Kamis, 12 Juni 2014

Melted [8]

Haiii :)
Sebelumnya maaf ya baru bisa posting *berasa ada yang baca*
Sebenernya part ini udah selesai hampir setengah bulan yang lalu tapi baru sempet ngepost, xoxo
Udah ah, cekidott
:))




*


                Seperti pelangi
                Memberi warna pada jiwa yang sepi
                Jiwa yang gundah karena patah
                Jiwa yang lelah karena amarah
                Seperti pelangi
                Kau memberi arti setelah badai hari ini
                Sivia mengakhiri pembacaan puisinya dengan canggung. Ia tidak biasa maju ke depan kelas untuk membacakan karyanya ataupun presentasi. Dia terlalu malu, ya meskipun di depan kamera lain, Sivia justru bisa rileks di hadapan kamera. Rasanya jika di hadapan kamera ada yang ‘mencair’ dari dalam dirinya.
                Sivia menatap seisi ruang kelas takut-takut, jadi gadis itu cenderung menunduk menunggu respon teman-temannya. Juniel menangkap keresahan Sivia, jadi pemuda itu mulai menumbukkan kedua telapak tangannya, bertepuk tangan. Ya, begitulah tepuk tangan dalam sebuah kelas awalnya lirih tapi lama kelamaan sorak sorai menyapa kedua telingamu membuatmu mendongak dan tersenyum. Seperti Sivia, untuk pertama kalinya sejak entah kapan ia lupa Sivia tersenyum di depan seluruh teman sekelasnya. Senyumnya bahkan lebih cantik dibanding senyum yang biasa ia perlihatkan di depan kamera.
                Sivia untuk pertama kalinya –lagi- merasakan ada yang mencair dari dalam dirinya.
[]
                Shilla mengaduk lemon tea nya dengan gusar. Sesekali kepalanya melongok-longok mencari kehadiran Ify dan Alvin. Ini jam kosong, Ify dan Alvin tiba-tiba hilang entah kemana. Shilla dengan naluri sotoynya memutuskan ke kantin karena menurutnya itu tempat yang biasa dua sahabatnya gunakan untuk ngobrol. Tapi nampaknya naluri Shilla salah tidak ada Ify maupun Alvin disini.
                “ehemm,” suara deheman menyapa Shilla saat gadis itu sedang asyik memperhatikan sekelilingnya.
                “Apasih?” omelnya pelan tanpa menoleh.
                “Boleh duduk sini?” tanya pemilik suara itu pelan. Shilla sama sekali belum menggubrisnya.
                “Duduk mah duduk aja,” balasnya cuek.
                “Emangnya nggak ada kursi lain apa?” Shilla memandang ketus orang itu dan seketika membulatkan matanya. Eh? Tidak salah lihat kan? Batinnya tak percaya. Shilla segera membaca badge nama pemuda itu. Ah? Yang benar saja?! Batinnya masih tak percaya.
                “Junio?” gumamnya pelan.
[]
                Dari kejauhan Ify menggigit bibir bagian bawahnya was-was. Bagaimana kalau pemuda itu canggung lagi? Bagaimana kalau ia takut lagi? Bagaimana jika Shilla malah tidak mengacuhkannya? Bagaimana… kalau pemuda itu merasakan sakit lagi?
                “Kalem kali, Fy. Rio itu cowok.” Cibir Alvin memaksa Ify menghentikan aksinya. Gadis itu mengangguk lalu memposisikan duduk di sebelah pemuda berwajah oriental itu. Ify tahu pemuda di sebelahnya itu sedang sebal.
                “bukan cuma lo yang nyesek. Gue juga, Alv.  Inget?” ujar Ify sambil tersenyum tipis. Alvin sama sekali tak mendengar ocehan Ify, mungkin detak jantungnya yang tak karuan mencegah suara halus Ify masuk ke telinganya. Tanpa mempedulikan Ify yang masih saja merapal mantra penguat diri untuknya, Alvin beranjak. Sesak tahu melihat dia yang kau suka bersama yang lain.
                “Alvin kemana?” teriak Ify. Alvin tak peduli, ia tetap berjalan. Shilla, sekarang tujuannya adalah gadis berwajah polos itu. Kalau rio Ify perbolehkan mendekati Shilla, Alvin juga punya hak yang sama. Untuk mendapatkan gadis itu.
                Ify melihat punggung Alvin yang semakin menjauh. Ia menghela napas kasar. Harusnya ia tidak membawa Alvin dalam dramanya ini. Ia tahu Alvin menyukai Shilla dan kini malah ia meminta Alvin menjauhi Shilla karena pemudanya, rio. Ify tahu persis Alvin bukan tipe cowok yang mudah mengalah. Dan Rio adalah pemuda yang selalu mendapat apa yang ia mau. Ify tiba-tiba ikut beranjak menyusul Alvin. Karena satu alasan, Alvin tidak segan-segan main tangan, apalagi yang ia hadapi kini Rio, pemuda –yang menurut Alvin- belagu.
[]
                Shilla merasa hawa asing di dekat junio. Bukan hangat seperti yang ia rasakan saat bersama Ify, Alvin, atau teman-teman sekelasnya. Pemuda ini lain, ia tahu Rio terkenal dingin, tapi tidak tahu kalau efek dinginnya bisa sampai seperti ini. Ia jadi heran, kenapa Ify bisa-bisanya menyukai Rio?
                “Kelas lo jam kosong?” celetuk Shilla memecah keheningan. Rio mengangguk.
                “Iya,” jawabnya. Shilla memutar bola matanya sebal, diam lagi, hening lagi di antara mereka. Benar-benar hhhhh pasif sekali Rio tidak seperti Alvin yang cerewetnya sebelas, dua belas dengannya.
                “Shilla. Are you free this afternoon?” tanya Rio menyadari Shilla yang dari tadi berdecak kesal. Shilla terdiam, mengingat-ingat apa saja agendanya siang nanti.
                “Nggak. Gue ada ekstra nanti. Udah ya, bosen gue disini. Gue balik kelas dulu,” jawab Shilla cuek lalu beranjak meninggalkan Rio.
                “See you, Shilla” gumam Rio sembari tersenyum tipis. Setidaknya, hari ini adalah kemajuan bagi dirinya.
                “Lo nggak masuk kelas, bro?” suara itu, ah ya Juniel. Saudara kembarnya itu memergokinya bolos pelajaran akhirnya.
                “I’ll tell Dad.” Ancam Iyel, bercanda tentunya. Rio mengedikkan bahunya cuek.
                “Terserahlah,” jawabnya pasrah lalu tersenyum tipis. Juniel lalu merangkul saudara kembarnya itu sembari tertawa. Rio pun tertawa. Juniel tersenyum penuh arti, ini pertama kalinya Rio tertawa lepas setelah sekian lama.
                Ify samar-samar mendengar tawa renyah milik Junio dan Juniel saat membelok mengikuti Alvin. Ia tersenyum dan bersyukur, Rio sudah menemukan lagi tawanya. Ia juga lega, Alvin tidak menghampiri Shilla dan Rio tadi. Dan Ify rasa, Alvin tadi hanya mengerjainya. Jadi Ify segera berlari agar bisa cepat-cepat menimpuk Alvin dengan buku tulisnya.
[]
                Ruangan pers yang lengang digunakan Shilla untuk larut dalam lamunannya. Dia ada kerjaan sebetulnya, mengupdate website jurnalistik sekolahnya. Tapi kelakuan Ify dan Alvin tadi, terutama Alvin yang menatapnya penuh curiga saat ia kembali entah dari mana. Juga, Junio yang tiba-tiba menyapanya. Aneh, kenapa coba? Mau menanyakan tentang Ify kepadanya? Ah, bagus juga. Pikir Shilla, dengan begini kan Ify bisa meraih cowok impiannya.
                “Permisi,” eh suara itu lagi. Shilla menoleh kea rah pintu tak pecaya. Lalu mengucek matanya, mirip. Lalu ia melirik badge nama siswa itu. Oh, itu Olaf eh.. Juniel maksudnya.
                “Ya, ada yang bisa dibantu?” sahut Shilla tanpa beranjak dari tempatnya. Juniel lalu melangkah masuk mendekati Shilla yang notabene ketua ekskul Mading.
                “Kata Kiki, Mading butuh anggota baru. Mm, May I?” tanya Juniel agak gugup. Shilla hanya menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu mengangguk-angguk.
                “Ok! Magang,” jawabnya mutlak. Juniel bersorak pelan.
                “Jadi tugas gue sekarang apa?” tanya Juniel antusias.
                Shilla tampak berpikir, apa ya? Kalau ia meminta Juniel mengupdate blog mading, kok kedengarannya dia males. Apa ya? Oh, ya. Project Mading yang belum juga kesampaian.
                “Lo interview Sivia deh. Udah lama, Mading pengen interview dia. Tapi nggak ada yang berani,” jawab Shilla dengan wajah penuh harap. Juniel tertegun.
                “Lo mau kan, Yel?” tanya Shilla ragu, karena perubahan ekspresi juniel. Pemuda itu mengangguk menyanggupi. Shilla tersenyum tipis, membuatnya terlihat cantik. Pantas, Junio menyukainya, senyum gadis ini menawan sekali.
[]
                “Shill, balik yuk,” seru Alvin saat memutar kenop pintu ruangan pers kebanggaan Shilla. Seorang gadis berambut pendek menoleh ke arah Alvin. Alvin menatapnya tak berkedip. Eh, dia tidak salah ruang kan? Batinnya tak percaya.
                “yel, dia nyariin orang tuh.” Rengek gadis itu pada pemuda yang berada di pojok ruangan. Pemuda itu kini menoleh ke Alvin yang Nampak bingung.
                “Oh, nyari shilla ya?” tanya Juniel retoris. Alvin mengangguk.
                “Dia udah pulang tadi sama Kiki,” jelas Juniel. Alvin mengangguk lagi.
                “Thanks.” Ujar Alvin lalu meninggalkan ruangan itu. Shilla sudah pulang, apa-apaan. Padahal, tadi gadis itu sendiri yang ngotot ingin pulang dengannya dan Ify. Oh, ya! Ify, dimana pula gadis itu sekarang?
                “itu langkah awal yang bagus, tau! Hahaha,” suara nyaring Ify menyapa saraf pendengaran Alvin. Ah iya, Rio, pasti pemuda itu membagi cerita bahagianya pada Ify. Bahagia yang membuat luka batin sahabatnya itu. Lukanya juga sih, sebenarnya. Tapi, ia sudah berjanji akan membantu Ify ya walaupun begini. Dada Alvin terasa sesak, sudah friend zone kini ia harus rela Rio PDKT dengan Shilla. Ah, sudahlah. Bersabarlah Alvin, bersabarlah…

**

Okai, end of this part...
Tolong dong komennya.
Plis, I beg you guyss :) kalau nggak bisa komen disini bisa di twitter @citr_ atau facebook Citra Patrianegari. bukan apa-apa sih, soalnya aku liat ada yang baca ya meskipun cuma belasan. Tolong sarannya biar cerita ini bisa lebih baik. Thanks :)
Much Love <3
Citraaa 

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang