Sabtu, 23 Januari 2016

Ajari Aku [6]



Part 6: Hap.. Hap..

**
                Ify mengingat apa yang ia lihat barusan sebelum Irva melambaikan tangan. Saat ia dan teman-temannya memutuskan makan siang bersama di kafe tadi. Itu tadi yang ia lihat Rio bukan ya? Tapi masa iya Rio makan berdua dengan cewek, cantik lagi, batin Ify. Tanpa Ify sadari ada yang berdenyut perih mengetahui fakta bahwa itu tadi Rio dengan seorang gadis seusia Rio yang menurut Ify sendiri cantik, sangat cantik malah. Tapi entah sisi positif atau sisi pura-pura bodoh Ify meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dia lihat tadi bukanlah Rio.
              
  Berusaha menghilangkan pemikirannya yang tidak-tidak Ify pun bersenandung kecil seperti biasa. Saking asyiknya, gadis ini tidak sadar sepatunya menubruk kaki seseorang. Ify mendongak.
                “Mas Rio.”
                Ify tidak tahu mengapa ia pasrah-pasrah saja saat Rio menariknya menuju taman. Tapi gadis itu bersungguh-sungguh saat ia berucap.
                “Ayo kita berusaha sama-sama!”
*
                “Ya, kalian berdua harus sekolah lagi.” Ulang Ify mantap. Bastian dan Debo saling tatap lagi, sama-sama bingung.
                “Lo nggak denger yang Ify bilang?” kali ini Rio yang angkat bicara.
                “Tapi..” Bastian mencoba menyanggah, tapi bingung harus bilang apa. Ify yang melihat gelagat Bastian seakan mengerti. Lalu Ify meraih kantong plastik yang dibawanya lalu mulai mengeluarkan isinya. Seragam sekolah, buku-buku.
                “Ini semua yang kalian butuhin.”
                “Terus sekolahnya dimana?” Tanya Debo antusias melihat seragam dan buku yang Ify keluarkan.
                “Ada. Tanteku punya sekolah yang memang dibuat untuk kalian, eh sorry salah ngomong,” Ify menggaruk kepalanya salah tingkah karena sadar ia salah bicara.
                “Tantenya Ify punya sekolah buat anak-anak macam kita ini. Yang putus sekolah, jadi nggak usah khawatir, nggak usah minder atau apa. Biasa aja, ngerti.” Jelas Rio. Debo dan Bastian hanya mengangguk senang. Tampaknya tidak peduli pada kata-kata Ify tadi.
                Ify merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja ruang tamu rumah paman Debo. Tiga orang tadi-Rio, Debo, dan Bastian- meninggalkan Ify sebentar untuk beli jajan katanya. Ngomong-ngomong soal pamannya Debo, Ify belum ketemu sih tapi tadi dari Rio Ify tahu kalau pamannya Debo baik dan nggak susah kalo harus meyakinkan beliau Debo harus sekolah lagi.
                Drrtt..
                Ray Prasetya: Dimana?
                Notifikasi line muncul di hp Ify. Oh, Ray. Ify lupa tadi tidak pamit Ray waktu pulang.
                Rumah temen. Knp?
                Drrtt..
                Oke. Gue kirain kmn. Tiati :D
                “Wah fast respond.” Ujar Ify sendiri. Lalu sambil menunggu Rio kembali, Ify chatting nggak jelas dengan Ray.
                “Dari pacar?”
                “Hah?” Ify kaget saat tiba-tiba Rio sudah duduk disampingnya.
                “Dari pacar?” ulang Rio sekali lagi. Ify menggeleng lalu segera menyimpan hp nya ke kantong tasnya.
                “Lama banget.” Dengus gadis itu lalu meninggalkan Rio menyusul Bastian dan Debo yang menuju dapur. Rio terkekeh pelan saat gadis itu melewatinya. Dari yang ia lihat gadis itu berubah panik saat ia tanya tadi. Rio sendiri yakin kalau Ify pasti sedang mengobrol dengan cowok yang pernah ia ceritakan dulu, yang Rio sebenarnya sendiri tidak tertarik untuk mendengarnya.
                Langkah-langkah berisik Bastian, Debo, dan Ify membuat Rio yang mencoba mengingat curhatan Ify buyar. Lalu Rio berdiri, membantu Ify yang tampak kerepotan membawa piring dan gelas.
                “Kalau butuh bantuan, bilang dong Tuan putri.” Ujar Rio membuat Ify mendengus pelan.
                Setelah menata makanan dan minuman sedemikian rupa, merekapun makan.
**
                “Hehe, Paman Usman baik banget ya. Lucu lagi.” Ify masih belum mengganti topik pembicaraannya tentang pertemuan pertamanya dengan Paman Usman.
                “Gue ngerti kenapa lo seneng.”
                “Kenapa, Mas?”
                “Soalnya Paman manggil lo ‘neng geulis’, iya kan?” ujar Rio. Ify tertawa lalu menepuk pundak Rio. Tanpa Ify tahu, Rio sendiri juga tidak tahu, tawa Ify itu menelusupkan rasa asing pada diri Rio.
               
