Happy new year ^^
It's been a long long time yaa, sudah lama sekali ya tidak melanjutkan cerita ini =))
Nih, dilanjut ya
Check this one out
Part 3: Confession(s)
Gue bukan
bosen jadi orang yang posisinya nggak jelas antara diterima atau ditolak. Gue
kadang mikir, apa lo udah berubah pikiran? Apa lo juga udah bisa balas perasaan
gue, Fy. - Ray
Pagi berawan seperti biasa menemani langkah Ify
begitu keluar dari rumah menuju sekolah. Setelah sarapan dengan tante dan juga
sepupunya, Ify buru-buru keluar rumah, mencari angkot tercepat yang
menjemputnya ke sekolah. Namun, yang didapati Ify bukan angkot dengan berbagai
macam profesi duduk di alat transport yang sama, Ray dengan mobil baru yang
beberapa hari lalu digembar-gemborkan teman sekelasnya berhenti tepat di depan
Ify.
“Bareng yuk, Fy?” ajak Ray menyadarkan Ify yang
melongo. Ify mengerjap sadar dari kekagetannya. Setelah seminggu tidak bicara
apa-apa pada Ify kecuali “Fisika susah
ya,” Ray tiba-tiba muncul di depan Ify
dengan begini.
“Kok diem?” tanya Ray saat mereka berhenti di
lampu lalu lintas pertama mereka.
“Ha? EH?” hanya itu kata keluar dari mulut Ify.
Ray terkekeh pelan.
“Kaget?” tanya Ray melihat wajah Ify yang begitu
kosong. Ify mengangguk, ini semua terlalu tiba-tiba entah kenapa.
“Seminggu nggak say ‘Hi’ terus tiba-tiba kayak
gini, nggak awkward lo pikir?” ceplos Ify sambil menggembungkan pipi tirusnya.
Ray terkekeh pelan, Ify diam-diam meliriknya sebal.
“Maaf ya, Sofia.” Ujar Ray akhirnya. Ify menghela
napasnya, mengangguk.
“Gue cuma pengen tahu, Fy. Apa seminggu ini
absennya gue di kehidupan lo berdampak sesuatu ke hati lo, ke perasaan lo..”
tutur Ray membuat Ify hanya bisa menatap pemuda berambut gondrong itu.
**
“Dan hal pertama yang aku lakuin pagi tadi adalah
nge cek HP kali-kali ada sms dari kamu. Semaleman nggak ngasih kabar, sok-sokan
hilang ih norak.” Gerutu Shilla, gadis polos yang beberapa bulan terakhir
mengisi hari dan uhuk hati Rio.
“Lebih norak mana? Gue apa yang nunggu kabar dari
gue, eh?” Goda Rio membuat pipi Shilla bersemu merah. Gadis dengan rambut
sebahu, yang baru dipotong minggu lalu memukul pundak Rio sekeras-kerasnya
membuat cowok itu terpingkal-pingkal, bukannya kesakitan.
“Stop Shill, Stop!” pinta Rio masih sambil
tertawa. Shilla lalu menghentikkan aksinya lalu melipat kedua tangannya di
depan dada, ngambek.
“Shilla makin gemesin deh kalau ngambek,” Rio
menggoda Shilla lagi. Namun,gadis itu tidak merespon sama sekali masih tetap
pada posisinya. Rio lalu mendekati Shilla, lalu berbisik tepat di telinga kanan
gadis itu.
“Shilla, aku sayang kamu,”
**
Rio terkesiap, bangun dari tidurnya. Langit-langit
yang mulai kusam warnanya menjadi obyek pertama yang ia lihat. Mimpi semalam
bukan mimpi namun kenangan yang terputar seperti film. Shilla, pemeran
utamanya.
“Shilla,” gumam Rio pelan, hatinya pelan-pelan
merasakan sakit.
“Shilla,” ulangnya lagi. Rasanya masih sama,
antara sesal dan rindu.
“Bos, udah bangun?” Bastian tiba-tiba muncul di
balik pintu. Rio tidak menjawabnya hanya berdiri lalu melewati cowok berambut
kribo itu cuek. Bastian mengedikkan bahunya, mungkin Bos Rio habis mimpi buruk.
Rio membasuh mukanya asal. Buliran-buliran air
yang mengalir di pipinya membuat pikirannya terinvasi akan gadis yang sama pada
mimpinya, Shilla, lagi-lagi bayang cantiknya berjalan anggun di pikiran Rio.
**
Hujan di siang bolong membuat siswa-siswi SMA
Pemimpin Bangsa tertahan di sekolah. Padahal, barusan bel tanda sekolah usai
sudah berdering di seluruh penjuru sekolah. Shilla yang tadinya antusias karena
bisa pulang cepat sepertinya jadi siswi paling kecewa di sekolah.
“Shilla jangan manyun-manyun. Hujan itu rahmat.”
Celetuk Rahmi, anak yang paling religius di kelas Shilla. Shilla tersenyum
tipis agar Rahmi tidak meneruskan siraman rohaninya. Lalu dengan langkah
kecilnya, siswi kelas 11 itu melangkah keluar kelas.
