Selasa, 24 Juni 2014

Melted [11]

Halooww :*

 

Hari ini spesial lohh. karena apa? Karena hari ini ulang tahunnya Juniel dan Junio, yaaay *heboh* ulang taun imaginary tentunya.

Nah, sebagai hadiah buat mereka sebenernya aku pengen post cerita ini sampai selesai hari ini tapi kenyataannya ceritanya belum kelar, #sorrynotsorry.
Jadi, sebagai gantinya, I wish they get happy end in this story. And I hope they won't have frozen heart(?) anymore.

Ok, so? here is the 11/15 (Hopefully it really ends in 15)
Enjoy, Fellas :)




**
Tanda bintang (*) untuk flashback ya...




PART 11
                Shilla terburu-buru berjalan ke pintu parkiran saat ia lihat sosok Rio di sana. Namun, tidak seperti yang ia harap bahwa Rio akan menghampirinya dan mengajaknya berjalan bersama ke kelas. Ada orang lain di sebelah Rio, dan orang itu adalah Ify. Hati Shilla mencelos, ada yang tidak rela disana. Gadis itu lantas menunduk, menyembunyikan wajah sendunya.
                “Shill, udah ngerjain tugas sosio belum?” tanya Alvin yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Shilla. Shilla menatap pemuda itu sebal, nggak tahu apa Shilla lagi galau-mellow gini.
                “Udah lah, emangnya elo?” cibir Shilla sambil memukul pelan lengan Alvin. Alvin hanya terkekeh,
                “yaudah sini pinjem. Eh, iya temenin gue sarapan sekalian. Oma belum masak tadi,” pinta Alvin sambil keterusan curhat. Shilla memutar bola matanya, lalu menggiring Alvin ke kantin.
                Shilla dan Alvin baru masuk ke kelas lima menit menjelang bel masuk berdering. Alvin masih sibuk mencomot roti yang tadi ia beli sementara Shilla menutupi wajahnya. Kalau Alvin udah makan begini nih jadinya, nggak ada pilihan lain selain pura-pura nggak kenal.
                “Ehciyyee neng Ify,” teriak Alvin begitu melihat Ify. Ify hanya memandang heran Alvin.
                “Iyanih ciyee Ify, ciyee.” Kini Shilla ikut mencie-ciekan Ify.
                “Lo berdua kenapa sih?” tanya Ify. Belum sempat Shilla dan Alvin menjawab bel tanda pelajaran di mulai berdering.
                Shilla menoel punggung Alvin yang duduk di depannya. Alvin menoleh sambil mengangkat sebelah alis.
                “Buku Sosio gue mana, koh?” todong Shilla. Alvin melebarkan mata sipitnya lalu menepuk dahi.
                “Mampus. Ketinggalan di meja kantin.” Jawab Alvin panik. Shilla juga ikut-ikutan melotot lalu memukuli bahu Alvin. Alvin tak menghiraukan serangan Shilla lalu bergegas menuju pintu. Belum sempat Alvin keluar.
                “Mau kemana, Alvin?” suara itu. Suara galak yang khas itu, milik siapa lagi kalau bukan milik Ibu Winda, guru sosiologi yang super galak. Alvin hanya haha-hihi lalu kembali ke bangkunya.
[]
                Shilla duduk bersungut-sungut di meja kantin sekarang. Well, secara ajaib Bu Winda menghukum dia dan Alvin. Berdua saja, catat! Berdua saja. Padahal, ia yakin sekali banyak juga teman-temannya juga banyak yang tidak mengerjakannya.Tapi, kampretnya hanya Alvin dan Shilla yang mengaku kalau tidak mengerjakannya. Hasilnya, Shilla dan Alvin duduk berdua di kantin sekolah karena diusir dari kelas, huhu. Shilla suka sosiologi jadi ya, dia agak bete juga ketinggalan kelas Bu Winda.
                “Udah dong, Mbash. Nggak usah cemberut,” celetuk Alvin sambil menyodorkan jus apel dan pisang owol pada shilla. Shilla hanya memandangnya sekilas.
                “Ambil hikmahnya aja napa Shill. Kan jarang-jarang bisa dapet pisang owol sama Jus tanpa antri. Enjoy it, Shill,” tukas Alvin lagi sambil menyeruput Jus apel miliknya. Shilla tersenyum tipis, mengiyakan. Selanjutnya, gadis itu memandang jus apelnya tanpa berkedip. Memorinya memutar beberapa potongan kisahnya dengan Rio. Perlahan, shilla masuk ke dalam lamunannya.
*
                Shilla tertawa kecil saat Rio menceritakan lelucon yang menurut Shilla tidak lucu sama sekali. Tapi, usaha Rio menceritakan lelucon itu lah yang membuat gadis itu tertawa. Wajah dingin Rio tampak lucu saat melawak. Satu hal yang dicatat Shilla, Rio tidak boleh jadi pelawak apapun yang terjadi karena tidak sinkron dengan wajah dinginnya, haha.
                “Nggak lucu ya?” tanya Rio. Oh, rupanya pemuda itu sadar diri. Shilla menggeleng kuat sambil masih tertawa.
                “Iya. Lawakannya garing,” jawab Shilla masih dengan sisa-sisa tawanya. Rio Nampak sedikit kecewa mendengar jawaban Shilla.
                “Tapi muka lo lawak banget, gue suka. Eh tapi, janji ya ini terakhir lo ngelucu. Nggak cocok banget lo ngelucu, hahaha.” Lanjut Shilla diiringi tawanya. Rio menarik ujung bibirnya, shilla tertawa karenanya.
                Sudut perpustakaan itu. Tawa pertama Shilla untuk Rio. Tapi, Shilla bukan gadis pertama yang Rio buat tertawa.
*
                Shilla memilih menepi di pinggir lapangan setelah selesai melakukan tes lay up. Shilla mengatur napasnya, maklum sehabis olahraga kan suka ngos-ngosan tuh.
                “Haus?” suara baritone yang taka sing lagi bagi shilla.
                “Rio?” tukas shilla menyadari siapa pemilik suara itu. Rio menyodorkan sebotol air mineral pada Shilla. Shilla menerimanya dengan pandangan terpaku pada Rio. Rio tersenyum, tatapan polos Shilla itu … menggemaskan.
                “Diminum gih,” perintah Rio. Shilla menuruti perintah Rio. Setelah beberapa tegukan, gadis itu menoleh lagi pada rio. Rio tersenyum lagi padanya. Shilla juga tersenyum tipis. Pemuda dingin ini mempunyai senyum yang super-duper manis. Dan yang lebih dari itu, dia bisa bersikap manis dan hangat. Hari itu, tak akan dilupakan Shilla. Sang pangeran es mulai mencair. Ok, global warming kah ini?
*
                “I bet you’re tired working on this club, aren’t you?” komentar Rio saat menemani Shilla memasang mading di sudut-sudut sekolah. Shilla menggeleng.
                “Gue nggak capek tuh.” Jawabnya santai. Rio menautkan alisnya, satu hal yang Shilla sadari mirip dengan kebiasaan Alvin. Suka menautkan alis saat tak percaya padanya. Ah, Alvin, jujur Shilla merindukan pemuda oriental itu dan juga sahabatnya yang bawel, Ify. Alis rio yang masih bertautan membuat Shilla geli dan membuka mulutnya seraya berkata
                “Iya tuh. Gue nggak capek. Sama kayak lo nggak capek kalo main basket ber-kuarter-kuarter,” lanjut Shilla sambil menempel mading yang ia bawa. Rio manggut-manggut mengerti.
                “Udah yuk lanjut, gue ada bimbel nih. Lo juga kan harus pulang cepet.” Kini Shilla menarik Rio, mempercepat langkah Rio yang dari tadi tertinggal jauh dari Shilla. Rio menautkan alis lagi. Tertulis kata ‘kenapa’ di wajahnya. Ah, ya Tuhan. Wajah Rio menggemaskan sekali, membuat Shilla ingin mencubitnya kalau ia tak ingat ia sedang buru-buru.
                Rio, pemuda dingin itu perlahan menghangat. Shilla melihat ia tampak ekspresif akhir-akhir ini. Dan Shilla merasa ada yang bergetar di hatinya saat Rio berada di sekitarnya.
[]
                “Shill? You there?” Alvin melambaikan tangannya di depan wajah Shilla. Shilla berkedip kaget.
                “Ngelamun?” tanya Alvin retoris. Shilla tak menjawabnya. Shilla menerka-nerka jam berapa sekarang karena bel istirahat belum bordering. Ia melirik tangan kirinya, menengok jam niatnya. Tapi bukan jam tangan yang ia tangkap disana, ah, Shilla lupa hari ini dia kan tidak pakai jam. Yang ada, gelang manik-manik warna warni melingkar di pergelangan tangannya. Ah, Shilla memejamkan mata sebentar. Itu, gelang dari Rio.
*
                Hujan menjebak Shilla di sekolah. Harusnya, ia ikut bimbel hari ini. Tapi, hujan memaksanya menunggu. Shilla membuka tasnya dan mengeluarkan buku tebal bertitel ekonomi 2. Dengan backsound, rintikan hujan ia mulai membacanya.
                “Ekheeemm,” deheman yang Shilla tahu punya siapa.
                “Apaan sih, yo?” shilla mengalihkan perhatiannya dari buku ekonomi. Rio tersenyum padanya dan Shilla membalasnya. Rio sekarang semakin rajin menemaninya. Dua minggu yang lalu, dua hari sekali ia menemui Shilla. Seminggu yang lalu sampai sekarang hampir tiap hari ia menemani Shilla.
                “You’ve been busy lately.” Keluh Rio. Shilla memiringkan kepalanya.
                “Oh ya?” tukasnya polos. Rio mengangguk.
                “Gimana lo bisa nginget semuanya dengan lo yang selalu sibuk ini-itu?”  Shilla hanya menjawab pertanyaan Rio dengan mengangkat kedua bahunya. Rio menggeleng pelan.
                “Lo yakin bisa ingat semuanya? Ingat makan? Ingat temen-temen lo? Ingat tugas-tugas lo? Errr… ingat gue?” Shilla tertegun mendengar dua kata yang diucap Rio terakhir kali. ‘Ingat gue’ mmm ingat Rio maksudnya? Tanpa Shilla sadari eritrositnya perlahan mengumpul di kedua pipinya, membuat wajahnya merah seperti tomat.
                “I will make you remember me even you don’t want to.” Kini Rio meraih pergelangan tangan kiri Shilla. Dengan perlahan, ia melingkari pergelangan Shilla –yang masih saja tertegun- dengan gelang manik-manik warna-warni. Setelah selesai memasangnya, Rio tersenyum senang, puas akan pekerjaannya.
                “Makasih,” ujar Shilla sambil menatap pergelangan kirinya.
                “you can thank me by remember me everytime you see this bracelet. Okay?” jawab Rio sambil meraih jemari Shilla. Shilla hanya mengangguk.
                Shilla memang tak melihat pelangi di angkasa saat hujan reda, tapi ia melihat pelangi di pergelangan tangan kirinya dan juga ia melihat pelangi di diri Rio. Pemuda yang penuh misteri itu ternyata punya banyak warna yang tak ia tunjukkan pada dunia.
*
                Shilla mendesah pelan, ia mengingat Rio persis seperti perkataan Rio tempo hari. Shilla mengingat pemuda itu saat ia melihat gelang manik-maniknya. Dan ada lagi yang ia ingat saat ia melihat gelang itu…
                “Ify,” gumam Shilla pelan. Alvin menatap Shilla bingung.
                “Kenapa, Shill?” tanya Alvin khawatir.
                “Alvin… gue kangen Ify.” Ujar Shilla pelan.
[]
                Ify tak hentinya memegang pergelangan tangannya. Tadi, saat istirahat saat ia menghampiri Shilla dan Alvin yang saling diam tak seperti biasa, Shilla menarik tangan kirinya. Shilla lalu memasangkan sesuatu di sana. Ya, gelang manik-manik yang Ify kenakan sekarang. Ify merasa tak asing dengan benda itu. Dan ia rasa ada alasan mengapa Shilla memberikan gelang itu padanya.
 “Ify?” Rio menegur Ify yang melamun.                                                                                                                
             “Ada apa?” tanya pemuda itu sambil merapikan poni Ify. Ify hanya menggeleng, tidak ada apa-apa.
                “Terus. Kok murung?” tanya Rio lagi. Ify diam sebentar, lalu menatap Rio ragu.
                “Mmm, Rio.” Rio menatap Ify bingung.
                “Apa mungkin Shilla sudah tahu tentang kita?”

**
Huaaah, end of P. 11 
Gimana asyik gak part ini?hoho
meet me on @citr_
Luuv
Cills~` 

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang