akhirnya aku mampir kesini, udah sebulanan lebih wkwk ya habis gimana lagi, sesudah UTS seluruh praktikum menyerang uhh *curhat* dan cerita ini semakin untouchable maapin yaak :( tapi se-selonya aku akan melanjutkan cerita ini karena I have to finish what I had started xD
DUA: INVESTIGASI
DIMULAI!
Rio. Hanya tiga huruf yang Ify
punya sebagai petunjuk. Petunjuk lain ia preman di pengkolan yang tiap hari
kerjaannya memalak anak SMA. Petunjuk lain lagi, punya dua anak buah bernama
Bastian dan Debo. Lainnya? Ify tidak tahu. Darimana asalnya? Latar belakangnya
apa? Tunggu, kenapa jadi seperti wawancara kerja begini.
“Ify? Ngelamun aja deh. Mikirin Ray pasti, hehe.” Goda Acha, teman semeja
Ify. Ify mengerjap lalu mencubit lengan Acha pelan.
“Sok tau banget sih.”
Dengusnya kesal. Acha tertawa puas di sebelah Ify. Sementara Ify masih merengut
dan melamun lagi, memikirkan ... Rio.
“Kalau bukan Ray siapa dong?” tanya Acha jahil.
Ify merengut lagi lalu beralih dari tempat duduknya. Acha bisanya Cuma ganggu
doang sih, err. Acha terkekeh saat Ify beranjak begitu saja. Dasar, Ify tukang
ngambek.
Ify beralih menuju taman di depan kelasnya yang
kebetulan sepi. Iya, ini masih jam KBM tapi kelas Ify sedang kosong jadi deh
Ify menepi disini.
Rio
Nama itu melintas di pikiran Ify kemudian disusul
wajah galaknya. Lalu wajah teduh Rio saat bernyanyi. Ify mengerjap,
menghilangkan bayang Rio yang memutari otaknya.
“Aneh!” ujar gadis itu.
“Apa yang aneh, Fy?” sahut cowok berambut gondrong
yang tiba-tiba saja sudah ada di depan Ify.
“eh, Ray?” Ify kaget dan kikuk mendapati cowok itu
di depannya.
“Apanya yang aneh, Fy?” Ray mengulangi
pertanyaannya. Ify mengusap pelan pelipisnya, pura-pura berpikir lalu
menggeleng.
“Cerita aja kali, Fy. Soal cowok pun gue dengerin,
hehe.” Ujar Ray santai sambil memposisikan dirinya di sebelah Ify. Ify tertegun
mendengarnya. Seluruh kelas bahkan sepertinya kelas sebelah juga tahu kalau Ray
ada perasaan untuk Ify. Tapi Ify tidak pernah menganggapnya serius hingga kadang-kadang
ada yang berbisik di belakang kalau Ify sok jual mahal.
“Duh, Ray. Belum capek telinga lo dengerin
orang-orang yang nge-judge kita seenak jidat mereka?” Ify mengungkapkan
keresahannya pada Ray akhirnya. Ray tersenyum tipis, bahkan terkesan terpaksa.
“Gue yang ngerasain ini semua, Fy. Terserah mereka
semua bilang apa dan terserah lo juga ada feeling apa nggak sama gue. Yang
penting kalau lo udah ngerasa buntu tentang masalah lo, nggak usah ragu cerita
ke gue, gue pasti bantu.” Ujar Ray dengan gamblang dan entah kenapa senyum
terpaksanya hilang begitu cowok itu menuntaskan jawaban pertanyaan Ify. Ify
menunduk, ini yang selalu membuatnya terkadang tidak bisa tidur, Ray selalu
(terlalu) baik padanya, huh!
*
Mengendap-endap dari gerbang belakang, memandang
ke dalam ruangan dengan nostalgia yang terulang terus seperti lagu yang
terus-terusan di repeat, dan akhirnya menendang apapun yang ada di depannya
penuh amarah. Itu sepertinya agenda Rio setiap menyelundup masuk ke gedung
sekolah. Ia rindu tempat itu tapi juga di saat yang sama membenci tempat itu.
Seperti sore ini, rio berada di salah satu gedung
sekolah yang sudah sepi, tinggal beberapa staff kebersihan yang sibuk
membersihkan koridor-koridor yang ada di gedung itu. Rio menggeram pelan ketika
menatap bangku dan meja lewat kaca jendela kelas. Ada gejolak yang ia tak paham
di hatinya.
“Mas Rio?” suara kecil itu mengusik telinga Rio
membuat pemuda itu menoleh dan mendapati orang yang sudah tidak ingin ia temui
setelah orang-orang di masa lalunya.
“Mas Rio ngapain disini?” tanya si pemilik suara
itu lagi. Rio tak menanggapinya, lalu dengan santai –walau masih dengan hati
yang semakin bergejolak—meninggalkan ruang kelas itu, pergi jauh-jauh dari
gedung sekolah.
“Ih Mas Rio, tunggu!!” pekik suara itu yang
dijawab dengan langkah Rio yang semakin cepat.
Rio terus mempercepat langkahnya, keluar dari
gedung itu, ia harus segera melompat ke dalam bis atau alat transportasi apapun
yang melintas. Ia harus segera pergi kalau ia tidak ingin menambah pelik
masalah hidupnya, dan menurut hipotesisnya si pemilik suara tadi akan segera
menambah masalahnya. Jadi, kalau tidak ingin hidupnya semakin ruwet saja Rio
harus jauh-jauh dengan pemilik suara itu. Harus!
Rio akhirnya asyik bergantungan di dalam bis yang
penuh sesak. Kepulan asap rokok yang dihembuskan penumpang dan asap kendaraan
bermotor yang menelusup lewat jendela-jendela bus yang dibuka semakin membuat
bus ini mirip sauna yang penuh dengan gas-gas berbahaya. Rio menghela napas
untuk ke sekian kali. Lebih baik begini daripada berurusan dengan pemilik suara
tadi.
“Uhuk-uhuk.” Rio segera menoleh begitu mendengar
suara yang tidak asing baginya.
“Shilla?”
*
Ify terus-terusan manyun membuat abangnya yang ada
di layar komputer menatap adiknya dengan alis bertaut.
“Ya, abang harus gimana?” tanya Gabriel –kakak
Ify- untuk ke sekian kali. Ify tidak menjawab malah semakin manyun.
“Ya Ify nggak tau.” Rajuknya. Gabriel menggaruk
kepalanya bingung.
“Susah juga ya punya adik kayak kamu, Fy. Sofia
Kayon, sekali pengen tau harus dapet jawaban. Tapi, Ify sayang. Tidak semua
pertanyaan di dunia ini harus kamu dapatkan jawabannya, Fy. Kadang pertanyaan
itu memang hanya jadi pertanyaan yang nggak punya jawaban, gitu.” Ujar Gabriel
yang sepertinya sudah mentok ingin mengatakan apa agar adiknya berhenti manyun.
Ify tadi bercerita tentang Rio, cowok preman itu.
Ify mengungkapkan keinginannya untuk mengenal Rio lebih jauh, yang tadi dijawab
dengan ejekan dan godaan oleh Bang Gabriel. Tapi, akhirnya sang Abang menyuruh
Ify fokus belajar saja, pengalihan perhatian Ify, seperti yang abangnya bilang.
“iyadeh terserah, mau bilang apa. Adek capek,
Bang. Mau tidur. Abang juga buruan tidur jangan ngedate terus sama tugas,
ngedate sama yang udah nunggu disini bisa kali.” Ujar Ify akhirnya.
“Yang disana? Siapa?” jawab gabriel polos. Ify
gemas, rasanya kalau tangannya bisa menembus layar laptop pasti ia sudah
mencubit pipi kurus abangnya sampai merah.
“Ya Mbak Sivia lah, Bang.” Gabriel di jauh sana
hanya tertawa.
“Bentar lagi doi kan yang kesini. Lo tuh juga, dua
bulan lagi kesini lho, awas kalau nggak.” Ancam Gabriel. Ify mengangguk, lalu
pamit tidur pada abangnya dan segera mematikan laptop kesayangannya.
Ify menjatuhkan diri di kasur yang empuk,
memandangi langit-langit kamarnya yang penuh stiker glow in the dark. Tidak seperti malam sebelumnya, dimana ia hanya
sibuk mengkhawatirkan Mama, kali ini setelah pertemuan di bis itu, Ify jadi
mengkhawatirkan Rio entah untuk alasan apa.
**
Sudah seminggu, semuanya masih berjalan sama saja
bagi Ify. Ia masih belum mendapat petunjuk tentang siapa Rio sesungguhnya. Dan
tiba-tiba, anak buah Rio yang menurut Ify lucu, Bastian dan Debo ikut-ikutan
menghilang, padahal seingat Ify –dan juga seingat Acha—dua penyanyi jalanan
kocak itu sebelum-sebelumnya sering menyanyi di bis yang lewat depan sekolah
mereka. Mungkin Rio sudah mengatakan sesuatu tentang dirinya kepada dua cowok
nyentrik itu.
Seminggu ini Ify bukan hanya kosong mengenai kabar
Rio, juga Ray yang entah mengapa tiba-tiba tidak bicara kepada Ify sebanyak
sebelumnya. Kalau biasanya ia berbicara apa saja pada Ify, menawarkan lagu mana
yang Ify ingin dengar dari Bandnya, kini cowok itu hanya bicara seperlunya dan
itu hanya seputar jadwal pelajaran yang sebenarnya Ray sendiri sudah hafal.
Kalau begini kan Ify jadi rancu soal perkataan Ray yang ingin membantu
memecahkan masalahnya yang semakin buntu.
Drrtt...
1 message
received
Tante
Anida
Yoon?
Your dad has just called.
Ify dengan lincah segera mengetikkan balasan
kepada tantenya.
Iya, aku
jg d tlpon tan. Mama is getting better, isn’t it <3
Ify memasukkan hapenya ke dalam kantong saat ia
sadar ia berdiri dimana.
Ia berdiri di tempat Rio dulu berdiri menerawang
jauh ke dalam ruangan kelas. Saat pertama Ify melihat ada gejolak aneh yang
terpancar dari aura Rio.
Satu petunjuk: Ada sesuatu dengan Rio dan
sekolah...
Oke,
cukup
to be continued <3
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3