“Hai, Shilla cantik. Manyun aja nih. Belum
diapelin Rio ganteng ya?” goda Abner cowok kelas 11 yang tiba-tiba menghadang
langkah Shilla. Shilla mencibir pelan. Rio itu siapa? Batinnya kesal. Shilla
sedang tidak mood mendengar nama Rio disebut-sebut di hadapannya. Cowok pemberi
sejuta angan, ih! Kesal Shilla dalam hati.
“Shilla kok marah-marah sih? Makin cantik, ntar
Rionya makin sayang lhooh.” Goda Abner yang tampak puas dengan reaksi Shilla.
Shilla pun mencubit Abner karena mulutnya yang tidak berhenti mengoceh.
“Berisik amat itu
mulut.” Gerutu Shilla. Abner hanya terkekeh pelan.
“Gila ya. Pantes Rio
nggak pernah berhenti ngomongin lo Shill. Lo dari diem sampe ngomel tetep aja
cantik.” Abner belum juga menutup mulutnya. Shilla mendelik kesal tapi
sekaligus hatinya tergelitik.
Rio membicarakannya,
ah yang benar saja? Apa kata-katanya tempo hari itu serius?
**
“Aku sayang kamu.
Nggak berubah.” Sial! Kata-kata itu lagi, batin Ify bimbang. Kenapa sih Ify
nggak bisa mengucap hal yang sama pada cowok di depannya ini. Kenapa sih,
jantung Ify tidak pernah berdebar-debar di dekat Ray. Kenapa Ify tidak pernah
merasa pipinya bersemu merah saat Ray memujinya. Kenapa setiap perlakuan Ray
padanya selalu Ify artikan sebagai perlakuan teman yang wajar padahal di mata
teman-temannya Ray sudah berlaku so sweet tingkat dewa kepada Ify. Ify merutuki
hatinya sendiri yang tidak pernah bisa mencerna sayang dari Ray.
“Ray..” lirih Ify.
Pemuda itu menoleh dan menatap dalam manik mata Ify. Membuat perasaan bersalah
Ify semakin menggunung. Ray tersenyum tipis dan Ify bisa lihat bahwa itu senyum
Ray yang paling getir yang pernah ia lihat.
“Ray.” Lagi-lagi Ify
hanya bisa mengucapkan kata itu.
“Kenapa, Fy?” sahut
Ray tak kalah lirih. Hanya angin yang berhembus di pagi berawan yang menjawab
bukan Ify. Ify sendiri merasa tak karuan, harusnya sekolah saja hari ini
bukannya libur mendadak karena rapat komite tahunan. Ify lebih memilih
berhadapan dengan rumus gerak lurus beraturan daripada harus berhadapan dengan
hatinya yang absurd ini ditambah Ray yang menatapnya sendu.
“Fy?” Ify tak menyahut
sama sekali, karena hatinya kini tengah berperang dengan rasa bersalahnya.
“Gue sayang sama lo,
Fy. Banget,” Ingin rasanya Ify menampar Ray sekarang. Tidak sadarkah Ray
kalimat yang seharusnya terdengar indah itu terasa membakar telinga Ify.
“Iya. Gue tahu. Tapi
lo juga tahu kan kalo gue...” belum Ify menuntaskan kalimatnya Ray sudah
memotongnya.
“Kita kayak cuaca
akhir-akhir ini ya, Fy. Sadar nggak? Mendung tapi nggak hujan. Deket tapi nggak
jadian, haha.” Ucap Ray hampa.
“Gue bukan bosen jadi
orang yang posisinya nggak jelas antara diterima atau ditolak. Gue kadang
mikir, apa lo udah berubah pikiran? Apa lo udah bisa balas perasaan gue, Fy.”
“Tapi gue tahu.
Perasaan lo masih sama. Lo anggap gue sebagai temen. Lagi-lagi gue Cuma bisa
jadi mendung, Fy. Bukan hujan seperti yang orang-orang bayangkan, seperti yang
gue impi-impikan.”
Dan tepat saat Ray
menuntaskan keresahannya, Ify menubruk pemuda itu dengan pelukannya dengan hati
dan perasaan yang tak karuan.
Pengakuan tidak selalu menyenangkan, tidak selalu menghidupkan
harapkan. Tidak jarang pengakuan malah menjadi beban.
**
Dan Shilla hanya bisa
melongo saat pemuda yang dari tadi dibicarakan Abner muncul di belakangnya.
Tanpa bisa mundur atau melangkah kemanapun Shilla hanya menatap sosok tampan
yang kini juga menatapnya lembut.
“Berhenti di situ!”
perintah Shilla sok galak. Rio menatap gadis itu heran.
“Kenapa?” tanyanya
dengan ekspresi polos membuat genderang-genderang dalam hati Shilla bertalu
semakin keras.
“Kenapa harus
berhenti, Shill? Nggak ada lampu merah kan?” ujar Rio mencoba mengajak Shilla
bercanda. Namun reaksi Shilla bukannya tertawa malah mundur, mencoba kabur dari
Rio. Tapi terlambat Rio sudah mencekal tangan Shilla seperti elang yang sudah
mencengkeram mangsanya.
“Shilla mau kemana?”
“Pulang.” Jawab Shilla
sekenanya sambil memandang ke arah lapangan basket yang basah karena hujan.
“Masih hujan. Disini
aja lagi.” Rio mengendurkan cekalannya tapi masih saja sulit bagi Shilla untuk
melepaskannya.
“Aku mau kasih kamu
kepastian. Jangan lari, Shilla.” Saat itu juga, lutut Shilla lemas seperti tak
sanggup menyangga tubuhnya dan saat itu juga shilla rasanya terbang ke
kahyangan dengan pemuda manis di depannya.
**
Rio hanya duduk di
tempat ia menanti anak SMA lewat. Tidak ada wajah garang yang biasanya ia
pamerkan tapi tetap saja membuat mereka yang mau lewat di depan Rio pikir-pikir
dan akhirnya memilih jalan memutar. Rio menatap kosong pada sepatu bututnya.
Lalu membuang napasnya kasar. Kepastian yang dulu ia ikrarkan di depan Shilla
sekarang omong kosong di pikirannya. Hah! Benar memang kalau satu-satunya kepastian
di dunia adalah ketidakpastian.
“Kalau ada yang ngasih
hati ke Mas tapi Mas nggak bisa nerima Mas Rio mau gimana?”
Rio menoleh, gadis
aneh yang beberapa waktu lalu begitu penasaran dengan dirinya ada di
hadapannya. Menatap pemuda itu penuh kegalauan dan seolah-olah meminta saran.
**
Shilla diam saja di
tempatnya. Rio menatap gadis itu lembut lalu meraih tangan Shilla. Dengan
manis, Rio menuntun Shilla agar mengikutinya. Dan Shilla yang tadinya ngotot
ingin pulang malah kini pasrah saja. Ia rela dibawa Rio kemana saja. Untuk
alasan sederhana, pemuda itu menawarkan kepastian yang sudah lama Shilla –dan
Rio—nantikan.
Di bawah rintik hujan
itu, Rio dapat melihat Shilla yang begitu manis dengan wajah penuh pengharapan.
Rio tahu itu, karena Rio pun menatap gadis itu penuh harap. Jadilah , Rio
disini berusaha menuntaskan semuanya. Berusaha menjabarkan kepastian yang
beberapa hari ia pikirkan.
“Shilla, aku sayang
kamu,” kalimat itu meluncur alami dari bibir Rio. Shilla mengangguk, ia tahu.
Tidak perlu kata-kata gombal, tidak perlu. Rio jujur saja sudah terdengar
romantis, romantis yang alami.
“Shilla? Kamu mau
nggak jadi orang yang selalu ada disini,” Rio menunjuk dadanya.
“Di hatiku. Di samping
aku, di setiap hari aku. Di saat baik buruknya aku. Kamu mau jadi orang itu?”
Shilla menatap Rio dengan cayanya yang lembut, berkata iya bersedia walau mulut
Shilla diam saja.
“Dan aku Shilla. Akan
jadi yang selalu di samping kamu kapanpun kamu butuh, kapanpun kamu mau. Aku
bisa jadi sandaranmu atau apapun yang kamu mau. Aku bisa jadi pacarmu, Shill.
Kamu bisa terima, Shilla?” Rio menuntaskan kalimat yang sudah lama meresahkan
hatinya.
“Aku terima. Aku juga
sayang kamu, Rio.”
Hujan itu, seingat Rio
hujan terhangat, termanis yang pernah ia lalui. Dan hujan itu, kepastiannya
terikrarkan.
**
Rio memandang gadis
itu datar. Sofia Kayon. Nama yang
tercetak di bagian kanan seragam gadis yang berwajah sendu itu.
“Mas? Kalau mas jadi
aku, Mas mau gimana?” tanya Sofia –Ify- entah untuk yang keberapa kali.
Rio malas menjawab,
sudah lama sebenarnya ia ingin menjadi solusi bagi masalah seseorang tapi
masalahnya sendiri saja masih sulit Rio pecahkan. Jadi, Rio memutuskan berdiri,
jauh-jauh dari si Sofia Kayon ini.
“Mas Rio, jangan
pergi.” Refleks Ify meraih tangan Rio, menahan ‘preman’ itu agar tidak pergi.
“Aku... aku mau jadi
temen Mas. Aku pengen tahu tentang Mas.”
Pernyataan-pernyataan.
Bukan hanya pernyataan cinta yang membuat Rio ingin terbang. Kali ini
pernyataan tentang keingintahuan yang membuat Rio rindu masa lalu. Dan sekarang
Rio benci pernyataan itu. Dan semakin ingin menjauh dari gadis pembuat
pernyataan.
**
Ciao! :)
@citr_
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3