Hellaaw
So, sudah beberapa lama tidak post karena malas saja. Haha
Jadi ini lanjutannya, adakah yang mau baca?
PART 7: Bertemu Ibu.
Paris, 2016
Rio melewati jalanan
yang tampak asing baginya. Setelah turun dari pesawat dan mengurus segala
keperluan imigrasinya Rio mengambil taksi pertama yang menawarinya tumpangan.
Dengan menyerahkan kertas yang ia bawa dari Jakarta, akhirnya pemuda itu sampai
di deretan kompleks perumahan ini.
101.. 102.. Rio terus
mengamati nomor-nomor rumah dan kertasnya dan... ah ini dia
“Gotcha! 104!”
Rio menekan bel yang
ada di depan pintu. Sambil menunggu, jantung Rio berdebar kencang entah
mengapa. Dari luar, Rio bisa mendengar langkah tergopoh-gopoh untuk membuka
pintu. Dan ketika pintu dibuka.
“Bonjour,”
seorang wanita usia pertengahan 40 membuka pintu. Rio tersenyum
“Bonjour. Saya
Rio, bu.”
Dan wanita itu
menghambur memeluk Rio dan membawa pemuda itu masuk ke rumahnya.
**
Jakarta, 2012
Shilla menunggu pintu
jati yang ia ketuk tadi terbuka. Lalu gadis itu mendengar suara langkah tergesa
dari dalam.
“Sebentar,” ujar suara
itu lembut diiringi suara putaran kunci.
“Cari siapa?” belum
sempat Shilla menjawab, pemilik suara itu segera memeluknya.
“Nak Shilla, sudah
lama. Apa kabar? Ayo masuk.”
Shilla masuk ke dalam
rumah yang belum banyak berubah tata ruangnya. Aura Rio ada disini meskipun
Shilla yakin pemuda itu lama tidak kembali ke rumahnya. Ibu Rio, Tante Manda
menyuruh Shilla duduk di kursi ruang tamu. Tak lama kemudian, ada orang lain
lagi muncul, Dea, adik Rio.
“Hai, Dea. Masih inget
kakak?” sapa Shilla ramah. Dea mengangguk senang dan menghampiri Shilla.
“Kak Shilla tambah
cantik,” ujar Dea sambil senyum.
“Kamu juga,” balas
Shilla. Tak lama kemudian, Tante Manda bergabung dengan Shilla dan Dea.
“Sekarang kuliah
dimana, Shilla?” tanya Tante Manda.
“UI tante, Psikologi.”
Jawab Shilla.
“Ah, ya. Bagus-bagus.
Sukses, Shilla.” Tante Manda kelihat sumringah membahas tentang kuliah Shilla.
“Kamu pernah ketemu
Rio,” pertanyaan itu akhirnya meluncur dari mulut tante Manda. Shilla
mengangguk. Ekspresi tante manda berubah jadi sedih bercampur senang.
“Rio baik-baik saja,
kan?” Shilla mengangguk.
“Dea kangen Kak Rio.”
Ujar Dea pelan, Shilla mengelus punggung adik Rio itu.
Shilla lalu bercerita
semua tentang Rio sekarang.
“Rio pasti pulang,
Tante.” Ujar Shilla menenangkan sekaligus meyakinkan. Tante Manda mengangguk
lalu mengusap air matanya.
“Bulan depan Ayahnya
bebas,”
**
Ify meletakkan
handphonenya ke dalam tas setelah bang Gabriel selesai telepon. Abangnya itu
memastikan kalau Ify sudah pesan tiket untuk keberangkatannya ke Jogja minggu
depan. Ify akhirnya meneruskan langkah kakinya yang tadi terhenti karena telpon
Gabriel. Hari sudah sore, jalanan mulai padat sepadat pikiran Ify yang penuh
dengan soal kimia yang tadi ia kerjakan.
“Neng Ify,” Ify
menoleh, familiar dengan suara itu.
“Paman Usman,” sambut
Ify antusias sambil berlari menuju pria paruh baya yang sedang mendorong
gerobaknya.
“Baru pulang, neng?”
Tanya Paman Usman. Ify mengangguk.
“Paman sudah habis
dagangannya?” Ify balik bertanya.
“Alhamdulillah, neng.”
Sepanjang jalan pulang Ify mengikuti kemana Paman Usman mendorong gerobaknya,
walaupun Ify tahu jalurnya berbeda dari arah rumahnya. Saat Paman Usman
bertanya kenapa ikut Paman, gadis itu hanya menjawab sambil tertawa.
“Nanti juga sampai
rumah Paman. Habis itu baru Ify pulang,”
Ketika Paman Usman dan Ify sampai di sebuah
rumah dengan halaman luas dan ada pohon jambu yang membuatnya rindang, paman
Usman berhenti.
“Kok berhenti, Paman?”
tanya Ify. Paman Usman tidak menjawab, malah memulai meracik bakso dan Ify
menunggu sambil mengamati rumah besar itu. Lalu dari rumah itu keluar seorang
gadis remaja, sepertinya masih SMP batin Ify.
“Mamang anteng aja nih
nggak kaya biasanya,” Gadis itu berteriak dari gerbang lalu menghampiri Paman
Usman –dan juga Ify--.
“Iya neng, Mamang lupa.
Ini baksonya,” Paman Usman memberikan bungkusan plastik pada gadis itu, yang
kemudian ia tukar dengan beberapa lembar rupiah.
“Masuk dulu ya, mang.
Makasih..” Gadis itu tersenyum lalu masuk, sepertinya tidak terlalu menyadari
kehadiran Ify di antara dia dan Paman Usman.
“Neng Ify tahu?” Ify
menggeleng.
“Ini rumah Den Rio.”
Ujar Paman Usman pelan.
**
Ify dan Ray sedang
asyik ngobrol ketika pintu rumah Ify akhirnya diketuk.
“Oliv tolong bukain.”
Teriak Ify yang terlalu malas karena obrolannya dengan Ray terlalu seru. Ify
bisa melihat Oliv dengan segera berlari menuju pintu.
“AH, seriusan deh Fy.
Soalnya tadi masih ganjel di hati deh rasanya.” Keduanya membahas seleksi untuk
Olimpiade siang tadi di sekolah.
“Kalau salah satu,
kesempatan gue makin tipis biar bisa sama-sama sama lo dong, Fy.” Ray terdengar
sedih. Ify menepuk-nepuk pundak Ray menyemangati
“Kak Ify, ada tamu
buat Kakak.” Ujar Oliv yang masuk membawa seorang pemuda –Rio- yang menatap
aneh Ify dan Ray.
“Eiy, Mas Rio.” Ify
melambaikan tangannya dan Rio masih tetap menatap aneh ke arah Ify dan Ray.
Ify mengajari Rio
fisika dan sedikit Matematika. Ray juga membantunya meskipun Rio terus menerus
menatap Ray galak membuat cowok gondrong itu keder juga.
“Mas Rio nih jago
sebenernya, ya kan Ray?” ujar Ify mencoba memecah suasana karena setidaknya 1
jam ini Rio lebih galak dari biasanya. Ray mengacungkan jempolnya, menyetujui
perkataan Ify.
“Iya deh. Coba kalau
um...” Ray mencoba mencari kata yang tepat.
“Ah ya, Pasti masuk
Teknik kan, FY. Kaya bang Gabriel?” ujar Ray antusias.
Rio menautkan alisnya.
Siapa lagi Gabriel, batinnya kesal. Satu, cowok gondrong ini. Dua, Gabriel.
Rival Rio banyak juga ya, eh?
“Eh iya. Ngomongin
Bang Gabriel. Minggu depan Gue ke Jogja loh, nengokin dia. Temenin gue, Ray?”
pinta Ify. Ray lalu memasang wajah sedihnya.
“Minggu depan ya?
Sayang banget, Gue sudah fully booked buat nikahan saudara gue FY.”
“Hmm yaudah deh.
Padahal Bang Gab bilang gue boleh pergi kalau ada yang nemenin. Sedangkan Oliv
sama Tante nggak libur. Masa iya fail lagi.” Ify nampak sedih.
Rio yang merasa tidak
dibutuhkan dalam obrolan ini mencoba memfokuskan pikirannya mengerjakan soal
dari buku cetak Ify. Ray dan Ify masih sibuk mengenai bagaimana Ify harus ke
Jogja atau bagaimana Ify mendapatkan teman untuk ke Jogja.
“Mas Rio, mau temenin
aku ke Jogja?”
Rio mendongak,
mendapati puppy eyes Ify menatapnya lekat.
*
“Hati-hati Mas Rio.
Payungnya jangan lupa.” Ujar Ify saat Rio melewati gerbang. Ray sudah pulang
setengah jam yang lalu. Ify masuk kembali ke rumah sambil memijat pelipisnya.
Rio yang belajar selama kurang lebih 2,5 jam tadi bertemperamen sama dengan Rio
yang Ify temui saat pertama kali. Tidak banyak bicara dan sedikit galak pada
Ify, sangat galak pada Ray.
“Kenapa, kak?” Tanya
Oliv yang menghabiskan sisa malam minggu dengan menonton TV.
“Nggak apa-apa deh.
Tante sama Om belum pulang juga.” Ify ikut duduk bergabung dengan Oliv.
“Mungkin sebentar
lagi.” Jawab Oliv. Tante dan Om memang sedang pergi ke resepsi salah satu kolega
Tante Anida meninggalkan Ify dan Oliv di rumah berdua.
“Jadi ke Jogjanya?
Tadi Mama bilang kak Ify mau ke Kak Gab.” Ujar Oliv. Ify mengedikkan bahunya.
“Nggatau. Nggak ada
temen kesana, Bang Gab nggak ngebolehin kalau sendiri.” Jawab Ify sedih.
“Ya semoga Kakak-Kakak
tadi luluh ya Kak Fy. Eh?” Goda Oliv membuat Ify menoyor kepala sepupunya itu.
*
Ify memperhatikan
rumah dengan halaman yang ada pohon jambunya itu seksama. Pikirannya bergelut
menyuruhnya untuk masuk dan tidak usah masuk.
“Ah bagaimana ini.”
Decak Ify kesal pada dirinya sendiri.
“Hmmm, yaudah deh.
Udah nyampe sini juga.”
Ify kemudian memasuki
gerbang yang setengah terbuka itu –setelah tidak menemukan bel di luar sana—.
Dan Ify sampai di depan pintu jati besar dan dengan jantung yang berdebar –kali
ini berdebat tindakannya benar atau salah—Ify mengetuk pintunya.
“Permisi,” Ify
setengah berteriak namun dengan nada yang masih sopan.
Ify mengetuk lagi.
“Permisi,” cicit gadis
itu lagi. Beberapa menit kemudian, seorang gadis –yang Ify lihat tempo
hari—muncul dari balik pintu itu.
“Cari siapa?”
tanyanya. Ify menghela napas sebentar.
“Saya Ify, temennya
Mas Rio.” Jawab Ify pelan.
**
Ify duduk dengan
perasaan canggung apalagi gadis tadi meninggalkan dirinya sendirian di ruang
tamu. Tapi bukan Ify namanya kalau ia tidak penasaran. Gadis itu memperhatikan
pajangan yang ada di meja dan juga foto-foto yang terpampang di dinding.
“Eh.” Gadis itu
terkejut sendiri melihatnya. Ify tertegun melihat foto keluarga Rio. Ayah
Rio... Ify pernah melihatnya...
‘Apa pernah ketemu?’
Gadis itu bertanya dalam hatinya. Ify tertegun lagi, bukan ia tidak pernah
bertemu dengan Ayah Rio ia hanya pernah melihatnya lewat TV, lewat koran, Ayah
Rio.... tersangka korupsi pembangunan beberapa infrastruktur 2 tahun lalu.
2 tahun lalu... Kalau
dihitung-hitung itu kan saat itu juga Rio memutuskan berhenti sekolah. Tidak,
bukan cuma itu 2 tahun lalu Rio juga memutuskan berhenti dari hidupnya.
“Maaf lama, silakan.”
Ify mengerjap saat gadis tadi masuk membawakannya Teh dan juga cemilan. Ify
tersenyum.
“Oiya, Aku Dea,
adiknya Kak Rio.” Gadis itu memperkenalkan dirinya.
“Halo Dea,” Ify
tersenyum.
“Sebentar ya. Ibu
bentar lagi nyusul kok tadi habis beberes.” ujar Dea. Ify mengangguk paham lalu
menyesap tehnya. Seorang wanita usia 40an kemudian masuk ke ruang tamu.
“Ify, ini Ibu.” Jelas
Dea memperkenalkan Ibunya pada Ify. Ify tersenyum kemudian mencium tangan Ibu
Rio.
“Ify, tante. Temennya
Mas Rio.” Ify memperkenalkan dirinya.
“Saya Manda, panggil
Ibu saja ngga apa-apa,” ujar Manda sambil memandang Ify dengan segala rasa
–penasaran, rindu—karena menyangkut Rio.
“Mas Rio baik-baik
saja.” Ujar Ify kemudian. Ify lalu menceritakan semuanya, bagaimana ia dan Rio
bertemu, Dengan siapa Rio tinggal sekarang, semuanya tentang Rio yang ia
ketahui. Beberapa kali Ify memeluk Ibu dan juga Dea yang menangis, menguatkan
dan meyakinkan mereka. Ify sendiri juga trenyuh, sungguh kuat Ibu Manda
menghadapi semuanya sendirian. Suaminya harus membayar perbuatannya di balik
jeruji besi, dan anak lelaki sulungnya meninggalkannya –Ify punya alasan kuat
untuk menjewer Rio besok—karena ego dan emosinya yang masih labil. Tapi Ibu
Manda berusaha kuat untuk Dea, anaknya yang cantik dan juga untuk suaminya, dan
juga untuk anak bengalnya, Rio.
“Ibu, apa yang terjadi
ke Mas Rio, perubahan-perubahan yang ada ke Mas Rio Ibu tahu itu karena apa?”
tanya Ify.
“Karena... nak Ify?”
jawab Ibu spontan. Ify sedikit terkejut –dan tidak sadar pipinya memerah—kemudian
gadis itu menggeleng.
“Bukan. Bukan karena
Ify tapi karena doa Ibu yang nggak pernah putus untuk Mas Rio, untuk Dea.”
“Mas Rio sedang
mencari jalan dia untuk pulang. Doa Ibu yang pelan-pelan mengantar Mas Rio
pulang.” Air mata Ify menetes begitu saja saat mengatakannya.
“Dan Nak Ify
memperjelas arahnya supaya Rio bisa cepat pulang,” Ujar Ibu yang kemudian
meraih Ify dan Dea ke pelukannya.
**
Minggu ujian sekolah
untuk kelas XII merupakan surganya anak kelas X dan XI bagaimana tidak belajar di
rumah aka libur seminggu. Begitu juga buat Ify yang kini tengah gelisah di
stasiun, gadis itu di antara iya dan tidak akan berangkat ke Jogja.
“Ify yang tenang dong.
Mau liburan kok panik begitu mukanya,” Tante Anida mengingatkannya.
“Habisnya...” belum
sempat Ify melanjutkan ucapannya.
“Itu Rio.” Ujar Tante
Anida –entah kenapa—ikut antusias.
Dari kejauhan Ify bisa
melihat Rio berjalan ke arahnya. Ify mau tidak mau tersenyum, hilang sudah
semua kegelisahannya.
“Maaf, Bu. Tadi motornya
Mamang agak konslet di jalan.”
“Iya, nggak apa-apa
yang penting kamu sampai disini. Itu tuan puterinya yang panik takut nggak jadi
pergi,” Tante Anida terkekeh sambil melirik Ify yang tengah menggembungkan
pipinya.
“Rio, tante minta
tolong jaga Ify ya.” Rio mengangguk lalu mengatur posisi hormat ke arah Tante
Anida, membuat Tante Anida terkekeh lagi.
“Ify, baik-baik ya.
Semoga selamat sampai jogja. Inget, salam Tante ke Gabriel,” Tante Anida lalu
memeluk keponakan tersayangnya itu.
“Iya, Tante. Ify sama
Mas Rio berangkat dulu ya.”
*****
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3