Senin, 12 Januari 2015

Ajari Aku [3]

Halooo
Happy new year ^^
It's been a long long time yaa, sudah lama sekali ya tidak melanjutkan cerita ini =))
Nih, dilanjut ya
Check this one out



Part 3: Confession(s)

Gue bukan bosen jadi orang yang posisinya nggak jelas antara diterima atau ditolak. Gue kadang mikir, apa lo udah berubah pikiran? Apa lo juga udah bisa balas perasaan gue, Fy. - Ray
Pagi berawan seperti biasa menemani langkah Ify begitu keluar dari rumah menuju sekolah. Setelah sarapan dengan tante dan juga sepupunya, Ify buru-buru keluar rumah, mencari angkot tercepat yang menjemputnya ke sekolah. Namun, yang didapati Ify bukan angkot dengan berbagai macam profesi duduk di alat transport yang sama, Ray dengan mobil baru yang beberapa hari lalu digembar-gemborkan teman sekelasnya berhenti tepat di depan Ify.
“Bareng yuk, Fy?” ajak Ray menyadarkan Ify yang melongo. Ify mengerjap sadar dari kekagetannya. Setelah seminggu tidak bicara apa-apa pada Ify kecuali  “Fisika susah ya,”  Ray tiba-tiba muncul di depan Ify dengan begini.
“Kok diem?” tanya Ray saat mereka berhenti di lampu lalu lintas pertama mereka.
“Ha? EH?” hanya itu kata keluar dari mulut Ify. Ray terkekeh pelan.
“Kaget?” tanya Ray melihat wajah Ify yang begitu kosong. Ify mengangguk, ini semua terlalu tiba-tiba entah kenapa.
“Seminggu nggak say ‘Hi’ terus tiba-tiba kayak gini, nggak awkward lo pikir?” ceplos Ify sambil menggembungkan pipi tirusnya. Ray terkekeh pelan, Ify diam-diam meliriknya sebal.
“Maaf ya, Sofia.” Ujar Ray akhirnya. Ify menghela napasnya, mengangguk.
“Gue cuma pengen tahu, Fy. Apa seminggu ini absennya gue di kehidupan lo berdampak sesuatu ke hati lo, ke perasaan lo..” tutur Ray membuat Ify hanya bisa menatap pemuda berambut gondrong itu.
**
“Dan hal pertama yang aku lakuin pagi tadi adalah nge cek HP kali-kali ada sms dari kamu. Semaleman nggak ngasih kabar, sok-sokan hilang ih norak.” Gerutu Shilla, gadis polos yang beberapa bulan terakhir mengisi hari dan uhuk hati Rio.
“Lebih norak mana? Gue apa yang nunggu kabar dari gue, eh?” Goda Rio membuat pipi Shilla bersemu merah. Gadis dengan rambut sebahu, yang baru dipotong minggu lalu memukul pundak Rio sekeras-kerasnya membuat cowok itu terpingkal-pingkal, bukannya kesakitan.
“Stop Shill, Stop!” pinta Rio masih sambil tertawa. Shilla lalu menghentikkan aksinya lalu melipat kedua tangannya di depan dada, ngambek.
“Shilla makin gemesin deh kalau ngambek,” Rio menggoda Shilla lagi. Namun,gadis itu tidak merespon sama sekali masih tetap pada posisinya. Rio lalu mendekati Shilla, lalu berbisik tepat di telinga kanan gadis itu.
“Shilla, aku sayang kamu,”
**
Rio terkesiap, bangun dari tidurnya. Langit-langit yang mulai kusam warnanya menjadi obyek pertama yang ia lihat. Mimpi semalam bukan mimpi namun kenangan yang terputar seperti film. Shilla, pemeran utamanya.
“Shilla,” gumam Rio pelan, hatinya pelan-pelan merasakan sakit.
“Shilla,” ulangnya lagi. Rasanya masih sama, antara sesal dan rindu.
“Bos, udah bangun?” Bastian tiba-tiba muncul di balik pintu. Rio tidak menjawabnya hanya berdiri lalu melewati cowok berambut kribo itu cuek. Bastian mengedikkan bahunya, mungkin Bos Rio habis mimpi buruk.
Rio membasuh mukanya asal. Buliran-buliran air yang mengalir di pipinya membuat pikirannya terinvasi akan gadis yang sama pada mimpinya, Shilla, lagi-lagi bayang cantiknya berjalan anggun di pikiran Rio.
**
Hujan di siang bolong membuat siswa-siswi SMA Pemimpin Bangsa tertahan di sekolah. Padahal, barusan bel tanda sekolah usai sudah berdering di seluruh penjuru sekolah. Shilla yang tadinya antusias karena bisa pulang cepat sepertinya jadi siswi paling kecewa di sekolah.
“Shilla jangan manyun-manyun. Hujan itu rahmat.” Celetuk Rahmi, anak yang paling religius di kelas Shilla. Shilla tersenyum tipis agar Rahmi tidak meneruskan siraman rohaninya. Lalu dengan langkah kecilnya, siswi kelas 11 itu melangkah keluar kelas.
“Hai, Shilla cantik. Manyun aja nih. Belum diapelin Rio ganteng ya?” goda Abner cowok kelas 11 yang tiba-tiba menghadang langkah Shilla. Shilla mencibir pelan. Rio itu siapa? Batinnya kesal. Shilla sedang tidak mood mendengar nama Rio disebut-sebut di hadapannya. Cowok pemberi sejuta angan, ih! Kesal Shilla dalam hati.
“Shilla kok marah-marah sih? Makin cantik, ntar Rionya makin sayang lhooh.” Goda Abner yang tampak puas dengan reaksi Shilla. Shilla pun mencubit Abner karena mulutnya yang tidak berhenti mengoceh.
                “Berisik amat itu mulut.” Gerutu Shilla. Abner hanya terkekeh pelan.
                “Gila ya. Pantes Rio nggak pernah berhenti ngomongin lo Shill. Lo dari diem sampe ngomel tetep aja cantik.” Abner belum juga menutup mulutnya. Shilla mendelik kesal tapi sekaligus hatinya tergelitik.
                Rio membicarakannya, ah yang benar saja? Apa kata-katanya tempo hari itu serius?
**
                “Aku sayang kamu. Nggak berubah.” Sial! Kata-kata itu lagi, batin Ify bimbang. Kenapa sih Ify nggak bisa mengucap hal yang sama pada cowok di depannya ini. Kenapa sih, jantung Ify tidak pernah berdebar-debar di dekat Ray. Kenapa Ify tidak pernah merasa pipinya bersemu merah saat Ray memujinya. Kenapa setiap perlakuan Ray padanya selalu Ify artikan sebagai perlakuan teman yang wajar padahal di mata teman-temannya Ray sudah berlaku so sweet tingkat dewa kepada Ify. Ify merutuki hatinya sendiri yang tidak pernah bisa mencerna sayang dari Ray.
                “Ray..” lirih Ify. Pemuda itu menoleh dan menatap dalam manik mata Ify. Membuat perasaan bersalah Ify semakin menggunung. Ray tersenyum tipis dan Ify bisa lihat bahwa itu senyum Ray yang paling getir yang pernah ia lihat.
                “Ray.” Lagi-lagi Ify hanya bisa mengucapkan kata itu.
                “Kenapa, Fy?” sahut Ray tak kalah lirih. Hanya angin yang berhembus di pagi berawan yang menjawab bukan Ify. Ify sendiri merasa tak karuan, harusnya sekolah saja hari ini bukannya libur mendadak karena rapat komite tahunan. Ify lebih memilih berhadapan dengan rumus gerak lurus beraturan daripada harus berhadapan dengan hatinya yang absurd ini ditambah Ray yang menatapnya sendu.
                “Fy?” Ify tak menyahut sama sekali, karena hatinya kini tengah berperang dengan rasa bersalahnya.
                “Gue sayang sama lo, Fy. Banget,” Ingin rasanya Ify menampar Ray sekarang. Tidak sadarkah Ray
kalimat yang seharusnya terdengar indah itu terasa membakar telinga Ify.
                “Iya. Gue tahu. Tapi lo juga tahu kan kalo gue...” belum Ify menuntaskan kalimatnya Ray sudah memotongnya.
                “Kita kayak cuaca akhir-akhir ini ya, Fy. Sadar nggak? Mendung tapi nggak hujan. Deket tapi nggak jadian, haha.” Ucap Ray hampa.
                “Gue bukan bosen jadi orang yang posisinya nggak jelas antara diterima atau ditolak. Gue kadang mikir, apa lo udah berubah pikiran? Apa lo udah bisa balas perasaan gue, Fy.”
                “Tapi gue tahu. Perasaan lo masih sama. Lo anggap gue sebagai temen. Lagi-lagi gue Cuma bisa jadi mendung, Fy. Bukan hujan seperti yang orang-orang bayangkan, seperti yang gue impi-impikan.”
                Dan tepat saat Ray menuntaskan keresahannya, Ify menubruk pemuda itu dengan pelukannya dengan hati dan perasaan yang tak karuan.
                Pengakuan tidak selalu menyenangkan, tidak selalu menghidupkan harapkan. Tidak jarang pengakuan malah menjadi beban.
**
                Dan Shilla hanya bisa melongo saat pemuda yang dari tadi dibicarakan Abner muncul di belakangnya. Tanpa bisa mundur atau melangkah kemanapun Shilla hanya menatap sosok tampan yang kini juga menatapnya lembut.
                “Berhenti di situ!” perintah Shilla sok galak. Rio menatap gadis itu heran.
                “Kenapa?” tanyanya dengan ekspresi polos membuat genderang-genderang dalam hati Shilla bertalu semakin keras.
                “Kenapa harus berhenti, Shill? Nggak ada lampu merah kan?” ujar Rio mencoba mengajak Shilla bercanda. Namun reaksi Shilla bukannya tertawa malah mundur, mencoba kabur dari Rio. Tapi terlambat Rio sudah mencekal tangan Shilla seperti elang yang sudah mencengkeram mangsanya.
                “Shilla mau kemana?”
                “Pulang.” Jawab Shilla sekenanya sambil memandang ke arah lapangan basket yang basah karena hujan.
                “Masih hujan. Disini aja lagi.” Rio mengendurkan cekalannya tapi masih saja sulit bagi Shilla untuk melepaskannya.
                “Aku mau kasih kamu kepastian. Jangan lari, Shilla.” Saat itu juga, lutut Shilla lemas seperti tak sanggup menyangga tubuhnya dan saat itu juga shilla rasanya terbang ke kahyangan dengan pemuda manis di depannya.
**
                Rio hanya duduk di tempat ia menanti anak SMA lewat. Tidak ada wajah garang yang biasanya ia pamerkan tapi tetap saja membuat mereka yang mau lewat di depan Rio pikir-pikir dan akhirnya memilih jalan memutar. Rio menatap kosong pada sepatu bututnya. Lalu membuang napasnya kasar. Kepastian yang dulu ia ikrarkan di depan Shilla sekarang omong kosong di pikirannya. Hah! Benar memang kalau satu-satunya kepastian di dunia adalah ketidakpastian.
                “Kalau ada yang ngasih hati ke Mas tapi Mas nggak bisa nerima Mas Rio mau gimana?”
                Rio menoleh, gadis aneh yang beberapa waktu lalu begitu penasaran dengan dirinya ada di hadapannya. Menatap pemuda itu penuh kegalauan dan seolah-olah meminta saran.
**
                Shilla diam saja di tempatnya. Rio menatap gadis itu lembut lalu meraih tangan Shilla. Dengan manis, Rio menuntun Shilla agar mengikutinya. Dan Shilla yang tadinya ngotot ingin pulang malah kini pasrah saja. Ia rela dibawa Rio kemana saja. Untuk alasan sederhana, pemuda itu menawarkan kepastian yang sudah lama Shilla –dan Rio—nantikan.
                Di bawah rintik hujan itu, Rio dapat melihat Shilla yang begitu manis dengan wajah penuh pengharapan. Rio tahu itu, karena Rio pun menatap gadis itu penuh harap. Jadilah , Rio disini berusaha menuntaskan semuanya. Berusaha menjabarkan kepastian yang beberapa hari ia pikirkan.
                “Shilla, aku sayang kamu,” kalimat itu meluncur alami dari bibir Rio. Shilla mengangguk, ia tahu. Tidak perlu kata-kata gombal, tidak perlu. Rio jujur saja sudah terdengar romantis, romantis yang alami.
                “Shilla? Kamu mau nggak jadi orang yang selalu ada disini,” Rio menunjuk dadanya.
                “Di hatiku. Di samping aku, di setiap hari aku. Di saat baik buruknya aku. Kamu mau jadi orang itu?” Shilla menatap Rio dengan cayanya yang lembut, berkata iya bersedia walau mulut Shilla diam saja.
                “Dan aku Shilla. Akan jadi yang selalu di samping kamu kapanpun kamu butuh, kapanpun kamu mau. Aku bisa jadi sandaranmu atau apapun yang kamu mau. Aku bisa jadi pacarmu, Shill. Kamu bisa terima, Shilla?” Rio menuntaskan kalimat yang sudah lama meresahkan hatinya.
                “Aku terima. Aku juga sayang kamu, Rio.”
                Hujan itu, seingat Rio hujan terhangat, termanis yang pernah ia lalui. Dan hujan itu, kepastiannya terikrarkan.
**
                Rio memandang gadis itu datar. Sofia Kayon. Nama yang tercetak di bagian kanan seragam gadis yang berwajah sendu itu.
                “Mas? Kalau mas jadi aku, Mas mau gimana?” tanya Sofia –Ify- entah untuk yang keberapa kali.
                Rio malas menjawab, sudah lama sebenarnya ia ingin menjadi solusi bagi masalah seseorang tapi masalahnya sendiri saja masih sulit Rio pecahkan. Jadi, Rio memutuskan berdiri, jauh-jauh dari si Sofia Kayon ini.
                “Mas Rio, jangan pergi.” Refleks Ify meraih tangan Rio, menahan ‘preman’ itu agar tidak pergi.
                “Aku... aku mau jadi temen Mas. Aku pengen tahu tentang Mas.”
                Pernyataan-pernyataan. Bukan hanya pernyataan cinta yang membuat Rio ingin terbang. Kali ini pernyataan tentang keingintahuan yang membuat Rio rindu masa lalu. Dan sekarang Rio benci pernyataan itu. Dan semakin ingin menjauh dari gadis pembuat pernyataan.

**
Ciao! :)
@citr_ 

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang