MELTED
[Bonus Part: Olaf]
Di kelasnya, Sivia sibuk
mencermati kertas partitur nada miliknya. Minggu depan, Sivia akan mengikuti
recital piano di tempat kursus musiknya. Jadi, minggu ini ia super sibuk dengan
nada-nada dan piano.
“Apaan tuh, Siv?” Irva mengambil
kertas Sivia. Sivia mengangkat kedua alisnya.
“Itu partitur nada. Minggu depan
gue recital nih, dateng ya lo pada?” ujar Sivia sambil mengambil kembali
kertasnya itu dan menyimpannya di laci.
“Minggu depan? Mmmm,” irva
tampak berpikir. Begitu juga Naya dan Alika disebelahnya.
“Boleh juga tuh, va. Daripada lo
dwp nggak jelas mending dengerin suara piano, eh?” celetuk Naya sambil
mengangguk antusias. Irva pun mengangguk.
“Awas ya, kalau nggak dateng.”
Ancam sivia sambil mengepalkan tinjunya. Irva bergidik ngeri.
“Preman.” Desis gadis itu lalu
kembali ke tempatnya duduk. Sivia terkikik pelan lalu mengambil kembali kertas
dalam lacinya. Ia menghafal lagi, ya walaupun sebenarnya ia sudah begitu hafal
dan fasih memainkan lagu itu. Di otaknya saja yang berputar saat ini adalah
melodi lagunya.
“Oh, jadi gitu. Yang disuruh
nonton resital kamu cuma Irva cs nih?” sindir Juniel yang entah dari kapan
sudah duduk di sebelah Sivia. Sivia mengangkat sebelah alisnya.
“Lo nggak perlu dikasih tahu
juga udah tahu sendiri. Juniel Stalker.” Balas Sivia sarkastik. Juniel meringis
pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia jadi teringat kejadian
beberapa hari yang lalu.
888
Senin
“juniel kamu ngapain disini?”
Sivia mencubit pelan lengan Juniel. Juniel hanya meringis tertahan tidak tahu
harus jawab apa.
“Kamu tahu darimana aku disini,
ha?” tanya Sivia galak. Juniel hanya nyengir lebar.
“Hehe.” Kekeh pemuda itu pelan.
Sivia bersedekap, lalu menggeleng tak mengerti.
“Jangan ngikut-ngikutin aku lagi
oke? Sekarang kamu balik deh.” Ujar Sivia. Juniel mengangguk lesu, Sivia secara
tidak langsung. Pemuda itu menatap punggung Sivia yang memasuki bangunan dengan
tulisan ‘CokeandIce’ itu.
“Hhhh.” Juniel mendengus kesal.
Harusnya ia percaya saja kalau Sivia benar-benar pergi dengan Irva. Tapi,
juniel justru tidak mempercayainya dan mengikuti gadis itu sampai ke tempat
ini. Tapi, bukan karena ketidakpercayaan itu saja Juniel mengikuti Sivia, ia
sebenarnya takut…
Rabu
Juniel memutuskan melakukan hal yang sama
seperti dua hari yang lalu. Mengikuti Sivia diam-diam. Ia hanya ingin
memastikan kalau Sivia benar-benar jujur padanya. Rasa takut itu menjalar di
hati Juniel, semenjak semuanya berubah beberapa bulan yang lalu. Sivia sudah
mulai menerima dan diterima di lingkaran pertemanan seperti yang selalu Juniel
impikan sejak dulu. Tapi, entah mengapa sebulan ini Juniel mulai takut
kalau-kalau Sivia akhirnya memutuskan meninggalkan Juniel.
“Kamu ngaco ya, yel?” begitu tanggapan
Sivia saat Juniel menjelaskan maksudnya kemarin.
“Udahlah. Kamu percaya kan sama
aku? Aku baik-baik aja kok, aku bisa jaga diri.” Kalimat Sivia itu yang membuat
Juniel mempercayai Sivia, walaupun tidak sepenuhnya.
Juniel menunggu di depan sebuah
rumah. Itu rumah irva. Sivia ada disana, bukan Juniel tidak percaya tapi ah
sudahlah, ia hanya memastikan. Juniel pun menstrarter motornya setelah setengah
jam berdiri disana. Baru hendak melajukan motornya, decitan gerbang yang dibuka
membuat Juniel menarik remnya.
“Tuh kan, gue bilang juga apa.”
Samar-samar Juniel mendengar Irva mengoceh pada Sivia.
“Ati-ati, vi.” Ujar Irva lagi. Sivia
menghampiri Juniel dengan langkah cepat, raut mukanya pun berbeda, tampak
kesal.
“Plis deh yel, aku nggak percaya
kamu kayak gini lagi. Senin kemarin belum cukup?” bentak Sivia begitu sampai di
depan juniel. Juniel diam saja.
“Harusnya kamu tuh percaya sama
aku.” Kini Sivia berujar pelan sambil membonceng motor Iyel. Juniel mendadak
blank di tempatnya, otaknya terlalu lemot untuk memproses kata-kata sivia dan
juga tindakan Sivia kali ini. Perlahan, Juniel melajukan motornya lagi.
Sabtu
“Oke, ini udah tiga kali kamu
nguntit aku,oh please yel.” Sivia melemparkan kertas partiturnya sembarang.
Juniel mencekal tangan Sivia.
“Aku tahu. Maaf, aku cuma
takut.” Jelas juniel.
“Takut apa?” Sivia bertanya
dengan nada lelah.
“Takut ada yang berubah dari
kamu, dari kita.”
“Kamu yang berubah, yel.” Pekik
sivia tertahan.
888
Juniel memijit keningnya lumayan
keras, mengingat tindakan bodohnya membuat kepalanya pening. Lalu pemuda itu
memandang ke samping, Sivia berkomat-kamit sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya
di meja. Sivia tengah berlatih dengan nada-nada itu lagi.
“Ada apa, laf?” tanya Sivia,
menyadari dirinya tengah dipandang lekat oleh Juniel.
“Love?” Juniel mengerutkan
keningnya. Barusan Sivia memanggilnya ‘love’ kah? Cinta? Begitukah?
“Bukan love tapi laf, Olaf.”
Jelas sivia sambil tersenyum lebar.
“Olaf?” ulang Juniel tak paham.
Sivia mengangguk.
“manusia salju,” jawab Sivia
singkat.
“Bukannya shilla sama Ify sering
manggil kamu gitu dulu?” tanya sivia pada pemudanya itu. Juniel mengangguk
lemah. Seiring sivia memanggilnya Olaf ada yang bergejolak di hatinya. Dia
mulai jadi orang lain, sivia juga, ah bisik ketakutan itu menggaungi hati
juniel lagi.
[]
“Apa gue kena BTB sindrom ya?”
tanya Juniel pada junio yang sedang tiduran di ranjangnya.
“korban pelem lo, yel.” Cibir
Rio kemudian duduk. Iyel menoleh ke arahnya.
“Tapi kayaknya hubungan gue sama
Sivia emang berubah tidak baik, yo.” Ujar Iyel pelan.
“Lo yang berubah, bukan kalian.
You know what I mean?” cerca Rio sambil mengunyah pop corn. Juniel menoleh,
mengangkat sebelah alisnya.
“Kok.. gue?”
Junio mengangkat bahu lalu
mencomot pop corn lagi.
“Lo butuh berpikir jernih, yel.
Tentang lo sendiri aja dulu, oke? Good luck twin,” nasihat Rio sambil beralih
dari tempatnya dengan semua pop corn tentunya.
**
Sivia menyelesaikan lagu Simfoni
Raya yang menjadi pembuka recital pianonya dengan sempurna. Lalu setelahnya
gadis itu menarik napas lagi, bersiap memulai lagu selanjutnya, salah satu
karya dari masterpiece piano, Mozart.
“Sivia, semangat!” teriakan itu
Sivia dengar di antara dentingan piano Sivia, dan Sivia tahu benar siapa
pemilik teriakan itu. Sivia menekan tuts pianonya makin apik setelahnya.
Dua jam sudah recital piano itu
berlangsung. Ini lagu terakhir yang Sivia dan teman-temannya akan bawakan, Con
te partiro. Bersamaan dengan berakhirnya lagu itu, Sivia mulai bangkit berdiri
dan menunduk hormat pada penonton. Para penonton mulai meninggalkan tempat
duduknya masing-masing dan turun ke panggung, entah untuk sekedar bersalaman
atau berfoto bersama para pemain, tidak kecuali Juniel.
“Sivia,” panggilnya. Namun Sivia
tidak menoleh, gadis itu tengah asyik berbincang dengan Irva dan Naya. Juniel
mendekat, tapi langkahnya ragu. Apa Sivia masih mau melihatnya setelah hampir
seminggu mereka hampir tidak bicara kecuali basa-basi bisa-bisanya Juniel.
Juniel yang pesimis pada dirinya sendiri pun berbalik, mengurungkan niatnya
menghampiri Sivia.
“Eh, Juniel mau kemana?” tegur
Irva membuat Iyel menghentikan langkahnya lalu menoleh. Didapatinya Irva dan
Naya sedang tersenyum padanya, dan Sivia hanya menatapnya dengan pandangan
entah apa.
“Kita duluan ya, Siv. Lo hacep
banget pokoknya malam ini, byee.” Pamit Naya sambil mendorong Irva agar segera
menjauh dari Sivia dan Juniel. Baik Juniel dan Sivia tidak ada yang mau
mengubah posisinya, keduanya masih kukuh berdiri di tempatnya masing-masing.
Setelah hampir tiga menit berdiri menatap juniel, Sivia pun berbalik arah,
pergi ke back stage.
“Sivia, lo harus ikut gue,” ujar
Juniel sembari mencekal lengan Sivia. Sivia sempat ingin berontak namun Juniel
keburu menarik gadis itu agar mengikuti perintah Iyel.
**
Hanya ketukan sepatu Sivia yang
menjadi backsound pertemuan Juniel dan Sivia kali ini. Sivia ingin bicara
banyak tapi malas. Sementara juniel dipenuhi dengan keraguan yang membelenggu
dirinya sendiri.
“Yel?” Sivia akhirnya mengalah
dan memutuskan untuk bicara duluan karena kalau tidak begitu sampai besok pagi
pun mereka hanya akan saling diam.
“Sivia, aku… minta maaf,” Ujar
Juniel terbata, pemuda itu menatap titik lurus di depannya, belum berani
menatap Sivia. Sivia tersenyum tipis lalu menepuk pundak Juniel peduli.
“Buat apa, yel?” tanya gadis itu
retoris. Juniel meringis sendiri, merutuki dirinya yang jadi begitu payah di
hadapan Sivia.
“Yel? Kamu tahu ka nada US di
dalam TRUST?” tanya Sivia lembut. Juniel pun menoleh.
“I trust you, yel. Selama ini,
selalu.” Lanjut Sivia dengan nada tulus. Juniel mencelos.
“Sivia aku…”
“You lose yourself yel? Kenapa?”
tanya Sivia pada Iyel yang kini tengah menatap sayu gadis itu.
“You trust me, don’t you?”
Juniel mengangguk mantap, iya dia percaya Sivia.
“But you act like you don’t
lately, why?” tanya Sivia sedih.
“Aku takut, vi” juniel menyentuh
pipi Sivia lembut.
“Aku takut kamu berubah, tapi
nyatanya aku sendiri yang berubah. Maaf.” Sesal Juniel. Sivia meraih jemari
Juniel yang masih bertahan di pipinya.
“Jangan gini lagi ya, aku sayang
kamu,”
“Kamu kan Olaf yel. Kamu harusnya
bisa melihat hal-hal dalam segi positif, nggak Cuma negatifnya aja, oke. Kaya yang
dulu kamu ajarin ke aku. Masa kamu lupa, Juniel Olaf” ucap Sivia sambil tertawa
renyah. Juniel tertegun.
“Jangan cuma karena aku, kamu
berubah jadi orang lain. Jangan karena curigamu itu yel. You trust me, right?”
tambah Sivia sambil menatap dalam mata Juniel. Juniel meraih dua tangan Sivia
lalu mengecupnya lembut.
“I trust you” jawabnya mantap.
Sivia tampak tersipu lalu menarik tangannya salah tingkah.
“I love you” kali ini Juniel
memberikan sebuket bunga mawar ke hadapan Sivia. Sivia merona merah lalu
tersenyum cerah pada Olafnya, Junielnya.
“I do too, I love you.”
In relationship all we need is trust. Because
there’s US in TR’US’T—juniel and sivia
***
Hai, jadi ini yang aku janjikan setelah Melted selesai yaitu bonusnya. Lama sekali ya, maafkan -_- (sok) sibuk sih.
Maap yak kalo gaje, stuck anett tauu. Thks for reading.
Commentnya boleh lho.
Luvv
Citra <3
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3