Jumat, 16 Mei 2014

Melted [6]

habis TO nih. meler lagi, hufftt.
I'm trying ma best here. Hihi, luvv
Enjoy get lost here and enjoy the story, Pals :3




PART 6
                Ify sampai lebih dulu di kafe ChitChat daripada Rio. Jadi gadis itu memilih meja di paling pojok. Bukan apa-apa sih, hanya agar percakapannya dengan Rio lebih privat karena feeling Ify bilang kalau Rio akan menyampaikan sesuatu yang sensitif. Rio yang baru datang menjelajahi sudut kafe dan akhirnya mendapati Ify yang melambai ke arahnya.
                “Mau pesen apa?” tanya Ify ramah. Rio memandang Ify sebentar lalu duduk.
                “Espresso,” jawab Rio. Ify tersenyum lalu menuliskan pesanannya dan Rio. Setelah Ify menyerahkan menu dan kembali ke mejanya, keheningan mulai menyeruak. Baik Ify maupun Rio tidak ada yang mulai percakapan. Ify mengetukkan jemarinya ke meja, membuat sedikit suara.
                ‘oke, Ify. Nggak ada hukum yang menetapkan cewek harus nunggu. Ayo lo bisa ngajak dia ngobrol,’ batinnya bersemangat.
                “Lo mau ngomong apa?” tanya Ify membuyarkan lamunan Rio. Rio menatap Ify datar dan dingin.
                “Ini pesanannya kakak. Selamat menikmati,” pelayan kafe meletakkan pesanan rio dan Ify di meja. Sebelum pelayan itu pergi, Ify mengucapkan terima kasih, sementara Rio hanya menatapnya datar. Sekarang pandangan Ify beralih pada pesanan mereka berdua. Rio memesan Espresso sementara Ify memesan Milkshake stroberi. Terlalu bertolak belakang, espresso dengan rasa pahit-pahit manis dan milkshake dengan rasa dominan manis. Apa espresso mencerminkan kepribadian Rio? Pikir Ify.
                “gue suka Shilla,” ucap Rio pelan namun tegas. Ify yang barusan menyedot milkshake nya tersedak.
                “S..shh..Shilla?” ulang Ify dengan sedikit tergagap. Rio mengangguk.
                “Ah, ya. Harusnya gue udah tahu ini dari awal. Haha, iya. Lo suka Shilla,” ujar Ify dengan tawa getirnya.
                “Can you help me? Bisa nggak lo ngebuat gue deket sama dia? I beg you,” pinta Rio pelan. Ify mengepalkan telapak tangannya, menguatkan dirinya sendiri. Jadi ini alasannya. Rio pacaran bukan karena ia suka Ify, hal yang seharusnya terpikir oleh Ify saat pemuda itu ‘menembaknya’. Jadi karena Shilla, sahabat polosnya yang bawel itu. Ify menghela napas berat, membantu Rio pdkt dengan Shilla sama saja membunuh dirinya pelan-pelan. Jadi, haruskah ia berkata tidak sekarang? Haruskah kali ini ia menolak permintaan Rio.
[]
                Alunan piano yang dimainkan Sivia terdengar indah. Lagu Fur elise itu menggema di seluruh ruangan lalu selain denting piano, tepukan tangan terdengar di ujung pintu membuat Sivia menoleh.
                “juniel.” Ujar Via menghentikan permainan pianonya.
                “Kok berhenti mainnya?” tanya Iyel. Sivia menggembungkan pipinya sebal.
                “sejak kapan kamu nguntit nguntit aku segala?” keluh Sivia. Juniel tersenyum tipis.
                “Gue Cuma mau nemenin lo, Vi. Boleh?” tanya Iyel. Sivia menatap pemuda itu bingung.
                “lo…” Sivia menggantungkan perkataannya lalu beralih pada pianonya lagi. Sivia menekan tuts hitam dan putih itu bergantian melagukan Beethoven Symphony No. 3, Juniel yang berada disampingnya tersenyum tipis.
                “Lo, selalu ngalahin gue dalam main piano, Tasia,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Pipi sivia memerah malu, Juniel memanggilnya dengan nama belakangnya lagi sama ketika mereka masih berpacaran dua bulan lalu.
                “Stop calling me Tasia,” ujar Sivia agak galak. Juniel terkekeh lagi, apa yang salah? Oh, gadis itu memutar memorabilianya ternyata.
                “Do you want to be my girlfriend again, Sivia Tasia?” tanya Iyel penuh harap. Sivia menghentikan permainan pianonya, gadis itu hanya bergeming dan memandang mata hazel milik Iyel.
                “Stop play on me, Juniel Tesla,”jawab Sivia terdengar bergetar, ragu, dan takut. Juniel tidak menyangka akan begini respon Sivia. Lalu, pemuda itu merengkuh Sivia ke dalam pelukannya.
                “Gue jadi temen lo aja kalau gitu,” bisik Juniel tepat di telinga Sivia.
[]
                “Ya, I will help you,”
                Shilla membulatkan kedua matanya mendengar teriakan keras Alvin yang berada di depan laptopnya.
                “Napa lo? Kesambet?” tanyanya gusar. Alvin menoleh dan mendapati dua mata bulat Shilla menatapnya penasaran. Gadis itu kelihatan lucu sekali sekarang. Alvin tersenyum tipis tanpa Shilla sadari.
                “Ciee Alvin sama Shilla. Jadian nih ye, PJ! PJ!” teriak Obiet hebring. Shilla langsung menoleh dan menghadiahi Obiet tatapan mautnya. Obiet hanya cengengesan.
                “Iyadeh. Couple baru nggak mau digangguin,” sambung Kiki yang baru saja masuk ruang pers sekolah. Shilla gentian melirik tajam Kiki.
                “Lo berdua tuh ya. Asal banget kalau ngomong. Mana mau gue sama ini cowok satu, idih.” Ujar Shilla yang langsung menjauh dari Alvin. Alvin dengan wajah tengilnya mengikuti Shilla lalu merangkul bahu Shilla yang langsung sibuk dengan tumpukan kertas.
                “Shilla sayang, nggak usah malu-malu gitu dong sama anak-anak mading. Oh, kamu belum mau ke ekspos ya, Sayang?” ujar Alvin tengil. Shilla segera menepis lengan Alvin dari bahunya. Lalu gadis itu berlari menuju pintu.
                “Lo bertiga! Awas ya!” geram Shilla sebelum ia benar-benar pergi dari ruang pers. Alvin yang tertawa paling awal lalu disusul oleh Obiet dan Kiki.
                “Kocak lo, Vin! Lo nggak liat tuh ibu ketua klub mading mukanya semerah seragam MU, hahaha,” komentar Kiki di sela tawa mereka.
                “Oh ya? Shilla segitu saltingnya?” tanya Alvin tak percaya. Kiki dan Obiet mengangguk.
                “Btw, kalian beneran taken?” tanya Obiet. Alvin menggeleng.
                “Enggak kok. Belum,” jawab Alvin sambil tersenyum lebar.
[]
                Ify menghela napasnya pelan sebelum ia sanggup menjawab permintaan Rio. Dalam hati, ia merapal doa agar keputusannya kali ini tidak salah. Gadis itu lalu menyedot milkshakenya lalu menatap pemuda dingin di depannya itu.
                “Iya. Gue bantu, tapi boleh gue minta satu permintaan?” ujar Ify pelan. Rio tersenyum teramat tipis dan mengangguk.
                “Kita putus aja ya?” sambung Ify tanpa menatap Rio. Rio terbelalak, pemuda itu menggeleng.
                “Nggak. Minta yang lain. You have to stay beside me,” jawab Rio pelan dan tegas. Ify menghela napas lagi. Benar, Rio akan membunuhnya perlahan-lahan. Ify menggigit bagian bawah bibirnya, bingung apa yang akan ia minta pada Rio.
                “Gue boleh tanya?” tanya Ify akhirnya. Rio mengangguk.
                “lo, kenapa dipanggil Rio. Nama lo Junio Tesla kan?” tanya Ify lagi. Dalam hati, Ify merutuki dirinya, dari berbagai permintaan yang terlintas di otaknya kenapa ia sekarang malah mengajukan pertanyaan bodoh bin tidak penting seperti ini. Rio menatap Ify seperti biasa, datar dan dingin.
                “Rio itu nama kecil gue. Nama gue Junio Tesla. Junio karena gue lahir di bulan Juni di tanggal 24. Tesla diambil dari nama penemu, karena Ayah gue maniak sains tapi malas untuk mengakuinya. Dan Rio, itu nama kecil gue. Iyel, Juniel yang manggil gue Rio untuk pertama kali saat ia akhirnya bisa bilang huruf ‘r’ dengan jelas. Ya, jadi gue dipanggil rio sampai sekarang,” jelas pemuda berwatak dingin itu pada Ify yang mendengarkannya dengan serius.
                “Kenapa lo pengen tahu? Cuma lo orang yang pernah nanya ini ke gue?” Rio balik bertanya pada gadis itu. Ify tersenyum tipis.
                “Karena ada sebuah cerita di balik setiap nama, Yo.” Jelas Ify.
                “Mm, mau ketemu Shilla nggak? Mungkin doi masih di sekolah jam segini. Cabs yuk?” ajak Ify yang langsung berdiri dan menuju kasir. Riopun sama, mengekor gadis berdagu tirus, gadis yang akan membantunya dekat dengan dia yang selalu membuat Rio susah tidur, Shilla.
**

To be continued..
Terima kasih sudah membaca (:
@citr_ 

1 komentar:

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang