Sabtu, 25 Juni 2016

Ajari Aku [7]



Hellaaw
So, sudah beberapa lama tidak post karena malas saja. Haha
Jadi ini lanjutannya, adakah yang mau baca?





PART 7: Bertemu Ibu.

                Paris, 2016
                Rio melewati jalanan yang tampak asing baginya. Setelah turun dari pesawat dan mengurus segala keperluan imigrasinya Rio mengambil taksi pertama yang menawarinya tumpangan. Dengan menyerahkan kertas yang ia bawa dari Jakarta, akhirnya pemuda itu sampai di deretan kompleks perumahan ini.
                101.. 102.. Rio terus mengamati nomor-nomor rumah dan kertasnya dan... ah ini dia
                “Gotcha! 104!”
                Rio menekan bel yang ada di depan pintu. Sambil menunggu, jantung Rio berdebar kencang entah mengapa. Dari luar, Rio bisa mendengar langkah tergopoh-gopoh untuk membuka pintu. Dan ketika pintu dibuka.
                Bonjour,” seorang wanita usia pertengahan 40 membuka pintu. Rio tersenyum
                Bonjour. Saya Rio, bu.”
                Dan wanita itu menghambur memeluk Rio dan membawa pemuda itu masuk ke rumahnya.

**
Jakarta, 2012
                Shilla menunggu pintu jati yang ia ketuk tadi terbuka. Lalu gadis itu mendengar suara langkah tergesa dari dalam.
                “Sebentar,” ujar suara itu lembut diiringi suara putaran kunci.
                “Cari siapa?” belum sempat Shilla menjawab, pemilik suara itu segera memeluknya.
                “Nak Shilla, sudah lama. Apa kabar? Ayo masuk.”

                Shilla masuk ke dalam rumah yang belum banyak berubah tata ruangnya. Aura Rio ada disini meskipun Shilla yakin pemuda itu lama tidak kembali ke rumahnya. Ibu Rio, Tante Manda menyuruh Shilla duduk di kursi ruang tamu. Tak lama kemudian, ada orang lain lagi muncul, Dea, adik Rio.
                “Hai, Dea. Masih inget kakak?” sapa Shilla ramah. Dea mengangguk senang dan menghampiri Shilla.
                “Kak Shilla tambah cantik,” ujar Dea sambil senyum.
                “Kamu juga,” balas Shilla. Tak lama kemudian, Tante Manda bergabung dengan Shilla dan Dea.
                “Sekarang kuliah dimana, Shilla?” tanya Tante Manda.
                “UI tante, Psikologi.” Jawab Shilla.
                “Ah, ya. Bagus-bagus. Sukses, Shilla.” Tante Manda kelihat sumringah membahas tentang kuliah Shilla.
                “Kamu pernah ketemu Rio,” pertanyaan itu akhirnya meluncur dari mulut tante Manda. Shilla mengangguk. Ekspresi tante manda berubah jadi sedih bercampur senang.
                “Rio baik-baik saja, kan?” Shilla mengangguk.
                “Dea kangen Kak Rio.” Ujar Dea pelan, Shilla mengelus punggung adik Rio itu.
                Shilla lalu bercerita semua tentang Rio sekarang.
                “Rio pasti pulang, Tante.” Ujar Shilla menenangkan sekaligus meyakinkan. Tante Manda mengangguk lalu mengusap air matanya.
                “Bulan depan Ayahnya bebas,”

**
                Ify meletakkan handphonenya ke dalam tas setelah bang Gabriel selesai telepon. Abangnya itu memastikan kalau Ify sudah pesan tiket untuk keberangkatannya ke Jogja minggu depan. Ify akhirnya meneruskan langkah kakinya yang tadi terhenti karena telpon Gabriel. Hari sudah sore, jalanan mulai padat sepadat pikiran Ify yang penuh dengan soal kimia yang tadi ia kerjakan.
                “Neng Ify,” Ify menoleh, familiar dengan suara itu.
                “Paman Usman,” sambut Ify antusias sambil berlari menuju pria paruh baya yang sedang mendorong gerobaknya.
                “Baru pulang, neng?” Tanya Paman Usman. Ify mengangguk.
                “Paman sudah habis dagangannya?” Ify balik bertanya.
                “Alhamdulillah, neng.” Sepanjang jalan pulang Ify mengikuti kemana Paman Usman mendorong gerobaknya, walaupun Ify tahu jalurnya berbeda dari arah rumahnya. Saat Paman Usman bertanya kenapa ikut Paman, gadis itu hanya menjawab sambil tertawa.
                “Nanti juga sampai rumah Paman. Habis itu baru Ify pulang,”
                  Ketika Paman Usman dan Ify sampai di sebuah rumah dengan halaman luas dan ada pohon jambu yang membuatnya rindang, paman Usman berhenti.
                “Kok berhenti, Paman?” tanya Ify. Paman Usman tidak menjawab, malah memulai meracik bakso dan Ify menunggu sambil mengamati rumah besar itu. Lalu dari rumah itu keluar seorang gadis remaja, sepertinya masih SMP batin Ify.
                “Mamang anteng aja nih nggak kaya biasanya,” Gadis itu berteriak dari gerbang lalu menghampiri Paman Usman –dan juga Ify--.
                “Iya neng, Mamang lupa. Ini baksonya,” Paman Usman memberikan bungkusan plastik pada gadis itu, yang kemudian ia tukar dengan beberapa lembar rupiah.
                “Masuk dulu ya, mang. Makasih..” Gadis itu tersenyum lalu masuk, sepertinya tidak terlalu menyadari kehadiran Ify di antara dia dan Paman Usman.
                “Neng Ify tahu?” Ify menggeleng.
                “Ini rumah Den Rio.” Ujar Paman Usman pelan.
                **
                Ify dan Ray sedang asyik ngobrol ketika pintu rumah Ify akhirnya diketuk.
                “Oliv tolong bukain.” Teriak Ify yang terlalu malas karena obrolannya dengan Ray terlalu seru. Ify bisa melihat Oliv dengan segera berlari menuju pintu.
                “AH, seriusan deh Fy. Soalnya tadi masih ganjel di hati deh rasanya.” Keduanya membahas seleksi untuk Olimpiade siang tadi di sekolah.
                “Kalau salah satu, kesempatan gue makin tipis biar bisa sama-sama sama lo dong, Fy.” Ray terdengar sedih. Ify menepuk-nepuk pundak Ray menyemangati
                “Kak Ify, ada tamu buat Kakak.” Ujar Oliv yang masuk membawa seorang pemuda –Rio- yang menatap aneh Ify dan Ray.
                “Eiy, Mas Rio.” Ify melambaikan tangannya dan Rio masih tetap menatap aneh ke arah Ify dan Ray.

                Ify mengajari Rio fisika dan sedikit Matematika. Ray juga membantunya meskipun Rio terus menerus menatap Ray galak membuat cowok gondrong itu keder juga.
                “Mas Rio nih jago sebenernya, ya kan Ray?” ujar Ify mencoba memecah suasana karena setidaknya 1 jam ini Rio lebih galak dari biasanya. Ray mengacungkan jempolnya, menyetujui perkataan Ify.
                “Iya deh. Coba kalau um...” Ray mencoba mencari kata yang tepat.
                “Ah ya, Pasti masuk Teknik kan, FY. Kaya bang Gabriel?” ujar Ray antusias.
                Rio menautkan alisnya. Siapa lagi Gabriel, batinnya kesal. Satu, cowok gondrong ini. Dua, Gabriel. Rival Rio banyak juga ya, eh?
                “Eh iya. Ngomongin Bang Gabriel. Minggu depan Gue ke Jogja loh, nengokin dia. Temenin gue, Ray?” pinta Ify. Ray lalu memasang wajah sedihnya.
                “Minggu depan ya? Sayang banget, Gue sudah fully booked buat nikahan saudara gue FY.”
                “Hmm yaudah deh. Padahal Bang Gab bilang gue boleh pergi kalau ada yang nemenin. Sedangkan Oliv sama Tante nggak libur. Masa iya fail lagi.” Ify nampak sedih.
                Rio yang merasa tidak dibutuhkan dalam obrolan ini mencoba memfokuskan pikirannya mengerjakan soal dari buku cetak Ify. Ray dan Ify masih sibuk mengenai bagaimana Ify harus ke Jogja atau bagaimana Ify mendapatkan teman untuk ke Jogja.
                “Mas Rio, mau temenin aku ke Jogja?”
                Rio mendongak, mendapati puppy eyes Ify menatapnya lekat.
                *
                “Hati-hati Mas Rio. Payungnya jangan lupa.” Ujar Ify saat Rio melewati gerbang. Ray sudah pulang setengah jam yang lalu. Ify masuk kembali ke rumah sambil memijat pelipisnya. Rio yang belajar selama kurang lebih 2,5 jam tadi bertemperamen sama dengan Rio yang Ify temui saat pertama kali. Tidak banyak bicara dan sedikit galak pada Ify, sangat galak pada Ray.
                “Kenapa, kak?” Tanya Oliv yang menghabiskan sisa malam minggu dengan menonton TV.
                “Nggak apa-apa deh. Tante sama Om belum pulang juga.” Ify ikut duduk bergabung dengan Oliv.
                “Mungkin sebentar lagi.” Jawab Oliv. Tante dan Om memang sedang pergi ke resepsi salah satu kolega Tante Anida meninggalkan Ify dan Oliv di rumah berdua.
                “Jadi ke Jogjanya? Tadi Mama bilang kak Ify mau ke Kak Gab.” Ujar Oliv. Ify mengedikkan bahunya.
                “Nggatau. Nggak ada temen kesana, Bang Gab nggak ngebolehin kalau sendiri.” Jawab Ify sedih.
                “Ya semoga Kakak-Kakak tadi luluh ya Kak Fy. Eh?” Goda Oliv membuat Ify menoyor kepala sepupunya itu.


*
                Ify memperhatikan rumah dengan halaman yang ada pohon jambunya itu seksama. Pikirannya bergelut menyuruhnya untuk masuk dan tidak usah masuk.
                “Ah bagaimana ini.” Decak Ify kesal pada dirinya sendiri.
                “Hmmm, yaudah deh. Udah nyampe sini juga.”
                Ify kemudian memasuki gerbang yang setengah terbuka itu –setelah tidak menemukan bel di luar sana—. Dan Ify sampai di depan pintu jati besar dan dengan jantung yang berdebar –kali ini berdebat tindakannya benar atau salah—Ify mengetuk pintunya.
                “Permisi,” Ify setengah berteriak namun dengan nada yang masih sopan.
                Ify mengetuk lagi.
                “Permisi,” cicit gadis itu lagi. Beberapa menit kemudian, seorang gadis –yang Ify lihat tempo hari—muncul dari balik pintu itu.
                “Cari siapa?” tanyanya. Ify menghela napas sebentar.
                “Saya Ify, temennya Mas Rio.” Jawab Ify pelan.
**
                Ify duduk dengan perasaan canggung apalagi gadis tadi meninggalkan dirinya sendirian di ruang tamu. Tapi bukan Ify namanya kalau ia tidak penasaran. Gadis itu memperhatikan pajangan yang ada di meja dan juga foto-foto yang terpampang di dinding.
                “Eh.” Gadis itu terkejut sendiri melihatnya. Ify tertegun melihat foto keluarga Rio. Ayah Rio... Ify pernah melihatnya...
                ‘Apa pernah ketemu?’ Gadis itu bertanya dalam hatinya. Ify tertegun lagi, bukan ia tidak pernah bertemu dengan Ayah Rio ia hanya pernah melihatnya lewat TV, lewat koran, Ayah Rio.... tersangka korupsi pembangunan beberapa infrastruktur 2 tahun lalu.
                2 tahun lalu... Kalau dihitung-hitung itu kan saat itu juga Rio memutuskan berhenti sekolah. Tidak, bukan cuma itu 2 tahun lalu Rio juga memutuskan berhenti dari hidupnya.
                “Maaf lama, silakan.” Ify mengerjap saat gadis tadi masuk membawakannya Teh dan juga cemilan. Ify tersenyum.
                “Oiya, Aku Dea, adiknya Kak Rio.” Gadis itu memperkenalkan dirinya.
                “Halo Dea,” Ify tersenyum.
                “Sebentar ya. Ibu bentar lagi nyusul kok tadi habis beberes.” ujar Dea. Ify mengangguk paham lalu menyesap tehnya. Seorang wanita usia 40an kemudian masuk ke ruang tamu.
                “Ify, ini Ibu.” Jelas Dea memperkenalkan Ibunya pada Ify. Ify tersenyum kemudian mencium tangan Ibu Rio.
                “Ify, tante. Temennya Mas Rio.” Ify memperkenalkan dirinya.
                “Saya Manda, panggil Ibu saja ngga apa-apa,” ujar Manda sambil memandang Ify dengan segala rasa –penasaran, rindu—karena menyangkut Rio.
                “Mas Rio baik-baik saja.” Ujar Ify kemudian. Ify lalu menceritakan semuanya, bagaimana ia dan Rio bertemu, Dengan siapa Rio tinggal sekarang, semuanya tentang Rio yang ia ketahui. Beberapa kali Ify memeluk Ibu dan juga Dea yang menangis, menguatkan dan meyakinkan mereka. Ify sendiri juga trenyuh, sungguh kuat Ibu Manda menghadapi semuanya sendirian. Suaminya harus membayar perbuatannya di balik jeruji besi, dan anak lelaki sulungnya meninggalkannya –Ify punya alasan kuat untuk menjewer Rio besok—karena ego dan emosinya yang masih labil. Tapi Ibu Manda berusaha kuat untuk Dea, anaknya yang cantik dan juga untuk suaminya, dan juga untuk anak bengalnya, Rio.
                “Ibu, apa yang terjadi ke Mas Rio, perubahan-perubahan yang ada ke Mas Rio Ibu tahu itu karena apa?” tanya Ify.
                “Karena... nak Ify?” jawab Ibu spontan. Ify sedikit terkejut –dan tidak sadar pipinya memerah—kemudian gadis itu menggeleng.
                “Bukan. Bukan karena Ify tapi karena doa Ibu yang nggak pernah putus untuk Mas Rio, untuk Dea.”
                “Mas Rio sedang mencari jalan dia untuk pulang. Doa Ibu yang pelan-pelan mengantar Mas Rio pulang.” Air mata Ify menetes begitu saja saat mengatakannya.
                “Dan Nak Ify memperjelas arahnya supaya Rio bisa cepat pulang,” Ujar Ibu yang kemudian meraih Ify dan Dea ke pelukannya.

**

                Minggu ujian sekolah untuk kelas XII merupakan surganya anak kelas X dan XI bagaimana tidak belajar di rumah aka libur seminggu. Begitu juga buat Ify yang kini tengah gelisah di stasiun, gadis itu di antara iya dan tidak akan berangkat ke Jogja.
                “Ify yang tenang dong. Mau liburan kok panik begitu mukanya,” Tante Anida mengingatkannya.
                “Habisnya...” belum sempat Ify melanjutkan ucapannya.
                “Itu Rio.” Ujar Tante Anida –entah kenapa—ikut antusias.
                Dari kejauhan Ify bisa melihat Rio berjalan ke arahnya. Ify mau tidak mau tersenyum, hilang sudah semua kegelisahannya.
                “Maaf, Bu. Tadi motornya Mamang agak konslet di jalan.”
                “Iya, nggak apa-apa yang penting kamu sampai disini. Itu tuan puterinya yang panik takut nggak jadi pergi,” Tante Anida terkekeh sambil melirik Ify yang tengah menggembungkan pipinya.
                “Rio, tante minta tolong jaga Ify ya.” Rio mengangguk lalu mengatur posisi hormat ke arah Tante Anida, membuat Tante Anida terkekeh lagi.
                “Ify, baik-baik ya. Semoga selamat sampai jogja. Inget, salam Tante ke Gabriel,” Tante Anida lalu memeluk keponakan tersayangnya itu.
                “Iya, Tante. Ify sama Mas Rio berangkat dulu ya.”


*****

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang