check it out, Fellas :3
Shilla berjalan gontai memasuki angkot
Bang Boris.
“Eh,
Zhilla. Kenapa muka kau murung begitu? Macam orang putus cinta,” komentar Bang
Boris dengan logat Bataknya. Shilla menarik kedua ujung bibirnya, tersenyum
tipis.
“Aku
nggak papa kok Bang. Lagian aku kan jomblo, huhuhu.” Jawab Shilla sambil
pura-pura menangis. Bang Boris agak bergidik ngeri melihat tampang Shilla kini.
“Zudahlah,
jangan sok sok mellow lah kau. Tampang kau tak enak kali dilihat. Nanti tak ada
yang mau naik angkotku lah.” Cibir Bang Boris, membuat Shilla mengerucutkan
bibir.
“eh,
ngomong-ngomong mana kawan kau? Si Ify sama Alvin?” tanya bang Boris heran.
Shilla mengangkat sebelah alisnya.
“Kepo
kali kau Bang,” balas Shilla dengan nada sok-sok Batak. Bang Boris mengibaskan
handuk kecilnya di muka Shilla. Shilla terkikik geli sambil mengangkat jari telunjuk
dan jari tengahnya.
“Udahlah
bang. Buruan jalan, keburu sore nih,” protes Shilla. Bang Boris menggeleng.
“Aku
antar kau sendirian. Kau pikir ini taksi, Zhilla?” Shilla manyun lagi.
“Apa
Ify dan Alvin pacaran, Zhill? Jadi, kau sekarang ditinggalkan pulang sendiri,”
tambah Bang Boris membuat Shilla makin manyun.
“Siapa
bilang aku pacaran dengan Ify, bang? Kau kan tahu juga aku ni suka Shilla,”
suara itu… Alvin.
“Ah,
yang benar?” Bang Boris tampak tak percaya.
“Jangan
percaya, bang. Alvin emang suka gombal-gombal nggak jelas. Nggak usah
didengerin,” oceh Shilla. Bang Boris hanya mengangguk-angguk lalu masuk ke
angkotnya.
“Penumpangnya
dua, nggak apa-apa nih jalan?” tanya Alvin ragu. Bang Boris menggeleng.
“Tak
apa lah. Kalian kan pacaran,” sahut Bang Boris asal membuat muka Shilla dan
Alvin sama merahnya.
[]
Sivia
memulai harinya seperti biasa. Mengucilkan diri dari persahabatan masa SMA. Ia
cuma tidak ingin sakit lagi. Ia mengingat masa lalunya. Rasa bersalahnya itu
muncul lagi. Harusnya ia saja yang terkucil, tapi ia malah menyeret Juniel. Ah,
Ya Tuhan! Keringat dingin membasahi dahi Sivia, rasa takut dan rasa bersalah
itu mencekamnya lagi.
“Sivia,
you okay?” tanya juniel panik.
“Sivia,
I’ve told you before. Don’t be sorry.” Juniel mengelus puncak kepala Sivia. Ia
tahu, gadis itu pasti tak sengaja mengingat masa lalunya.
“Sivia.”
Lirih Juniel lagi. Tapi gadis berambut pendek itu tetap diam. Malah ia rasa
gadis itu diam-diam menangis.
***
Kisah klasik itu tak begitu indah. Bukan masa kecil yang selalu ia
rindukan, justru sangat ingin ia hilangkan.
Sivia memainkan
Barbienya dengan riang. Itu Barbie yang istimewa baginya, bagaimana tidak? Itu
hadiah karena ia mendapat ranking satu lagi. Gadis itu berdialog dengan
Barbienya seolah mainan itu benar-benar hidup. Tanpa ia sadari, ada gadis cilik
lain yang memperhatikannya dari kejauhan.
“Apa aku boleh ikut
main?” tanya gadis cilik itu sopan. Sivia sejenak berpaling dari Barbienya
memandang ragu pada gadis itu. Lalu ia mengangguk.
“aku Zahra,” gadis
itu memperkenalkan diri.
“Sivia,” balas Sivia
sambil mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
***
Sivia
ingat hari itu hari paling bahagia dalam hidupnya, iya. Dia adalah gadis cilik
paling bahagia kala itu. Hidupnya sempurna, mama papa yang perhatian, mainan
yang banyak,dan sahabat kecil yang sangat baik. Tangis Sivia perlahan berhenti.
Tidak, ia tidak boleh menangisi gadis itu. Tak boleh, ia tidak boleh menangisi
masa lalunya.
“Iyel,”
panggil Sivia. Juniel menatapnya khawatir.
“Believe
me, I’m fine,” lanjut Sivia dengan senyum lebar. Senyuman termanis Sivia Tasia
yang pernah Juniel lihat. Juniel mengangguk.
“I
believe you, Tasia.”
[]
Sivia memasukkan beberapa mainan lamanya ke
kantung bekas. Gadis kecil itu akan menyumbangkannya seperti perintah ibu guru
kemarin.
“Mainannya mau
diapain Via?” tanya Papa. Sivia menoleh sambil nyengir lebar ke arah sang Ayah.
“disumbang,” jawabnya
riang. Papa ikut tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya. Sivia pun juga
mengangkat jempolnya lalu tertawa riang.
Esoknya, hari yang
Sivia kira akan menjadi hari paling menyenangkan dalam hidupnya ternyata tidak
terjadi. Sivia melangkah menuju kelasnya I B dengan gembira. Ia tak lupa
menyapa setiap anak yang berpapasan dengannya. Tapi senyumnya perlahan memudar
saat ia melihat teman-temannya duduk bergerombol di bangkunya. Sivia menahan
langkahnya di depan pintu.
“Sivia itu anak orang
kaya yang bodoh,” seru sebuah suara.
“Iya, Sivia Cuma
manfaatin Zahra,” seru yang lain. Sivia membulatkan matanya, Apa itu manfaatin?
Batinnya bingung.
“Sivia yang nggak bisa
apa-apa cuma bisa apa-apa Zahra apa-apa Zahra. Huu,”
Oik, yang dilihat
sivia hanya menunduk. Sivia ingin masuk dan meneriaki teman-temannya yang
mengganggu Zahra, tapi langkahnya seperti tertahan di depan pintu.
“baru kalau masalah
uang Sivia keluar, dasar orang kaya sombong,”
“Emang kalo punya
uang bisa seenaknya,”
Sivia membatin, apa
maksudnya? Dia sama sekali tak mengerti soal yang dibicarakan teman-temannya.
Entah apa Sivia jarang nonton sinetron ‘tersanjung’ yang sedang ngetren itu
jadi ia tidak tahu drama apa yang sedang terjadi.
“Cukup!” teriak oik.
Sivia mendongak. Akankah ia dibela Zahra?
Juniel
percaya sivia baik-baik saja. Ia selalu percaya apa yang gadis itu katakan. Ia
paham tidak seorangpun di dunia ini ingin tidak dipercaya, Sivia pun. Jadi
sebisanya, meskipun terkadang logika menyangkalnya, iel berusaha mempercayai
Sivia. Sebagaimana Sivia percaya padanya selama ini. Gabriel menoleh ke gadis
di sebelahnya, ia tampak memejamkan mata, melarikan pikirannya ke dalam
lamunan, entah itu impian atau kenangan. Juniel menghela napas, kembali
memfokuskan dirinya ke papan tulis dimana Ibu Sri sedang menjabarkan
rumus-rumus yang memusingkan.
“Bukan Sivia yang
manfaatin aku!” Oik berteriak histeris.
“Aku yang
memanfaatkan dia,” aku Oik sambil menangis. Semua yang disana tersentak,
termasuk Sivia yang masih di ambang pintu.
“aku berteman sama
dia biar aku dapat jajan, biar aku dapat mainan, biar aku…” belum sempat Oik
menyelesaikan pengakuannya, pelukan hangat Sivia merengkuhnya. Gadis itu telah
berlari dari ambang pintu untuk memeluk sahabat kecilnya.
“Sivia lepas,” tolak
Zahra sambil menyingkirkan tangan Sivia yang memeluknya kasar. Sivia
terbelalak.
“Zahra…” jawab Sivia
lemah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Kamu tadi dengar
kan, Sivia?” kini gadis berambut kepang mendekati Sivia.
“Zahra manfaatin kamu,”
lanjutnya dengan senyum yang menurut sivia seperti nenek sihir. Sivia
menggeleng.
“Aku nggak ngerasa
dimanfaatin Oik,” jawabnya lantang.
“Zahra nggak jahat
sama aku,” lanjutnya lagi.
Tak disangka Sivia,
Zahra mendorongnya hingga jatuh. Sivia hanya terdiam, tak percaya apa yang
dilakukan Zahra padanya.
“Zahra, kenapa?”
tanya Sivia. Bukannya menjawab, Oik melempari Sivia dengan buku tulis halusnya.
Begitu pula teman-temannya yang lain, melempari Sivia dengan kertas yang sudah
berbentuk bola. Sivia tidak ingat pasti apa yang terjadi setelah itu, yang
jelas setelahnya ia pindah dari sekolah itu dan ia tidak pernah bertemu Zahra
lagi.
Bel
panjang tanda sekolah berakhir berbunyi nyaring. Baru jam setengah sepuluh
memang, hari ini sekolah pulang cepat. Sivia merapikan bukunya yang masih ada
di atas meja.
“Hari
ini nonton yuk, Va,” itu nala yang sedang membujuk Irva untuk pergi ke bioskop
bersamanya.
“Gamau
ah, Gak ada duit. Mending ke rumah Nova aja, ngobrol sambil nonton drama
Korea,” jawab Irva yang kini menoel pundak Nova. Sivia memperhatikan mereka
sesaat. Hati kecilnya berharap ia menjadi salah satu bagian dari mereka.
Berteman, bercengkerama tiap waktu, berbagi cerita tentang sekolah, tentang
cowok, tentang impian, ah tentang semuanya, intinya Sivia ingin bergabung.
Sivia
menoleh bangku sebelahnya, tempat duduk Iyel. Pemuda yang rela menemaninya,
meskipun Sivia tidak banyak memberinya respon. Sivia tersenyum tipis, pemuda
itu kini perlahan menjauh darinya. Tapi anehnya, Sivia tidak merasa marah, ia
juga senang akhirnya Juniel punya teman yang lain, paling tidak mengurangi
frekuensinya menjahili Sivia.
“sivia,
mau ikut?”
Sivia
menoleh heran dan menatap bingung teman-teman yang tadi ia perhatikan.
“Mau
ya,” bujuk Nala, sepertinya Nala tipe cewek perayu. Sivia tampak berpikir,
ucapan Iyel tempo hari terngiang..
“Gue Cuma pengen lo
bisa berteman dengan semuanya, Sivia,”
Okai,
Sivia tidak ada salahnya dicoba kan?
Sivia
mengangguk.
“Iya,
aku mau.” Jawabnya lantang. Nala, Irva, dan Nova pun tersenyum.
“Yukk,
cabut yuuk..” komando Irva sambil menyeret Sivia keluar kelas. Sivia sempat
melirik bangku sebelahnya. Ia tersenyum tipis, sudah saatnya Juniel
beristirahat dalam hal menemani harinya. Sivia mungkin belum siap membuka diri
untuk berteman, tapi Sivia harus mencobanya. Seperti Juniel yang telah
mencobanya terlebih dahulu. Sivia pasti juga bisa punya banyak teman.
**
Oke, part ini segini dulu. I don't know kapan mau lanjut lagi, mungkin setelah SBMPTN akan merampungkan cerbung ini. Dan semoga bisa selesai di ulang tahun si Junio dan Juniel, 24 Juni nanti tapi kayaknya sulit.
Plis, I do hope whoever you are who reads this fict. Kritik dan Sarannya ya di @citr_ thanks
Much Love
Cills ^^
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3