Part 6: Hap.. Hap..
**
Ify mengingat apa yang
ia lihat barusan sebelum Irva melambaikan tangan. Saat ia dan teman-temannya
memutuskan makan siang bersama di kafe tadi. Itu tadi yang ia lihat Rio bukan
ya? Tapi masa iya Rio makan berdua dengan cewek, cantik lagi, batin Ify. Tanpa
Ify sadari ada yang berdenyut perih mengetahui fakta bahwa itu tadi Rio dengan
seorang gadis seusia Rio yang menurut Ify sendiri cantik, sangat cantik malah.
Tapi entah sisi positif atau sisi pura-pura bodoh Ify meyakinkan dirinya
sendiri bahwa yang dia lihat tadi bukanlah Rio.
“Mas Rio.”
Ify tidak tahu mengapa
ia pasrah-pasrah saja saat Rio menariknya menuju taman. Tapi gadis itu
bersungguh-sungguh saat ia berucap.
“Ayo kita berusaha
sama-sama!”
*
“Ya, kalian berdua harus sekolah lagi.” Ulang Ify mantap. Bastian dan Debo saling tatap lagi, sama-sama bingung.
“Ya, kalian berdua harus sekolah lagi.” Ulang Ify mantap. Bastian dan Debo saling tatap lagi, sama-sama bingung.
“Lo nggak denger yang
Ify bilang?” kali ini Rio yang angkat bicara.
“Tapi..” Bastian
mencoba menyanggah, tapi bingung harus bilang apa. Ify yang melihat gelagat
Bastian seakan mengerti. Lalu Ify meraih kantong plastik yang dibawanya lalu
mulai mengeluarkan isinya. Seragam sekolah, buku-buku.
“Ini semua yang kalian
butuhin.”
“Terus sekolahnya
dimana?” Tanya Debo antusias melihat seragam dan buku yang Ify keluarkan.
“Ada. Tanteku punya
sekolah yang memang dibuat untuk kalian, eh sorry salah ngomong,” Ify menggaruk
kepalanya salah tingkah karena sadar ia salah bicara.
“Tantenya Ify punya
sekolah buat anak-anak macam kita ini. Yang putus sekolah, jadi nggak usah
khawatir, nggak usah minder atau apa. Biasa aja, ngerti.” Jelas Rio. Debo dan
Bastian hanya mengangguk senang. Tampaknya tidak peduli pada kata-kata Ify
tadi.
Ify merapikan
kertas-kertas yang berserakan di meja ruang tamu rumah paman Debo. Tiga orang
tadi-Rio, Debo, dan Bastian- meninggalkan Ify sebentar untuk beli jajan
katanya. Ngomong-ngomong soal pamannya Debo, Ify belum ketemu sih tapi tadi
dari Rio Ify tahu kalau pamannya Debo baik dan nggak susah kalo harus
meyakinkan beliau Debo harus sekolah lagi.
Drrtt..
Ray Prasetya: Dimana?
Notifikasi line muncul
di hp Ify. Oh, Ray. Ify lupa tadi tidak pamit Ray waktu pulang.
Rumah temen. Knp?
Drrtt..
Oke. Gue kirain kmn.
Tiati :D
“Wah fast respond.” Ujar Ify sendiri. Lalu
sambil menunggu Rio kembali, Ify chatting nggak jelas dengan Ray.
“Dari pacar?”
“Hah?” Ify kaget saat
tiba-tiba Rio sudah duduk disampingnya.
“Dari pacar?” ulang
Rio sekali lagi. Ify menggeleng lalu segera menyimpan hp nya ke kantong tasnya.
“Lama banget.” Dengus
gadis itu lalu meninggalkan Rio menyusul Bastian dan Debo yang menuju dapur.
Rio terkekeh pelan saat gadis itu melewatinya. Dari yang ia lihat gadis itu
berubah panik saat ia tanya tadi. Rio sendiri yakin kalau Ify pasti sedang
mengobrol dengan cowok yang pernah ia ceritakan dulu, yang Rio sebenarnya
sendiri tidak tertarik untuk mendengarnya.
Langkah-langkah
berisik Bastian, Debo, dan Ify membuat Rio yang mencoba mengingat curhatan Ify
buyar. Lalu Rio berdiri, membantu Ify yang tampak kerepotan membawa piring dan
gelas.
“Kalau butuh bantuan,
bilang dong Tuan putri.” Ujar Rio membuat Ify mendengus pelan.
Setelah menata makanan
dan minuman sedemikian rupa, merekapun makan.
**
“Hehe, Paman Usman
baik banget ya. Lucu lagi.” Ify masih belum mengganti topik pembicaraannya
tentang pertemuan pertamanya dengan Paman Usman.
“Gue ngerti kenapa lo
seneng.”
“Kenapa, Mas?”
“Soalnya Paman manggil
lo ‘neng geulis’, iya kan?” ujar Rio. Ify tertawa lalu menepuk pundak Rio.
Tanpa Ify tahu, Rio sendiri juga tidak tahu, tawa Ify itu menelusupkan rasa
asing pada diri Rio.
“Sudah sampai. Mau
mampir? Belum malem juga kok.” Ujar Ify saat ia dan Rio sudah sampai depan
rumahnya. Rio tampak berpikir.
“Lain kali, deh Fy.
Salam buat Ibu Anida. Terima kasih dari gue, Bastian, sama Debo.” Ujar Rio
sambil senyum
“Gue balik dulu.”
Imbuhnya lalu menghilang dari pandangan Ify.
“Ify pulanggg.” Teriak
Ify.
“Iya, tau. Teriaknya
biasa aja, kaya mau ngajak tawuran tau ngga teh?” sembur Oliv yang sedang asyik
nonton teve. Ify meringis lalu segera naik ke kamarnya. Ify melempar tasnya
sembarang dan segera menubruk spring bednya. Capeeek sekali rasanya hari ini
tapi juga sekaligus senang juga. Ify rasanya jadi ibu-ibu muda yang ribet besok
anaknya mulai sekolah. Yaa, kau tahu rasanya bagaimana orang yang sama sekali
sudah tidak peduli dengan dirinya sendiri lalu dengan tekadnya sendiri
memutuskan untuk berubah jadi lebih baik dan kau sendiri menyaksikan sendiri
semangatnya. Luar biasa, itu yang Ify rasakan saat melihat Rio tadi. Ify
mengerti, mungkin itulah Rio yang selama ini sembunyi dalam preman Rio.
“Hai, Sayang.” Tante
Anida tiba-tiba muncul di pintu kamar.
“Masuk sini aja, Tan.”
Ujar Ify yang mulai duduk di kasurnya.
“Kamu bawa murid baru
ya. Tadi Rum bilang.”
“Iya dong. Murid baru
di perguruan Tom Sam Cong,” jawab Ify sambil nyengir. Tante Anida mengacak
rambut Ify gemas.
“Besok hari pertama
menurut kamu lancar nggak?” tanya Tante Anida. Ify tampak menerawang.
“Enggak.”
“Cuma Mas Rio yang
excited. Mungkin Bastian sama Debo perlu motivasi lagi. Ntar deh aku pikirin.”
Ujar Ify serius. Tante Anida mengangguk mengerti.
“Oh ya. Guru privat
kamu nanti agak telat. Sudah beri tahu Ray?” Tante Anida mengingatkan. Ify
menggeleng sambil nyengir.
“Biar ngobrol dulu
nanti sama Ray, he he.”
First step is the hardest!
Ify harus mengakui itu
benar. Gadis itu pernah melihat sepupunya yang masih bayi waktu itu belajar
berjalan sendiri, berulang kali bayi itu berdiri tapi tak kunjung pindah dari
tempatnya. Lalu merangkak lagi berdiri lagi dan akhirnya langkah pertamanya
tercipta. Seluruh keluarga heboh seingat Ify termasuk ia sendiri. Jadi Ify
maklum waktu tadi mampir ke ‘sekolah’ tante Anida tidak mendapati Debo maupun
Bastian di sana. Ia tidak berjumpa Rio juga sih tapi tadi mbak Rum bilang kalau
pemuda itu datang di hari pertamanya.
“Kenapa gitu
tanya-tanya masuk apa enggak?” tanya Mbak Rum.
“Ya kan aku yang
daftarin mereka. Aku cek lah dateng enggak.” Jawab Ify.
“Biasalah hari
pertama, mungkin masih minder,” tanggap mbak Rum. Ify mengangguk setuju lalu
pamit mau ketemu Tante Anida.
“Iya, sini aja. Nggak
ngapa-ngapain, gabut gue.”ujar Ify di telpon.
“Yaa, ati-ati Ray.”
Lalu Ify menaruh ponselnya. Ray akan kesini, lumayanlah temen ngobrol karena
tantenya ada kelas.
**
“Tumben-tumben lo
kesini, fy.” Ujar Ray yang duduk di sebelah Ify.
“Gue abis bawa murid
soalnya?”
“Murid?” tanya Ray
bingung.
“Iya. Murid baru buat
diajar sama Tom sang cong, haha.” Ujar Ify sambil ketawa. Ray mulai bingung,
Ify menangkapnya. Lalu Ify menjelaskan semuanya, Rio, Bastian, dan Debo.
“Yang serem itu?
Parah, lo bisa kenal.” Ujar Ray takjub. Ify terkekeh.
“Nggak seserem itu
sebenarnya. Orang kaya mereka cuma butuh orang yang mau peduli dan mau
mengerti.” Ray mengangguk.
“Lo nggak pernah
sebersinar ini, Fy.”
“Eh? Bersinar?
Apanya?” kini gantian Ify yang bingung.
“Your eyes blinking
a lot. Kenapa?”
“Hah? Iya kah? Biasa
aja. Lo aja kali terpesona sama gue.”Ify mencoba mengalihkan topik tapi
sepertinya salah.
“Iya, gue selalu
terpesona sama lo. Lah elo kapan balik kena pesona gue?”
Ify Cuma bisa diam.
*
Seminggu setelahnya,
Ify akhirnya menyambangi Rio, Debo, dan Bastian di rumah Paman Usman. Ify
kesana sekitar pukul satu siang, tiga cowok itu belum pulang sekolah. Ify
bertemu Paman Usman yang mengisi ulang gerobak baksonya dan juga Bi Cecen
–istri Paman Usman- yang kebetulan sedang mengunjungi Paman dan Debo.
“Paman, Debo sama Bas
sekolah kan?” tanya Ify sambil membantu Paman Usman mengelap mangkok yang akan
dibawa. Paman Usman mengangguk antusias lalu menggiring Ify untuk duduk, Paman
Usman pun dengan menggebu-gebu bercerita.
“Iya, neng Ify. Mereka
berdua sekolah akhirnya, Saya nggak nyangka. Soalnya hari pertama ke sekolah
mereka malah pergi nggak tau kemana. Saya sih mereka sekolah ya Alhamdulillah
enggak ya udah. Tapi saya pengennya mereka sekolah. Yang niat sekolah teh si
Rio, emang pinter soalnya dia. Dari awal mamang tau den Rio ini anaknya aslinya
pinter.” Ujar Paman Usman. Ify memperhatikan beliau dengan serius.
“Tapi neng tau nggak.
Siangnya pas pulang, Si debo sama Bas nyamperin saya. Rambutnya potong, pada
rapi-rapi kayak anak sekolahan. Udah nggak pada gondrong lagi neng, seneng saya
liatnya.”
“Wah, iyaa? Ify belum
liat. Belum ketemu mereka seminggu, Paman.” Ify tersenyum membayangkan wajah
Debo dan Bastian.
“Seminggu ini udah
rajin mereka. Alhamdulillah lagi, masih pada sempetin bantuin Mamang nyiapin
dagangan.”
“Makasih neng Ify,
sudah daftarkan anak-anak bertiga itu sekolah. Saya ada harapan lagi anak-anak
nantinya bisa jadi orang.” Ujar Paman Usman sambil berkaca-kaca. Ify segera
memeluk Paman lalu menangis haru.
“Sama-sama, Paman.”
“Ini kenapa neng Ify
nangis?” tanya Bi Cecen yang muncul dari dapur.
“Hehe, ngga apa Bi. Bi
masih ada yang bisa Ify bantu teu?” tanya Ify yang mulai beranjak dari
duduknya. Bi Cecen menggeleng dan menawari Ify makan, Ify mengangguk senang.
“Ditunggu aja neng,
bentar lagi juga pada pulang. Mamang berangkat dulu ya,” ujar Paman Usman yang
kemudian berlalu bersama gerobaknya. Ify masuk ke rumah dan Bi Cecen
menyambutnya dengan sayur bayam beserta lauk pauknya.
“Ify makannya nunggu
yang lain pulang nggak apa-apa, kan Bi?” tanya Ify.
“Iya, tunggu aja.
Sebentar lagi pulang. Bibi lanjutin cuci dulu ya,neng?”
“Iya, Bi.” Ify lalu
menunggu 3 orang itu pulang di depan.
Tak lama kemudian, Ify
mendengar suara gaduh.
“Lihat, lihat kita
ditunggu siapaa?” terdengar Debo heboh sendiri.
“Haloo,” Ify menyembul
dari pintu menyambut mereka. Bastian dan Debo seraya memeluk Ify sampai gadis
itu kesusahan bernapas.
“Kangen Teh Ify,”
celetuk Debo.
“Rambut baru, lucuuu.”
Balas Ify sambil mengacak rambut mereka gemas.
“Makan yuuk. Laper gue
nunggu kalian,” ujar Ify yang langsung di tarik Debo dan Bastian.
Mereka berempat lalu
makan dengan lahap dan ini makan siang Ify yang paling ceria dan rusuh seminggu
ini. Setelah makan, mereka pun duduk di depan sekedar ngobrol-ngobrol. Debo dan
Bastian kebetulan seusia jadi mereka sekelas, kelas 2 SMP harusnya, tapi karena
mereka sudah lupa materi macam fisika, kimia, dikembalikan lagi ke kelas 1. Ify
ketawa saat Debo bilang Bastian nggak bisa jawab apa bunyi hukum II Newton,
“Dia malah bilang, dia
taunya dihukum satpol PP.”
Daritadi dua cowok itu tidak berhenti cerita
tentang pelajaran-pelajaran baru mereka di sekolah.
“Aku maulah semangat
kayak kalian biar seneng sekolahnya.” Keluh Ify.
“Lah? Emang teh Ify
nggak semangat?” tanya Bastian sambil nyomot kerupuk.
“Kadang-kadang males,”
jawab Ify.
“Jangan males, teh.
Teteh kan cantik dan pintar. Teteh bisa semangatin kita, jadi teteh bisa dong
semangatin diri teteh sendiri.” Kini Debo sok-sokan menasehati Ify.
“Hmm... Iya deh. Aku
semangatt”
Rio banyak diam sedari
tadi jadi Ify menyeretnya keluar dari rumah dengan alasan Ify nggak mau pulang
sendiri jadi Rio harus mengantarnya pulang. Rio dengan tampang datarnya
mengekor Ify sesudah gadis itu pamit ke Bi Cecen dan Bastian-Debo. Ify dan Rio
berjalan beriringan menuju halte terdekat.
“Gimana sekolah?” Ify
memecah keheningan di antara keduanya. Rio menoleh sedikit.
“Baik,” Jawab Rio
singkat. Keduanya diam lagi dari saat naik ke Bis sampai turun lagi.
“Seminggu ini kemana?”
Ify menghentikan langkahnya mendengar pertanyaan Rio, hatinya mendadak hangat
dan Ify tidak tahu kenapa jantungnya berpacu lebih cepat.
“Aku.. latihan soal.
Mau ikut lomba,” jawab Ify pelan.
“Lomba apa?” tanya
Rio.
“Ada 2. Paduan suara
sama seleksi buat Olimpiade Kimia,” jawab Ify malu-malu, entah kenapa gadis itu
juga tidak tahu.
“Lo keren,” puji Rio.
“Otak lo seimbang,”
lanjut cowok itu yang kemudian duduk di trotoar yang jaraknya 100 meter dari
rumah Ify. Ify ikut duduk.
“Makasih, Mas Rio.”
“Ajari gue dong,”
“Apa?”
“Jadi kayak elo.”
*
Rasanya Rio tidak
terkejut saat Ify bilang ia ikut paduan suara dan olimpiade kimia. Gadis itu
memang pintar, terpancar dari aura wajahnya yang ceria. Rio senang mendengar
Ify bilang ia sibuk belajar seketika menendang pikiran negatifnya kalau Ify
sibuk dengan teman cowoknya yang kalau Rio tidak salah namanya Ray.
“Ajari gue dong,”
“Apa?” tanya Ify
dengan mata bulatnya. Ekspresi yang sama tiap kali gadis itu ingin tahu
sesuatu. Rio tersenyum tipis.
“Jadi kayak elo,”
jawab Rio enteng. Rio melihat Ify menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi.
“Jadi kayak aku gimana
maksudnya?” Rio tersenyum tipis lagi, ia senang kalau melihat wajah Ify yang
bingung seperti kucing kecil.
“Seimbang, otak kiri
dan kanan,” jawab Rio. Kini Ify mengangguk mengerti.
“Ayok sih. Aku privat
kalau perlu, haha.” Jawab Ify bercanda.
“Tiap malam minggu,
mainlah ke rumah. Kita belajar, kita 1 angkatan kan, haha?” tambah Ify sambil
tertawa. Rio ikut tertawa.
“Malam minggu, ya? Gue
usahain.” Rio menyetujui ide Ify. Ify lalu menawarkan telapak tangannya dan
disambut Rio dengan menjabat tangan Ify erat.
“Pulang yuuk. Panas,”
ujar Ify sambil menarik Rio untuk segera mengantarnya ke rumah.
**
Shilla menunggu pintu
jati yang ia ketuk tadi terbuka. Lalu gadis itu mendengar suara langkah tergesa
dari dalam.
“Sebentar,” ujar suara
itu lembut diiringi suara putaran kunci.
“Cari siapa?” belum
sempat Shilla menjawab, pemilik suara itu segera memeluknya.
“Nak
Shilla, sudah lama. Apa kabar? Ayo masuk.”
**
Haloo, aku muncul lagi setelah ada niat merampungkan cerbung ini.
Makasih buat yang masih menunggu (kalau ada) cerita ini kalau lupa alurnya bisa dibaca dari sini.
Oiya, maaf ya kalau cerita ini makin nggak jelas, wkwk tapi semoga buat kalian yang baca terhibur.
Makasih :))
@citr_
cerita yang menginspirasi kak..terimakasih buat sharingnya.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat website gratis yukk disini saja.. terimakasih
BalasHapus