nama masing-masing bergantian.
“Itu tadi Boss Rio.” Jawab Debo. Ify mengangguk.
“Rio.” Kini Ify yang melafalkan nama singkat itu. Nama singkat seseorang yang mungkin punya cerita yang tidak sesingkat namanya. Nama pemuda yang membuat Ify ingin tahu siapa dia sebenarnya…

**

Sudah ya. Sesingkat ini dulu. Untuk kapan nge-postnya belum tau setiap hari apa. Kalau selo pasti dipost kok. Maklumin aja ya, namanya juga maba, sibuk sana-sini mencari jati diri di kampus ^^
Jangan lupa comment nya
Oiya, di follow juga boleh lhoo @citr_ 
Makasih <3

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang