Sebelumnya maaf ya baru bisa posting *berasa ada yang baca*
Sebenernya part ini udah selesai hampir setengah bulan yang lalu tapi baru sempet ngepost, xoxo
Udah ah, cekidott
:))
*
Seperti pelangi
Memberi warna pada
jiwa yang sepi
Jiwa yang gundah
karena patah
Jiwa yang lelah
karena amarah
Seperti pelangi
Kau memberi arti
setelah badai hari ini
Sivia
mengakhiri pembacaan puisinya dengan canggung. Ia tidak biasa maju ke depan
kelas untuk membacakan karyanya ataupun presentasi. Dia terlalu malu, ya
meskipun di depan kamera lain, Sivia justru bisa rileks di hadapan kamera. Rasanya
jika di hadapan kamera ada yang ‘mencair’ dari dalam dirinya.
Sivia
menatap seisi ruang kelas takut-takut, jadi gadis itu cenderung menunduk
menunggu respon teman-temannya. Juniel menangkap keresahan Sivia, jadi pemuda
itu mulai menumbukkan kedua telapak tangannya, bertepuk tangan. Ya, begitulah
tepuk tangan dalam sebuah kelas awalnya lirih tapi lama kelamaan sorak sorai
menyapa kedua telingamu membuatmu mendongak dan tersenyum. Seperti Sivia, untuk
pertama kalinya sejak entah kapan ia lupa Sivia tersenyum di depan seluruh
teman sekelasnya. Senyumnya bahkan lebih cantik dibanding senyum yang biasa ia
perlihatkan di depan kamera.
Sivia
untuk pertama kalinya –lagi- merasakan ada yang mencair dari dalam dirinya.
[]
Shilla
mengaduk lemon tea nya dengan gusar. Sesekali kepalanya melongok-longok mencari
kehadiran Ify dan Alvin. Ini jam kosong, Ify dan Alvin tiba-tiba hilang entah
kemana. Shilla dengan naluri sotoynya memutuskan ke kantin karena menurutnya
itu tempat yang biasa dua sahabatnya gunakan untuk ngobrol. Tapi nampaknya
naluri Shilla salah tidak ada Ify maupun Alvin disini.
“ehemm,”
suara deheman menyapa Shilla saat gadis itu sedang asyik memperhatikan
sekelilingnya.
“Apasih?”
omelnya pelan tanpa menoleh.
“Boleh
duduk sini?” tanya pemilik suara itu pelan. Shilla sama sekali belum
menggubrisnya.
“Duduk
mah duduk aja,” balasnya cuek.
“Emangnya
nggak ada kursi lain apa?” Shilla memandang ketus orang itu dan seketika
membulatkan matanya. Eh? Tidak salah lihat kan? Batinnya tak percaya. Shilla
segera membaca badge nama pemuda itu. Ah? Yang benar saja?! Batinnya masih tak
percaya.
“Junio?”
gumamnya pelan.
[]
Dari
kejauhan Ify menggigit bibir bagian bawahnya was-was. Bagaimana kalau pemuda
itu canggung lagi? Bagaimana kalau ia takut lagi? Bagaimana jika Shilla malah
tidak mengacuhkannya? Bagaimana… kalau pemuda itu merasakan sakit lagi?
“Kalem
kali, Fy. Rio itu cowok.” Cibir Alvin memaksa Ify menghentikan aksinya. Gadis
itu mengangguk lalu memposisikan duduk di sebelah pemuda berwajah oriental itu.
Ify tahu pemuda di sebelahnya itu sedang sebal.
“bukan
cuma lo yang nyesek. Gue juga, Alv.
Inget?” ujar Ify sambil tersenyum tipis. Alvin sama sekali tak mendengar
ocehan Ify, mungkin detak jantungnya yang tak karuan mencegah suara halus Ify
masuk ke telinganya. Tanpa mempedulikan Ify yang masih saja merapal mantra
penguat diri untuknya, Alvin beranjak. Sesak tahu melihat dia yang kau suka
bersama yang lain.
“Alvin
kemana?” teriak Ify. Alvin tak peduli, ia tetap berjalan. Shilla, sekarang
tujuannya adalah gadis berwajah polos itu. Kalau rio Ify perbolehkan mendekati
Shilla, Alvin juga punya hak yang sama. Untuk mendapatkan gadis itu.
Ify
melihat punggung Alvin yang semakin menjauh. Ia menghela napas kasar. Harusnya
ia tidak membawa Alvin dalam dramanya ini. Ia tahu Alvin menyukai Shilla dan
kini malah ia meminta Alvin menjauhi Shilla karena pemudanya, rio. Ify tahu
persis Alvin bukan tipe cowok yang mudah mengalah. Dan Rio adalah pemuda yang
selalu mendapat apa yang ia mau. Ify tiba-tiba ikut beranjak menyusul Alvin.
Karena satu alasan, Alvin tidak segan-segan main tangan, apalagi yang ia hadapi
kini Rio, pemuda –yang menurut Alvin- belagu.
[]
Shilla
merasa hawa asing di dekat junio. Bukan hangat seperti yang ia rasakan saat
bersama Ify, Alvin, atau teman-teman sekelasnya. Pemuda ini lain, ia tahu Rio
terkenal dingin, tapi tidak tahu kalau efek dinginnya bisa sampai seperti ini.
Ia jadi heran, kenapa Ify bisa-bisanya menyukai Rio?
“Kelas
lo jam kosong?” celetuk Shilla memecah keheningan. Rio mengangguk.
“Iya,”
jawabnya. Shilla memutar bola matanya sebal, diam lagi, hening lagi di antara
mereka. Benar-benar hhhhh pasif sekali Rio tidak seperti Alvin yang cerewetnya
sebelas, dua belas dengannya.
“Shilla.
Are you free this afternoon?” tanya Rio menyadari Shilla yang dari tadi
berdecak kesal. Shilla terdiam, mengingat-ingat apa saja agendanya siang nanti.
“Nggak.
Gue ada ekstra nanti. Udah ya, bosen gue disini. Gue balik kelas dulu,” jawab
Shilla cuek lalu beranjak meninggalkan Rio.
“See
you, Shilla” gumam Rio sembari tersenyum tipis. Setidaknya, hari ini adalah
kemajuan bagi dirinya.
“Lo
nggak masuk kelas, bro?” suara itu, ah ya Juniel. Saudara kembarnya itu
memergokinya bolos pelajaran akhirnya.
“I’ll
tell Dad.” Ancam Iyel, bercanda tentunya. Rio mengedikkan bahunya cuek.
“Terserahlah,”
jawabnya pasrah lalu tersenyum tipis. Juniel lalu merangkul saudara kembarnya
itu sembari tertawa. Rio pun tertawa. Juniel tersenyum penuh arti, ini pertama
kalinya Rio tertawa lepas setelah sekian lama.
Ify
samar-samar mendengar tawa renyah milik Junio dan Juniel saat membelok
mengikuti Alvin. Ia tersenyum dan bersyukur, Rio sudah menemukan lagi tawanya.
Ia juga lega, Alvin tidak menghampiri Shilla dan Rio tadi. Dan Ify rasa, Alvin
tadi hanya mengerjainya. Jadi Ify segera berlari agar bisa cepat-cepat menimpuk
Alvin dengan buku tulisnya.
[]
Ruangan
pers yang lengang digunakan Shilla untuk larut dalam lamunannya. Dia ada
kerjaan sebetulnya, mengupdate website jurnalistik sekolahnya. Tapi kelakuan
Ify dan Alvin tadi, terutama Alvin yang menatapnya penuh curiga saat ia kembali
entah dari mana. Juga, Junio yang tiba-tiba menyapanya. Aneh, kenapa coba? Mau
menanyakan tentang Ify kepadanya? Ah, bagus juga. Pikir Shilla, dengan begini
kan Ify bisa meraih cowok impiannya.
“Permisi,”
eh suara itu lagi. Shilla menoleh kea rah pintu tak pecaya. Lalu mengucek matanya,
mirip. Lalu ia melirik badge nama siswa itu. Oh, itu Olaf eh.. Juniel
maksudnya.
“Ya,
ada yang bisa dibantu?” sahut Shilla tanpa beranjak dari tempatnya. Juniel lalu
melangkah masuk mendekati Shilla yang notabene ketua ekskul Mading.
“Kata
Kiki, Mading butuh anggota baru. Mm, May I?” tanya Juniel agak gugup. Shilla
hanya menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu mengangguk-angguk.
“Ok!
Magang,” jawabnya mutlak. Juniel bersorak pelan.
“Jadi
tugas gue sekarang apa?” tanya Juniel antusias.
Shilla
tampak berpikir, apa ya? Kalau ia meminta Juniel mengupdate blog mading, kok
kedengarannya dia males. Apa ya? Oh, ya. Project Mading yang belum juga
kesampaian.
“Lo
interview Sivia deh. Udah lama, Mading pengen interview dia. Tapi nggak ada
yang berani,” jawab Shilla dengan wajah penuh harap. Juniel tertegun.
“Lo
mau kan, Yel?” tanya Shilla ragu, karena perubahan ekspresi juniel. Pemuda itu
mengangguk menyanggupi. Shilla tersenyum tipis, membuatnya terlihat cantik.
Pantas, Junio menyukainya, senyum gadis ini menawan sekali.
[]
“Shill,
balik yuk,” seru Alvin saat memutar kenop pintu ruangan pers kebanggaan Shilla.
Seorang gadis berambut pendek menoleh ke arah Alvin. Alvin menatapnya tak
berkedip. Eh, dia tidak salah ruang kan? Batinnya tak percaya.
“yel,
dia nyariin orang tuh.” Rengek gadis itu pada pemuda yang berada di pojok
ruangan. Pemuda itu kini menoleh ke Alvin yang Nampak bingung.
“Oh,
nyari shilla ya?” tanya Juniel retoris. Alvin mengangguk.
“Dia
udah pulang tadi sama Kiki,” jelas Juniel. Alvin mengangguk lagi.
“Thanks.”
Ujar Alvin lalu meninggalkan ruangan itu. Shilla sudah pulang, apa-apaan.
Padahal, tadi gadis itu sendiri yang ngotot ingin pulang dengannya dan Ify. Oh,
ya! Ify, dimana pula gadis itu sekarang?
“itu
langkah awal yang bagus, tau! Hahaha,” suara nyaring Ify menyapa saraf
pendengaran Alvin. Ah iya, Rio, pasti pemuda itu membagi cerita bahagianya pada
Ify. Bahagia yang membuat luka batin sahabatnya itu. Lukanya juga sih,
sebenarnya. Tapi, ia sudah berjanji akan membantu Ify ya walaupun begini. Dada
Alvin terasa sesak, sudah friend zone
kini ia harus rela Rio PDKT dengan Shilla. Ah, sudahlah. Bersabarlah Alvin,
bersabarlah…
**
Okai, end of this part...
Tolong dong komennya.
Plis, I beg you guyss :) kalau nggak bisa komen disini bisa di twitter @citr_ atau facebook Citra Patrianegari. bukan apa-apa sih, soalnya aku liat ada yang baca ya meskipun cuma belasan. Tolong sarannya biar cerita ini bisa lebih baik. Thanks :)
Much Love <3
Citraaa
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3