Sabtu, 14 Maret 2015

Ajari Aku [4]

Halo sudah lama ya ^^
Langsung jaaa

**



Part 4: Tentang Ayah dan Ibu.
Ify memegang tangan Rio erat, tidak ingin melepaskannya. Setelah mengutarakan isi hatinya, ia genggam erat tangan Rio agar ‘preman’ itu tidak lari dari Ify. Tapi, dengan mudah pemuda itu menghempaskan tangan Ify hingga cengkraman gadis itu lepas.
“Mas Rio...” lirih Ify hampir menangis saat pemuda itu akhirnya melangkah pergi dari tempatnya. Ify menatapi ujung sepatunya tak berani menatap punggung Rio yang makin mengecil. Ify tidak tahu apa yang ia rasakan, ia tidak kenal Rio tapi ia selalu saja merasa nyeri di hati kalau Rio mengabaikannya. Bukannya kalau tidak kenal hal seperti itu tidak usah dihiraukan, toh nggak kenal kan? Ify mencelos, jadi seperti ini rasanya jadi Ray, dicuekin itu tidak enak.
Tante Anida is Calling...
“Halo?”
“Ify, kamu dimana nak?” tanya Anida panik.
“Di jalan mau pulang. Ada apa tante?” Ify balik bertanya. Dari telpon genggamnya Ify mendengar Tantenya itu menghela napas lega.
“Bentar-bentar, Tante ambil napas dulu ya, Fy.”
“Tante Nida sama Tania nanti mau ke Bandung ya?”
“Kenapa, Tante?” tanya Ify penasaran.
“Omamu ngedrop. Kangen Tania badly katanya. Tante mungkin nginep disana beberapa hari. Kamu nggak apa kan sendirian sama Oliv. Om Fadly masih dinas jadi belum bisa pulang.” Jawab Tante Anida.
“Iya, Tan. Ify sama Oliv bisa jaga diri kok. Tante hati-hati, salam buat Oma.”
*
Rio memasuki ruang sempit itu seenaknya, lalu masih dengan seenaknya ia jatuhkan dirinya di kasur lipat tipis. Agak sakit juga punggungnya dibanting-banting begitu, tapi toh pemuda itu sudah biasa. Lalu, ia pejamkan matanya sejenak. Melintas lagi masa lalunya, kali ini bukan Shilla, tapi... Ibunya.
**
Rio masuk rumah dengan tampang sumringah, sudah seminggu ia jadian dengan Shilla. Hari-harinya yang sempurna makin jadi saja.
“Rio seneng banget keliatannya,” ujar Ibu yang sedang menyiapkan makan siang untuk Rio dan adiknya, Dea.
“hehehe,” sahut Rio sambil mendekat ke ibunya. Akhir-akhir ini, wajah Ibu tak secerah biasanya. Beliau mungkin saja terlihat tersenyum tapi seperti ada beban yang disembunyikan Ibu dari Rio dan Dea.
                “Ibu kenapa kok murung gitu?” tanya Rio khawatir. Ibu menatap Rio lembut seperti biasa, dan tersenyum.
                “Ibu nggak apa-apa kok, Yo. Tenang aja,” jawab Ibu dengan nada menenangkan.
                “Kamu panggil Dea gih, suruh makan siang.” Lanjut Ibu. Rio mengangguk dan segera memanggil adiknya.
                Saat makan siang, Rio tak hentinya menatap wajah Ibu yang penuh kegelisahan yang tertahan. Rio khawatir, apa Ibu memikirkan dia atau Dea atau mungkin... Rio menatap kursi kosong di sebelah Ibu. Ya, pasti Ibu memikirkan Ayah. Ayah akhir-akhir ini memang sibuk dan jarang ada di rumah.
                “Ayah masih sibuk ya, Bu?” celetuk Dea. Ibu tersenyum mendengar pertanyaan anak gadisnya. Rio hampir tersedak saat Dea melontarkan pertanyaan itu.
                “Dea, ambilin Mas Rio tempe lagi dong,” Rio mencoba mengalihkan pembicaraan. Dea segera melakukan yang diminta Rio tapi setelah itu, bocah itu masih memandang Ibu menuntut jawaban jadi segera saja Rio berkata.
                “Masa Cuma satu, dua dong. Dea gimana sih,” ujar Rio dengan nada gemas.
                “Ih, Mas Rio manja nggak bisa ambil sendiri,” gerutu Dea sebal. Lalu Dea mengambil satu lagi tempe untuk Rio.
                “Makasih Dea Cantik,” ujar Rio sambil mencubit pipi gembul adiknya. Pertanyaan Dea tidak terdengar lagi, hanya suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring yang memenuhi ruang makan keluarga kecil itu. Rio melirik Ibu sekilas, ada raut kelegaan walaupun tipis disana. Rio tidak tahu apa, tapi yang jelas ada yang Ibu sembunyikan dari dirinya dan Dea.
                “Ibu, ada masalah apa?” tanya Rio sembari membantu Ibu dan Mbak Yanti –asisten rumah tangga Rio- yang membereskan meja makan.
                “Kamu cuci ya, Yan. Habis itu bersihin kebun belakang,” perintah Ibu kepada Mbak Yanti, sengaja agar wanita itu meninggalkan Ibu dan Rio berdua saja. Setelah mbak Yanti membelok menuju dapur, Ibu menyuruh Rio duduk.
                “Ibu tahu kamu sudah besar, Yo.” Ujar Ibu lembut sambil menyentuh pundak Rio. Ibu lalu mendekat, dan berbisik pada putra sulungnya.
                “Tapi, Ibu kira kamu belum siap mendengar ini semua,” ibu melirihkan suaranya. Terdengar begitu perih di telinga Rio. Rio menggenggam jemari Ibu yang masih berada di pundaknya.
                “Apa ini tentang... Ayah?” tanya Rio pelan. Ibu mengangguk samar, walau Rio tak melihat dengan jelas.
                “Ibu...”
                “Ibu nggak usah sedih. Rio bakal terus disini sama Ibu sampai Ayah pulang lagi. Rio bakal jaga Ibu sama Dea, nggak bakal ninggalin Ibu sama Dea.” Entah mengapa kalimat itu yang meluncur dari mulut Rio. Ibu balas menggenggam jemari Rio.
                “Tentang Ayah, Ibu, Rio, dan Dea. Kita semua akan baik-baik saja. Rio nggak usah mikir yang aneh-aneh ya. Tetap jadi anak yang baik. Karena kita baik-baik saja, oke?” ujar Ibu sambil menangkup wajah muram Rio. Dengan senyum menenangkan yang berhasil meyakinkan Rio bahwa tidak ada hal yang salah pada keluarganya.
Baik-baik saja adalah rangkaian kata yang Rio tidak mengerti sama ini. Apa maksudnya baik-baik saja? Keadaan sebenarnya, harapan, atau kebohongan. Rio tidak tahu arti baik-baik saja yang selalu Ibu ucapkan, Rio tidak tahu. Rio mengacak rambutnya frustasi di belakang sekolah yang sepi.
Tekanan-tekanan itu tiba-tiba menghantam Rio yang dalam keadaan tidak siap. Sehingga sekali tekanan itu mengenai dirinya, ia langsung jatuh. Rio merasakan matanya panas, air matanya leleh. Ia benci, kecewa, marah, dan semua emosi negatif menguasainya. Rio mengacak-acak rambutnya lagi. Ia ingin berteriak sebenarnya, tapi ia tidak ingin bocah-bocah sialan yang sebelumnya mengaku sebagai teman Rio datang dan mengolok-oloknya lagi. Ia tidak ingin bocah-bocah itu menemukan persembunyiannya. Apa yang ia lalui berat hari ini. Acara berita sialan! Umpat Rio dalam hati. Tapi ada yang lebih membuat Rio marah, perbuatan tercela Ayahnya.
**
Rio membuka matanya, melepaskan diri dari potongan film masa lalunya. Rio sebenarnya benci tiap ia terpejam, ia hanya bisa melihat memori masa lalunya bukan lagi bayangan masa depan seperti dulu-dulu. Sial! Umpatnya dalam hati.
Sakitnya tuh disini, di dalam hatiku
Sakitnya tuh di sini, melihatmu selingkuh
“Diam!” gertak Rio.
Debo yang tadinya asyik bernyanyi pun langsung diam dan memilih pergi. Tidak ada gunanya juga soalnya kalau dia tetap berada di situ. Ya kecuali, kalau Debo mau kena semprot Rio.
“Loh Deba Debo kenapa boss?” tanya Bastian dengan seplastik es teh di tangannya. Rio melirik pemuda kribo itu sekilas lalu bangkit dari duduknya.
“Bas? Lo inget cewek yang selalu ngejar-ngejar gue kayak satpol PP?” tanya Rio tiba-tiba. Bastian mengangguk sambil menyeruput es tehnya.
“Ify ya, boss? Yang rapi sama wangi itu ya, hmm” Bastian tampak sumringah saat menyebutkan Ify dan ciri-cirinya –menurut bastian--.
“Oh, namanya Ify.” Rio mengangguk-angguk mengerti, Sofia Kayon alias Ify.
“Kenapa boss emangnya, boss naksir, eh?” Bastian langsung membekap mulutnya sendiri, ia tahu ia salah bicara. Rio kan tidak bisa diajak bercanda sedikit.
‘Nggak. Dia yang naksir gue, ngebet banget pengen deket-deket gue. Nggak tahu dia seberapa keras dan susahnya gue,’ batin Rio.
“Nggak. Ngapain naksir sama anak SMA belagu dan manja kayak dia. Buang-buang tenaga,” jawab Rio pedas. Bastian meringis, benar juga sih. Mana mungkin Rio suka dengan Ify yang baik itu, Rio kan paling alergi dengan anak-anak berbalut seragam SMA. Tapi, firasat Bastian bilang ada sesuatu yang disembunyikan Bossnya kepada Ify, entah itu kebenciannya atau perasaan yang lebih manusiawi yang dimiliki Rio. Itukan firasat Bastian, jadi belum pasti. Yang tahu pasti ya hanya Rio.
*
Ify bergulingan di atas tempat tidurnya sejak sepuluh menit, gerakan stereotif sejak ia membuka Prnya. Setelah Ify merasa lelah, gadis itu pun menghentikan gerakan stereotifnya lalu menatap bukunya lagi. Ify mendesah frustasi membaca soal-soal yang ada, gara-gara Ray tempo hari nembak Ify untuk yang ke sekian kali, Ify tidak pernah bisa fokus pada gurunya, ia selalu menatap punggung Ray yang duduk dua kursi di depannya.
“Ray nyebelin!” umpat Ify lalu membanting dirinya di kasur empuk. Kini Ify menatap langit-langit kamar yang penuh dengan hiasan glow in the dark. Pikiran Ify perlahan melayang ke keluarganya, Papa, Mama, dan Bang Gabriel. Aneh saja, setelah memikirkan Ray yang nyebelin itu, Ify tiba-tiba kangen keluarga kecilnya. Ify duduk lagi, kali ini ia menatap figura kecil yang membingkai foto pasangan yang bahagia bersama dua buah hatinya, yang satu bocah laki-laki berusia 6 tahun, dan yang satu seorang gadis berusia 3 tahun.
“Mama, Papa. Apa kabar?” lirih Ify sambil menyentuh figuranya. Gadis itu tersenyum tipis, tapi menit berikutnya pipinya basah oleh air matanya sendiri. Ia rindu keluarga kecilnya. Sejak abangnya kuliah di Yogyakarta, Ify ikut tinggal bersama tante Anida, adik Papa. Sementara Papa ada ribuan kilometer jauhnya, di Paris sana menjadi pelarian politik. Ify tidak ingat banyak hal, yang ia ingat Papa dan Mama selalu bersembunyi dari dunia luar di era Orde Baru. Ify kecil pernah lihat sekelompok bersenjata mendatangi rumahnya lalu mama mendekap ia dan abangnya. Dan tidak lama berselang, Papa dan Mama memutuskan meninggalkan Indonesia tanpa membawa satupun putra-putrinya.
Ify dan Gabriel tinggal bersama tante Anida, lalu kucing-kucingan menyembunyikan identitas Ify dan Gabriel. Tapi, selang beberapa waktu, di era pemerintahan baru, Ify dan Gabriel bisa hidup tanpa harus sembunyi meskipun Mama dan Papa belum juga kembali ke Indonesia.
“Kapan coba Ify nyusul mama papa ke Paris? Atau nggak kapan mama papa pulang?” tanya Ify pada figuranya lagi. Agak mustahil, Mama dan Papa kembali waktu dekat ini, situasi politik memang baik saja tapi di Paris sana, Mama sedang mengembangkan usaha, sebuah rumah penginapan untuk orang Indonesia yang berada di Paris juga. Papa juga ternyata sibuk melanjutkan studinya di sana. Ify tersenyum tipis, sembari berharap kalau Mama Papa tidak bisa pulang untuk dia dan abangnya, maka biar Ify yang menyusul mereka ke salah satu kota impian banyak manusia, Paris.
*
Minggu Pagi..
Ify sudah memutari lapangan olahraga di dekat kompleks rumahnya tiga kali, jogging di minggu pagi sudah merupakan agenda wajib bagi gadis itu. Ify istirahat sebentar di sebuah kursi taman yang ada disana. Minggu-minggu yang lalu ia selalu berdua dengan Ray kalau jogging, tapi sekarang? Dengan situasi ganjil yang terjadi antara Ify dan cowok itu, sepertinya minggu-minggu berikutnya Ify akan jogging sendirian. Ify mengurut pelan kakinya entah kenapa.
“Kamu Ify kan?” Ify menoleh dan mendapati cowok berambut ‘brokoli’ tengah menatapnya sumringah.
“iya, kamu Bastian kan?” balas Ify dengan senyum lebarnya. Bastian makin sumringah ternyata Ify masih ingat padanya.
“Suka jogging juga ya, Fy? Hehe.” Celetuk Bastian. Ify mengangguk.
“Kamu kesini sama siapa? Mau nyanyi ya?” Ify balas bertanya pada Bastian.
“Aku kesini sama..”
“MAS RIO.” Teriak Ify membuat si empunya nama berbalik arah.
“Kok Mas Rio begitu banget sih sama aku, Bas.” Keluh Ify sedih pada Bastian. Bastian menggaruk rambut kribonya bingung.
--
Rio tak henti-hentinya melipat wajah, meskipun kini perutnya kenyang oleh bubur ayam. Di depan pemuda itu, Bastian dan gadis paling cerewet yang pernah Rio tahu, Ify tengah berbincang seru entah tentang apa. Rio berdiri tanpa basa-basi, tapi tangannya dicekal oleh Ify.
“Mas Rio mau kemana? Mau ninggalin Bastian sendiri?” tanya Ify to the point. Rio menatap Ify tak suka.
“Yaudah, Fy. Aku balik dulu, kita ngobrolnya bisa dilanjut besok-besok, hehe.” Bastian mencoba menengahi. Ify tampak tidak bisa mentolerir Bastian.
“Duduk, Mas. Kalau mau pergi, seenggaknya tunggu Bastian selesai makan. Nggak main pergi gitu aja, sabar dikit bisa dong, Mas Rio.” Rio tidak tahu mengapa kalimat Ify barusan bak peluru yang menembak tepat di jantungnya, membuat Rio mencelos tak berdaya. Rio tak bisa lama-lama di depan gadis ini, dengan kasar dihempasnya tangan Ify lalu pergi. Bastian hendak menyusulnya, tapi Ify menahannya.
“Selesaiin makannya, Bas. Habis itu kita susul Mas Rio,” ujar Ify. Bastian mengangguk menurut.
*
                Ify dan Bastian menemukan Rio tepat di tempat yang Bastian bilang. Sebuah gedung setengah jadi yang sepertinya tidak akan pernah jadi. Ify dan Bastian menatap Rio dari kejauhan, pemuda itu tengah duduk bersila seperti sedang semedi.
                “Aku kesana ya, Bas?” izin Ify. Bastian menatap Ify ragu.
                “Tapi biasanya aku sama Debo nggak berani nyamperin Boss Rio, Fy. Ify aku nggak yakin kalo Boss bakal baik-baik sama Ify,” Bastian mencoba mencegah Ify.
                “Dari pertama ketemu, aku nggak pernah dibaikin sama Mas Rio. Aku bakal baik-baik aja kok, Bas. Oke?” Ify meyakinkan cowok kribo itu. Bastian mengangguk akhirnya, ya semoga benar Ify dan Rio akan baik saja.
                Ify mengambil posisi duduk di sebelah Rio. Pemuda itu langsung menoleh begitu mendapati Ify duduk di sebelahnya. Sebelum Rio beranjak, Ify menahan pergelangan tangan pemuda itu. Rio heran, hobi sekali Ify mencengkeram pergelangannya.
                “Mas nggak usah lari kalau Mas capek. Duduk, Mas.” Ujar Ify lirih, macam bisikan. Sial, batin Rio. Kenapa ucapan Ify selalu menohok ulu hatinya. Rio menatap pasrah tangan Ify yang melingkari tangannya. Mungkin ini saatnya ia duduk, tapi apakah duduk disamping gadis ini membuatnya baik-baik saja?


**
Haha, udah lama dikit ya. Ya maafkan. Buat yg nunggu, maafkan. Susah nyari timing buat nulis. biasa, sibuk laprak:)) hehe
@citr_

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang