Hari ini spesial lohh. karena apa? Karena hari ini ulang tahunnya Juniel dan Junio, yaaay *heboh* ulang taun imaginary tentunya.
Nah, sebagai hadiah buat mereka sebenernya aku pengen post cerita ini sampai selesai hari ini tapi kenyataannya ceritanya belum kelar, #sorrynotsorry.Jadi, sebagai gantinya, I wish they get happy end in this story. And I hope they won't have frozen heart(?) anymore.
Ok, so? here is the 11/15 (Hopefully it really ends in 15)
Enjoy, Fellas :)
**
Tanda bintang (*) untuk flashback ya...
PART 11
Shilla
terburu-buru berjalan ke pintu parkiran saat ia lihat sosok Rio di sana. Namun,
tidak seperti yang ia harap bahwa Rio akan menghampirinya dan mengajaknya
berjalan bersama ke kelas. Ada orang lain di sebelah Rio, dan orang itu adalah
Ify. Hati Shilla mencelos, ada yang tidak rela disana. Gadis itu lantas
menunduk, menyembunyikan wajah sendunya.
“Shill,
udah ngerjain tugas sosio belum?” tanya Alvin yang tiba-tiba saja sudah berdiri
di sebelah Shilla. Shilla menatap pemuda itu sebal, nggak tahu apa Shilla lagi
galau-mellow gini.
“Udah
lah, emangnya elo?” cibir Shilla sambil memukul pelan lengan Alvin. Alvin hanya
terkekeh,
“yaudah
sini pinjem. Eh, iya temenin gue sarapan sekalian. Oma belum masak tadi,” pinta
Alvin sambil keterusan curhat. Shilla memutar bola matanya, lalu menggiring
Alvin ke kantin.
Shilla
dan Alvin baru masuk ke kelas lima menit menjelang bel masuk berdering. Alvin
masih sibuk mencomot roti yang tadi ia beli sementara Shilla menutupi wajahnya.
Kalau Alvin udah makan begini nih jadinya, nggak ada pilihan lain selain
pura-pura nggak kenal.
“Ehciyyee
neng Ify,” teriak Alvin begitu melihat Ify. Ify hanya memandang heran Alvin.
“Iyanih
ciyee Ify, ciyee.” Kini Shilla ikut mencie-ciekan Ify.
“Lo
berdua kenapa sih?” tanya Ify. Belum sempat Shilla dan Alvin menjawab bel tanda
pelajaran di mulai berdering.
Shilla
menoel punggung Alvin yang duduk di depannya. Alvin menoleh sambil mengangkat
sebelah alis.
“Buku
Sosio gue mana, koh?” todong Shilla. Alvin melebarkan mata sipitnya lalu menepuk
dahi.
“Mampus.
Ketinggalan di meja kantin.” Jawab Alvin panik. Shilla juga ikut-ikutan melotot
lalu memukuli bahu Alvin. Alvin tak menghiraukan serangan Shilla lalu bergegas
menuju pintu. Belum sempat Alvin keluar.
“Mau
kemana, Alvin?” suara itu. Suara galak yang khas itu, milik siapa lagi kalau
bukan milik Ibu Winda, guru sosiologi yang super galak. Alvin hanya haha-hihi
lalu kembali ke bangkunya.
[]
Shilla
duduk bersungut-sungut di meja kantin sekarang. Well, secara ajaib Bu Winda
menghukum dia dan Alvin. Berdua saja, catat! Berdua saja. Padahal, ia yakin
sekali banyak juga teman-temannya juga banyak yang tidak mengerjakannya.Tapi,
kampretnya hanya Alvin dan Shilla yang mengaku kalau tidak mengerjakannya.
Hasilnya, Shilla dan Alvin duduk berdua di kantin sekolah karena diusir dari
kelas, huhu. Shilla suka sosiologi jadi ya, dia agak bete juga ketinggalan
kelas Bu Winda.
“Udah
dong, Mbash. Nggak usah cemberut,” celetuk Alvin sambil menyodorkan jus apel
dan pisang owol pada shilla. Shilla hanya memandangnya sekilas.
“Ambil
hikmahnya aja napa Shill. Kan jarang-jarang bisa dapet pisang owol sama Jus
tanpa antri. Enjoy it, Shill,” tukas Alvin lagi sambil menyeruput Jus apel
miliknya. Shilla tersenyum tipis, mengiyakan. Selanjutnya, gadis itu memandang
jus apelnya tanpa berkedip. Memorinya memutar beberapa potongan kisahnya dengan
Rio. Perlahan, shilla masuk ke dalam lamunannya.
*
Shilla
tertawa kecil saat Rio menceritakan lelucon yang menurut Shilla tidak lucu sama
sekali. Tapi, usaha Rio menceritakan lelucon itu lah yang membuat gadis itu
tertawa. Wajah dingin Rio tampak lucu saat melawak. Satu hal yang dicatat
Shilla, Rio tidak boleh jadi pelawak apapun yang terjadi karena tidak sinkron
dengan wajah dinginnya, haha.
“Nggak
lucu ya?” tanya Rio. Oh, rupanya pemuda itu sadar diri. Shilla menggeleng kuat
sambil masih tertawa.
“Iya.
Lawakannya garing,” jawab Shilla masih dengan sisa-sisa tawanya. Rio Nampak
sedikit kecewa mendengar jawaban Shilla.
“Tapi
muka lo lawak banget, gue suka. Eh tapi, janji ya ini terakhir lo ngelucu.
Nggak cocok banget lo ngelucu, hahaha.” Lanjut Shilla diiringi tawanya. Rio
menarik ujung bibirnya, shilla tertawa karenanya.
Sudut
perpustakaan itu. Tawa pertama Shilla untuk Rio. Tapi, Shilla bukan gadis
pertama yang Rio buat tertawa.
*
Shilla
memilih menepi di pinggir lapangan setelah selesai melakukan tes lay up. Shilla
mengatur napasnya, maklum sehabis olahraga kan suka ngos-ngosan tuh.
“Haus?”
suara baritone yang taka sing lagi bagi shilla.
“Rio?”
tukas shilla menyadari siapa pemilik suara itu. Rio menyodorkan sebotol air
mineral pada Shilla. Shilla menerimanya dengan pandangan terpaku pada Rio. Rio
tersenyum, tatapan polos Shilla itu … menggemaskan.
“Diminum
gih,” perintah Rio. Shilla menuruti perintah Rio. Setelah beberapa tegukan,
gadis itu menoleh lagi pada rio. Rio tersenyum lagi padanya. Shilla juga
tersenyum tipis. Pemuda dingin ini mempunyai senyum yang super-duper manis. Dan
yang lebih dari itu, dia bisa bersikap manis dan hangat. Hari itu, tak akan
dilupakan Shilla. Sang pangeran es mulai mencair. Ok, global warming kah ini?
*
“I
bet you’re tired working on this club, aren’t you?” komentar Rio saat menemani
Shilla memasang mading di sudut-sudut sekolah. Shilla menggeleng.
“Gue
nggak capek tuh.” Jawabnya santai. Rio menautkan alisnya, satu hal yang Shilla
sadari mirip dengan kebiasaan Alvin. Suka menautkan alis saat tak percaya
padanya. Ah, Alvin, jujur Shilla merindukan pemuda oriental itu dan juga
sahabatnya yang bawel, Ify. Alis rio yang masih bertautan membuat Shilla geli
dan membuka mulutnya seraya berkata
“Iya
tuh. Gue nggak capek. Sama kayak lo nggak capek kalo main basket
ber-kuarter-kuarter,” lanjut Shilla sambil menempel mading yang ia bawa. Rio
manggut-manggut mengerti.
“Udah
yuk lanjut, gue ada bimbel nih. Lo juga kan harus pulang cepet.” Kini Shilla
menarik Rio, mempercepat langkah Rio yang dari tadi tertinggal jauh dari
Shilla. Rio menautkan alis lagi. Tertulis kata ‘kenapa’ di wajahnya. Ah, ya
Tuhan. Wajah Rio menggemaskan sekali, membuat Shilla ingin mencubitnya kalau ia
tak ingat ia sedang buru-buru.
Rio,
pemuda dingin itu perlahan menghangat. Shilla melihat ia tampak ekspresif
akhir-akhir ini. Dan Shilla merasa ada yang bergetar di hatinya saat Rio berada
di sekitarnya.
[]
“Shill?
You there?” Alvin melambaikan tangannya di depan wajah Shilla. Shilla berkedip
kaget.
“Ngelamun?”
tanya Alvin retoris. Shilla tak menjawabnya. Shilla menerka-nerka jam berapa
sekarang karena bel istirahat belum bordering. Ia melirik tangan kirinya,
menengok jam niatnya. Tapi bukan jam tangan yang ia tangkap disana, ah, Shilla
lupa hari ini dia kan tidak pakai jam. Yang ada, gelang manik-manik warna warni
melingkar di pergelangan tangannya. Ah, Shilla memejamkan mata sebentar. Itu,
gelang dari Rio.
*
Hujan
menjebak Shilla di sekolah. Harusnya, ia ikut bimbel hari ini. Tapi, hujan
memaksanya menunggu. Shilla membuka tasnya dan mengeluarkan buku tebal bertitel
ekonomi 2. Dengan backsound, rintikan hujan ia mulai membacanya.
“Ekheeemm,”
deheman yang Shilla tahu punya siapa.
“Apaan
sih, yo?” shilla mengalihkan perhatiannya dari buku ekonomi. Rio tersenyum
padanya dan Shilla membalasnya. Rio sekarang semakin rajin menemaninya. Dua
minggu yang lalu, dua hari sekali ia menemui Shilla. Seminggu yang lalu sampai
sekarang hampir tiap hari ia menemani Shilla.
“You’ve
been busy lately.” Keluh Rio. Shilla memiringkan kepalanya.
“Oh
ya?” tukasnya polos. Rio mengangguk.
“Gimana
lo bisa nginget semuanya dengan lo yang selalu sibuk ini-itu?” Shilla hanya menjawab pertanyaan Rio dengan
mengangkat kedua bahunya. Rio menggeleng pelan.
“Lo
yakin bisa ingat semuanya? Ingat makan? Ingat temen-temen lo? Ingat tugas-tugas
lo? Errr… ingat gue?” Shilla tertegun mendengar dua kata yang diucap Rio terakhir
kali. ‘Ingat gue’ mmm ingat Rio maksudnya? Tanpa Shilla sadari eritrositnya
perlahan mengumpul di kedua pipinya, membuat wajahnya merah seperti tomat.
“I
will make you remember me even you don’t want to.” Kini Rio meraih pergelangan
tangan kiri Shilla. Dengan perlahan, ia melingkari pergelangan Shilla –yang
masih saja tertegun- dengan gelang manik-manik warna-warni. Setelah selesai
memasangnya, Rio tersenyum senang, puas akan pekerjaannya.
“Makasih,”
ujar Shilla sambil menatap pergelangan kirinya.
“you
can thank me by remember me everytime you see this bracelet. Okay?” jawab Rio
sambil meraih jemari Shilla. Shilla hanya mengangguk.
Shilla
memang tak melihat pelangi di angkasa saat hujan reda, tapi ia melihat pelangi
di pergelangan tangan kirinya dan juga ia melihat pelangi di diri Rio. Pemuda
yang penuh misteri itu ternyata punya banyak warna yang tak ia tunjukkan pada
dunia.
*
Shilla
mendesah pelan, ia mengingat Rio persis seperti perkataan Rio tempo hari.
Shilla mengingat pemuda itu saat ia melihat gelang manik-maniknya. Dan ada lagi
yang ia ingat saat ia melihat gelang itu…
“Ify,”
gumam Shilla pelan. Alvin menatap Shilla bingung.
“Kenapa,
Shill?” tanya Alvin khawatir.
“Alvin…
gue kangen Ify.” Ujar Shilla pelan.
[]
Ify
tak hentinya memegang pergelangan tangannya. Tadi, saat istirahat saat ia
menghampiri Shilla dan Alvin yang saling diam tak seperti biasa, Shilla menarik
tangan kirinya. Shilla lalu memasangkan sesuatu di sana. Ya, gelang manik-manik
yang Ify kenakan sekarang. Ify merasa tak asing dengan benda itu. Dan ia rasa
ada alasan mengapa Shilla memberikan gelang itu padanya.
“Ify?” Rio menegur
Ify yang melamun.
“Ada apa?” tanya
pemuda itu sambil merapikan poni Ify. Ify hanya menggeleng, tidak ada apa-apa.
“Terus. Kok murung?” tanya
Rio lagi. Ify diam sebentar, lalu menatap Rio ragu.
“Mmm, Rio.” Rio
menatap Ify bingung.
“Apa mungkin Shilla
sudah tahu tentang kita?”
**
Huaaah, end of P. 11
Gimana asyik gak part ini?hoho
meet me on @citr_
Luuv
Cills~`
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3