                “Sudah sampai. Mau mampir? Belum malem juga kok.” Ujar Ify saat ia dan Rio sudah sampai depan rumahnya. Rio tampak berpikir.
                “Lain kali, deh Fy. Salam buat Ibu Anida. Terima kasih dari gue, Bastian, sama Debo.” Ujar Rio sambil senyum
                “Gue balik dulu.” Imbuhnya lalu menghilang dari pandangan Ify.

                “Ify pulanggg.” Teriak Ify.
                “Iya, tau. Teriaknya biasa aja, kaya mau ngajak tawuran tau ngga teh?” sembur Oliv yang sedang asyik nonton teve. Ify meringis lalu segera naik ke kamarnya. Ify melempar tasnya sembarang dan segera menubruk spring bednya. Capeeek sekali rasanya hari ini tapi juga sekaligus senang juga. Ify rasanya jadi ibu-ibu muda yang ribet besok anaknya mulai sekolah. Yaa, kau tahu rasanya bagaimana orang yang sama sekali sudah tidak peduli dengan dirinya sendiri lalu dengan tekadnya sendiri memutuskan untuk berubah jadi lebih baik dan kau sendiri menyaksikan sendiri semangatnya. Luar biasa, itu yang Ify rasakan saat melihat Rio tadi. Ify mengerti, mungkin itulah Rio yang selama ini sembunyi dalam preman Rio.
                “Hai, Sayang.” Tante Anida tiba-tiba muncul di pintu kamar.
                “Masuk sini aja, Tan.” Ujar Ify yang mulai duduk di kasurnya.
                “Kamu bawa murid baru ya. Tadi Rum bilang.”
                “Iya dong. Murid baru di perguruan Tom Sam Cong,” jawab Ify sambil nyengir. Tante Anida mengacak rambut Ify gemas.
                “Besok hari pertama menurut kamu lancar nggak?” tanya Tante Anida. Ify tampak menerawang.
                “Enggak.”
                “Cuma Mas Rio yang excited. Mungkin Bastian sama Debo perlu motivasi lagi. Ntar deh aku pikirin.” Ujar Ify serius. Tante Anida mengangguk mengerti.
                “Oh ya. Guru privat kamu nanti agak telat. Sudah beri tahu Ray?” Tante Anida mengingatkan. Ify menggeleng sambil nyengir.
                “Biar ngobrol dulu nanti sama Ray, he he.”


First step is the hardest!
                Ify harus mengakui itu benar. Gadis itu pernah melihat sepupunya yang masih bayi waktu itu belajar berjalan sendiri, berulang kali bayi itu berdiri tapi tak kunjung pindah dari tempatnya. Lalu merangkak lagi berdiri lagi dan akhirnya langkah pertamanya tercipta. Seluruh keluarga heboh seingat Ify termasuk ia sendiri. Jadi Ify maklum waktu tadi mampir ke ‘sekolah’ tante Anida tidak mendapati Debo maupun Bastian di sana. Ia tidak berjumpa Rio juga sih tapi tadi mbak Rum bilang kalau pemuda itu datang di hari pertamanya.
                “Kenapa gitu tanya-tanya masuk apa enggak?” tanya Mbak Rum.
                “Ya kan aku yang daftarin mereka. Aku cek lah dateng enggak.” Jawab Ify.
                “Biasalah hari pertama, mungkin masih minder,” tanggap mbak Rum. Ify mengangguk setuju lalu pamit mau ketemu Tante Anida.
               
                “Iya, sini aja. Nggak ngapa-ngapain, gabut gue.”ujar Ify di telpon.
                “Yaa, ati-ati Ray.” Lalu Ify menaruh ponselnya. Ray akan kesini, lumayanlah temen ngobrol karena tantenya ada kelas.

**
                “Tumben-tumben lo kesini, fy.” Ujar Ray yang duduk di sebelah Ify.
                “Gue abis bawa murid soalnya?”
                “Murid?” tanya Ray bingung.
                “Iya. Murid baru buat diajar sama Tom sang cong, haha.” Ujar Ify sambil ketawa. Ray mulai bingung, Ify menangkapnya. Lalu Ify menjelaskan semuanya, Rio, Bastian, dan Debo.
                “Yang serem itu? Parah, lo bisa kenal.” Ujar Ray takjub. Ify terkekeh.
                “Nggak seserem itu sebenarnya. Orang kaya mereka cuma butuh orang yang mau peduli dan mau mengerti.” Ray mengangguk.
                “Lo nggak pernah sebersinar ini, Fy.”
                “Eh? Bersinar? Apanya?” kini gantian Ify yang bingung.
                Your eyes blinking a lot. Kenapa?”
                “Hah? Iya kah? Biasa aja. Lo aja kali terpesona sama gue.”Ify mencoba mengalihkan topik tapi sepertinya salah.
                “Iya, gue selalu terpesona sama lo. Lah elo kapan balik kena pesona gue?”
                Ify Cuma bisa diam.

*
                Seminggu setelahnya, Ify akhirnya menyambangi Rio, Debo, dan Bastian di rumah Paman Usman. Ify kesana sekitar pukul satu siang, tiga cowok itu belum pulang sekolah. Ify bertemu Paman Usman yang mengisi ulang gerobak baksonya dan juga Bi Cecen –istri Paman Usman- yang kebetulan sedang mengunjungi Paman dan Debo.
                “Paman, Debo sama Bas sekolah kan?” tanya Ify sambil membantu Paman Usman mengelap mangkok yang akan dibawa. Paman Usman mengangguk antusias lalu menggiring Ify untuk duduk, Paman Usman pun dengan menggebu-gebu bercerita.
                “Iya, neng Ify. Mereka berdua sekolah akhirnya, Saya nggak nyangka. Soalnya hari pertama ke sekolah mereka malah pergi nggak tau kemana. Saya sih mereka sekolah ya Alhamdulillah enggak ya udah. Tapi saya pengennya mereka sekolah. Yang niat sekolah teh si Rio, emang pinter soalnya dia. Dari awal mamang tau den Rio ini anaknya aslinya pinter.” Ujar Paman Usman. Ify memperhatikan beliau dengan serius.
                “Tapi neng tau nggak. Siangnya pas pulang, Si debo sama Bas nyamperin saya. Rambutnya potong, pada rapi-rapi kayak anak sekolahan. Udah nggak pada gondrong lagi neng, seneng saya liatnya.”
                “Wah, iyaa? Ify belum liat. Belum ketemu mereka seminggu, Paman.” Ify tersenyum membayangkan wajah Debo dan Bastian.
                “Seminggu ini udah rajin mereka. Alhamdulillah lagi, masih pada sempetin bantuin Mamang nyiapin dagangan.”
                “Makasih neng Ify, sudah daftarkan anak-anak bertiga itu sekolah. Saya ada harapan lagi anak-anak nantinya bisa jadi orang.” Ujar Paman Usman sambil berkaca-kaca. Ify segera memeluk Paman lalu menangis haru.
                “Sama-sama, Paman.”
                “Ini kenapa neng Ify nangis?” tanya Bi Cecen yang muncul dari dapur.
                “Hehe, ngga apa Bi. Bi masih ada yang bisa Ify bantu teu?” tanya Ify yang mulai beranjak dari duduknya. Bi Cecen menggeleng dan menawari Ify makan, Ify mengangguk senang.
                “Ditunggu aja neng, bentar lagi juga pada pulang. Mamang berangkat dulu ya,” ujar Paman Usman yang kemudian berlalu bersama gerobaknya. Ify masuk ke rumah dan Bi Cecen menyambutnya dengan sayur bayam beserta lauk pauknya.
                “Ify makannya nunggu yang lain pulang nggak apa-apa, kan Bi?” tanya Ify.
                “Iya, tunggu aja. Sebentar lagi pulang. Bibi lanjutin cuci dulu ya,neng?”
                “Iya, Bi.” Ify lalu menunggu 3 orang itu pulang di depan.

                Tak lama kemudian, Ify mendengar suara gaduh.
                “Lihat, lihat kita ditunggu siapaa?” terdengar Debo heboh sendiri.
                “Haloo,” Ify menyembul dari pintu menyambut mereka. Bastian dan Debo seraya memeluk Ify sampai gadis itu kesusahan bernapas.
                “Kangen Teh Ify,” celetuk Debo.
                “Rambut baru, lucuuu.” Balas Ify sambil mengacak rambut mereka gemas.
                “Makan yuuk. Laper gue nunggu kalian,” ujar Ify yang langsung di tarik Debo dan Bastian.
                Mereka berempat lalu makan dengan lahap dan ini makan siang Ify yang paling ceria dan rusuh seminggu ini. Setelah makan, mereka pun duduk di depan sekedar ngobrol-ngobrol. Debo dan Bastian kebetulan seusia jadi mereka sekelas, kelas 2 SMP harusnya, tapi karena mereka sudah lupa materi macam fisika, kimia, dikembalikan lagi ke kelas 1. Ify ketawa saat Debo bilang Bastian nggak bisa jawab apa bunyi hukum II Newton,
                “Dia malah bilang, dia taunya dihukum satpol PP.”
                 Daritadi dua cowok itu tidak berhenti cerita tentang pelajaran-pelajaran baru mereka di sekolah.
                “Aku maulah semangat kayak kalian biar seneng sekolahnya.” Keluh Ify.
                “Lah? Emang teh Ify nggak semangat?” tanya Bastian sambil nyomot kerupuk.
                “Kadang-kadang males,” jawab Ify.
                “Jangan males, teh. Teteh kan cantik dan pintar. Teteh bisa semangatin kita, jadi teteh bisa dong semangatin diri teteh sendiri.” Kini Debo sok-sokan menasehati Ify.
                “Hmm... Iya deh. Aku semangatt”
                Rio banyak diam sedari tadi jadi Ify menyeretnya keluar dari rumah dengan alasan Ify nggak mau pulang sendiri jadi Rio harus mengantarnya pulang. Rio dengan tampang datarnya mengekor Ify sesudah gadis itu pamit ke Bi Cecen dan Bastian-Debo. Ify dan Rio berjalan beriringan menuju halte terdekat.
                “Gimana sekolah?” Ify memecah keheningan di antara keduanya. Rio menoleh sedikit.
                “Baik,” Jawab Rio singkat. Keduanya diam lagi dari saat naik ke Bis sampai turun lagi.
               
                “Seminggu ini kemana?” Ify menghentikan langkahnya mendengar pertanyaan Rio, hatinya mendadak hangat dan Ify tidak tahu kenapa jantungnya berpacu lebih cepat.
                “Aku.. latihan soal. Mau ikut lomba,” jawab Ify pelan.
                “Lomba apa?” tanya Rio.
                “Ada 2. Paduan suara sama seleksi buat Olimpiade Kimia,” jawab Ify malu-malu, entah kenapa gadis itu juga tidak tahu.
                “Lo keren,” puji Rio.
                “Otak lo seimbang,” lanjut cowok itu yang kemudian duduk di trotoar yang jaraknya 100 meter dari rumah Ify. Ify ikut duduk.
                “Makasih, Mas Rio.”
                “Ajari gue dong,”
                “Apa?”
                “Jadi kayak elo.”

*
                Rasanya Rio tidak terkejut saat Ify bilang ia ikut paduan suara dan olimpiade kimia. Gadis itu memang pintar, terpancar dari aura wajahnya yang ceria. Rio senang mendengar Ify bilang ia sibuk belajar seketika menendang pikiran negatifnya kalau Ify sibuk dengan teman cowoknya yang kalau Rio tidak salah namanya Ray.
                “Ajari gue dong,”
                “Apa?” tanya Ify dengan mata bulatnya. Ekspresi yang sama tiap kali gadis itu ingin tahu sesuatu. Rio tersenyum tipis.
                “Jadi kayak elo,” jawab Rio enteng. Rio melihat Ify menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi.
                “Jadi kayak aku gimana maksudnya?” Rio tersenyum tipis lagi, ia senang kalau melihat wajah Ify yang bingung seperti kucing kecil.
                “Seimbang, otak kiri dan kanan,” jawab Rio. Kini Ify mengangguk mengerti.
                “Ayok sih. Aku privat kalau perlu, haha.” Jawab Ify bercanda.
                “Tiap malam minggu, mainlah ke rumah. Kita belajar, kita 1 angkatan kan, haha?” tambah Ify sambil tertawa. Rio ikut tertawa.
                “Malam minggu, ya? Gue usahain.” Rio menyetujui ide Ify. Ify lalu menawarkan telapak tangannya dan disambut Rio dengan menjabat tangan Ify erat.
                “Pulang yuuk. Panas,” ujar Ify sambil menarik Rio untuk segera mengantarnya ke rumah.


**
                Shilla menunggu pintu jati yang ia ketuk tadi terbuka. Lalu gadis itu mendengar suara langkah tergesa dari dalam.
                “Sebentar,” ujar suara itu lembut diiringi suara putaran kunci.
                “Cari siapa?” belum sempat Shilla menjawab, pemilik suara itu segera memeluknya.
                “Nak Shilla, sudah lama. Apa kabar? Ayo masuk.”                  



**

Haloo, aku muncul lagi setelah ada niat merampungkan cerbung ini.
Makasih buat yang masih menunggu (kalau ada) cerita ini kalau lupa alurnya bisa dibaca dari sini
Oiya, maaf ya kalau cerita ini makin nggak jelas, wkwk tapi semoga buat kalian yang baca terhibur. 
Makasih :))

@citr_

1 komentar:

  1. cerita yang menginspirasi kak..terimakasih buat sharingnya.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat website gratis yukk disini saja.. terimakasih

    BalasHapus

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang