Rabu, 14 Januari 2015

Melted [Bonus Part: Olaf]



MELTED [Bonus Part: Olaf]
                Di kelasnya, Sivia sibuk mencermati kertas partitur nada miliknya. Minggu depan, Sivia akan mengikuti recital piano di tempat kursus musiknya. Jadi, minggu ini ia super sibuk dengan nada-nada dan piano.

                “Apaan tuh, Siv?” Irva mengambil kertas Sivia. Sivia mengangkat kedua alisnya.
                “Itu partitur nada. Minggu depan gue recital nih, dateng ya lo pada?” ujar Sivia sambil mengambil kembali kertasnya itu dan menyimpannya di laci.
                “Minggu depan? Mmmm,” irva tampak berpikir. Begitu juga Naya dan Alika disebelahnya.
                “Boleh juga tuh, va. Daripada lo dwp nggak jelas mending dengerin suara piano, eh?” celetuk Naya sambil mengangguk antusias. Irva pun mengangguk.
                “Awas ya, kalau nggak dateng.” Ancam sivia sambil mengepalkan tinjunya. Irva bergidik ngeri.
                “Preman.” Desis gadis itu lalu kembali ke tempatnya duduk. Sivia terkikik pelan lalu mengambil kembali kertas dalam lacinya. Ia menghafal lagi, ya walaupun sebenarnya ia sudah begitu hafal dan fasih memainkan lagu itu. Di otaknya saja yang berputar saat ini adalah melodi lagunya.
                “Oh, jadi gitu. Yang disuruh nonton resital kamu cuma Irva cs nih?” sindir Juniel yang entah dari kapan sudah duduk di sebelah Sivia. Sivia mengangkat sebelah alisnya.
                “Lo nggak perlu dikasih tahu juga udah tahu sendiri. Juniel Stalker.” Balas Sivia sarkastik. Juniel meringis pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu.

888
Senin
                “juniel kamu ngapain disini?” Sivia mencubit pelan lengan Juniel. Juniel hanya meringis tertahan tidak tahu harus jawab apa.
                “Kamu tahu darimana aku disini, ha?” tanya Sivia galak. Juniel hanya nyengir lebar.
                “Hehe.” Kekeh pemuda itu pelan. Sivia bersedekap, lalu menggeleng tak mengerti.
                “Jangan ngikut-ngikutin aku lagi oke? Sekarang kamu balik deh.” Ujar Sivia. Juniel mengangguk lesu, Sivia secara tidak langsung. Pemuda itu menatap punggung Sivia yang memasuki bangunan dengan tulisan ‘CokeandIce’ itu.
                “Hhhh.” Juniel mendengus kesal. Harusnya ia percaya saja kalau Sivia benar-benar pergi dengan Irva. Tapi, juniel justru tidak mempercayainya dan mengikuti gadis itu sampai ke tempat ini. Tapi, bukan karena ketidakpercayaan itu saja Juniel mengikuti Sivia, ia sebenarnya takut…
Rabu
                Juniel memutuskan melakukan hal yang sama seperti dua hari yang lalu. Mengikuti Sivia diam-diam. Ia hanya ingin memastikan kalau Sivia benar-benar jujur padanya. Rasa takut itu menjalar di hati Juniel, semenjak semuanya berubah beberapa bulan yang lalu. Sivia sudah mulai menerima dan diterima di lingkaran pertemanan seperti yang selalu Juniel impikan sejak dulu. Tapi, entah mengapa sebulan ini Juniel mulai takut kalau-kalau Sivia akhirnya memutuskan meninggalkan Juniel.
                “Kamu ngaco ya, yel?” begitu tanggapan Sivia saat Juniel menjelaskan maksudnya kemarin.
                “Udahlah. Kamu percaya kan sama aku? Aku baik-baik aja kok, aku bisa jaga diri.” Kalimat Sivia itu yang membuat Juniel mempercayai Sivia, walaupun tidak sepenuhnya.
                Juniel menunggu di depan sebuah rumah. Itu rumah irva. Sivia ada disana, bukan Juniel tidak percaya tapi ah sudahlah, ia hanya memastikan. Juniel pun menstrarter motornya setelah setengah jam berdiri disana. Baru hendak melajukan motornya, decitan gerbang yang dibuka membuat Juniel menarik remnya.
                “Tuh kan, gue bilang juga apa.” Samar-samar Juniel mendengar Irva mengoceh pada Sivia.
                “Ati-ati, vi.” Ujar Irva lagi. Sivia menghampiri Juniel dengan langkah cepat, raut mukanya pun berbeda, tampak kesal.
                “Plis deh yel, aku nggak percaya kamu kayak gini lagi. Senin kemarin belum cukup?” bentak Sivia begitu sampai di depan juniel. Juniel diam saja.
                “Harusnya kamu tuh percaya sama aku.” Kini Sivia berujar pelan sambil membonceng motor Iyel. Juniel mendadak blank di tempatnya, otaknya terlalu lemot untuk memproses kata-kata sivia dan juga tindakan Sivia kali ini. Perlahan, Juniel melajukan motornya lagi.
Sabtu
                “Oke, ini udah tiga kali kamu nguntit aku,oh please yel.” Sivia melemparkan kertas partiturnya sembarang. Juniel mencekal tangan Sivia.                
                “Aku tahu. Maaf, aku cuma takut.” Jelas juniel.
                “Takut apa?” Sivia bertanya dengan nada lelah.
                “Takut ada yang berubah dari kamu, dari kita.”
                “Kamu yang berubah, yel.” Pekik sivia tertahan.
888
                Juniel memijit keningnya lumayan keras, mengingat tindakan bodohnya membuat kepalanya pening. Lalu pemuda itu memandang ke samping, Sivia berkomat-kamit sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Sivia tengah berlatih dengan nada-nada itu lagi.
                “Ada apa, laf?” tanya Sivia, menyadari dirinya tengah dipandang lekat oleh Juniel.
                “Love?” Juniel mengerutkan keningnya. Barusan Sivia memanggilnya ‘love’ kah? Cinta? Begitukah?
                “Bukan love tapi laf, Olaf.” Jelas sivia sambil tersenyum lebar.
                “Olaf?” ulang Juniel tak paham. Sivia mengangguk.
                “manusia salju,” jawab Sivia singkat.
                “Bukannya shilla sama Ify sering manggil kamu gitu dulu?” tanya sivia pada pemudanya itu. Juniel mengangguk lemah. Seiring sivia memanggilnya Olaf ada yang bergejolak di hatinya. Dia mulai jadi orang lain, sivia juga, ah bisik ketakutan itu menggaungi hati juniel lagi.
[]
                “Apa gue kena BTB sindrom ya?” tanya Juniel pada junio yang sedang tiduran di ranjangnya.
                “korban pelem lo, yel.” Cibir Rio kemudian duduk. Iyel menoleh ke arahnya.
                “Tapi kayaknya hubungan gue sama Sivia emang berubah tidak baik, yo.” Ujar Iyel pelan.
                “Lo yang berubah, bukan kalian. You know what I mean?” cerca Rio sambil mengunyah pop corn. Juniel menoleh, mengangkat sebelah alisnya.
                “Kok.. gue?”
                Junio mengangkat bahu lalu mencomot pop corn lagi.
                “Lo butuh berpikir jernih, yel. Tentang lo sendiri aja dulu, oke? Good luck twin,” nasihat Rio sambil beralih dari tempatnya dengan semua pop corn tentunya.
                **
                Sivia menyelesaikan lagu Simfoni Raya yang menjadi pembuka recital pianonya dengan sempurna. Lalu setelahnya gadis itu menarik napas lagi, bersiap memulai lagu selanjutnya, salah satu karya dari masterpiece piano, Mozart.
                “Sivia, semangat!” teriakan itu Sivia dengar di antara dentingan piano Sivia, dan Sivia tahu benar siapa pemilik teriakan itu. Sivia menekan tuts pianonya makin apik setelahnya.
                Dua jam sudah recital piano itu berlangsung. Ini lagu terakhir yang Sivia dan teman-temannya akan bawakan, Con te partiro. Bersamaan dengan berakhirnya lagu itu, Sivia mulai bangkit berdiri dan menunduk hormat pada penonton. Para penonton mulai meninggalkan tempat duduknya masing-masing dan turun ke panggung, entah untuk sekedar bersalaman atau berfoto bersama para pemain, tidak kecuali Juniel.
                “Sivia,” panggilnya. Namun Sivia tidak menoleh, gadis itu tengah asyik berbincang dengan Irva dan Naya. Juniel mendekat, tapi langkahnya ragu. Apa Sivia masih mau melihatnya setelah hampir seminggu mereka hampir tidak bicara kecuali basa-basi bisa-bisanya Juniel. Juniel yang pesimis pada dirinya sendiri pun berbalik, mengurungkan niatnya menghampiri Sivia.
                “Eh, Juniel mau kemana?” tegur Irva membuat Iyel menghentikan langkahnya lalu menoleh. Didapatinya Irva dan Naya sedang tersenyum padanya, dan Sivia hanya menatapnya dengan pandangan entah apa.
                “Kita duluan ya, Siv. Lo hacep banget pokoknya malam ini, byee.” Pamit Naya sambil mendorong Irva agar segera menjauh dari Sivia dan Juniel. Baik Juniel dan Sivia tidak ada yang mau mengubah posisinya, keduanya masih kukuh berdiri di tempatnya masing-masing. Setelah hampir tiga menit berdiri menatap juniel, Sivia pun berbalik arah, pergi ke back stage.
                “Sivia, lo harus ikut gue,” ujar Juniel sembari mencekal lengan Sivia. Sivia sempat ingin berontak namun Juniel keburu menarik gadis itu agar mengikuti perintah Iyel.
**
                Hanya ketukan sepatu Sivia yang menjadi backsound pertemuan Juniel dan Sivia kali ini. Sivia ingin bicara banyak tapi malas. Sementara juniel dipenuhi dengan keraguan yang membelenggu dirinya sendiri.
                “Yel?” Sivia akhirnya mengalah dan memutuskan untuk bicara duluan karena kalau tidak begitu sampai besok pagi pun mereka hanya akan saling diam.
                “Sivia, aku… minta maaf,” Ujar Juniel terbata, pemuda itu menatap titik lurus di depannya, belum berani menatap Sivia. Sivia tersenyum tipis lalu menepuk pundak Juniel peduli.
                “Buat apa, yel?” tanya gadis itu retoris. Juniel meringis sendiri, merutuki dirinya yang jadi begitu payah di hadapan Sivia.
                “Yel? Kamu tahu ka nada US di dalam TRUST?” tanya Sivia lembut. Juniel pun menoleh.
                “I trust you, yel. Selama ini, selalu.” Lanjut Sivia dengan nada tulus. Juniel mencelos.
                “Sivia aku…”
                “You lose yourself yel? Kenapa?” tanya Sivia pada Iyel yang kini tengah menatap sayu gadis itu.
                “You trust me, don’t you?” Juniel mengangguk mantap, iya dia percaya Sivia.
                “But you act like you don’t lately, why?” tanya Sivia sedih.
                “Aku takut, vi” juniel menyentuh pipi Sivia lembut.
                “Aku takut kamu berubah, tapi nyatanya aku sendiri yang berubah. Maaf.” Sesal Juniel. Sivia meraih jemari Juniel yang masih bertahan di pipinya.
                “Jangan gini lagi ya, aku sayang kamu,”
                “Kamu kan Olaf yel. Kamu harusnya bisa melihat hal-hal dalam segi positif, nggak Cuma negatifnya aja, oke. Kaya yang dulu kamu ajarin ke aku. Masa kamu lupa, Juniel Olaf” ucap Sivia sambil tertawa renyah. Juniel tertegun.
                “Jangan cuma karena aku, kamu berubah jadi orang lain. Jangan karena curigamu itu yel. You trust me, right?” tambah Sivia sambil menatap dalam mata Juniel. Juniel meraih dua tangan Sivia lalu mengecupnya lembut.
                “I trust you” jawabnya mantap. Sivia tampak tersipu lalu menarik tangannya salah tingkah.
                “I love you” kali ini Juniel memberikan sebuket bunga mawar ke hadapan Sivia. Sivia merona merah lalu tersenyum cerah pada Olafnya, Junielnya.
                “I do too, I love you.”
In relationship all we need is trust. Because there’s US in TR’US’T—juniel and sivia

 ***
Hai, jadi ini yang aku janjikan setelah Melted selesai yaitu bonusnya. Lama sekali ya, maafkan -_- (sok) sibuk sih. 
Maap yak kalo gaje, stuck anett tauu. Thks for reading.
Commentnya boleh lho.

Luvv
Citra <3 

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang