Minggu, 13 Juli 2014

Melted [14 A]

Haloo ^^
ketemu lagi nih ma akika, hihi.
Apa kabar? *basa-basi*
nih, aku bawain sesuatu yang absurd apalagi kalau bukan cerbung aneh ini, wqwq
Udah ah.
Check it out :-D



**



PART 14 A
You were playing yours
She was playing her games
Surely games to be played all the way
For you learn how to play – Big Baby driver – some other day

                Karena mereka sudah tenggelam dalam permainan ini. Salah langkah satu saja, game over!

                “Shilla udah dateng?” tanya Ify pada Oik, sekutu Shilla masalah drama korea. Oik mengangguk.
                “Tuh.” Jawabnya sambil menunjuk bangku tepat di depan meja guru, bangku yang paling dihindari Shilla selama ini. Ify menatap bangku itu dengan pandangan tak terbaca.
                “Fy, lo duduk sama gue gih,” tawar Alvin yang tiba-tiba saja menarik Ify.
                “shilla.” Desis Ify. Alvin mengangguk paham.
                “Dia butuh waktu,” Alvin berusaha mencermati apa yang diinginkan Shilla.
                “Tapi kita nggak bisa diem aja gini kan?” sanggah Ify. Alvin mengangguk paham, semalaman ia berpikir keras bagaimana menghadapi dua sahabatnya ini.
                “iya, Ify, gue tahu. Makanya di sela waktu Shilla itu kita coba jelasin semuanya ke dia,” sahut Alvin tenang. Ify mengangguk setuju, lagian tidak ada gunanya ia membantah Alvin sekarang.
                Shilla memasuki kelasnya lima menit sebelum bel berbunyi. Jantungnya kini berdebar tak karuan, bukan karena bertemu gebetan bukan. Ini lantaran tempat duduk yang dipilih Shilla sekarang. Tepat di depan meja guru, tapi daripada harus semeja dengan Ify atau Alvin sepertinya ini pilihan terbaik.
                “Kemana aja, Shill?” sapa Nisa teman sebangkunya sekarang.
                “Sarapan,” jawab Shilla seadanya. Semoga pelajaran hari ini tak membuatnya semaput di tempat duduk barunya.

                “Shill, kantin yuk?” ajak Ify. Shilla menoleh sebentar lalu beranjak begitu saja melewati Ify. Ify mencelos saat Shilla melewatinya seolah Ify tak kasat mata.
                “Fy, lo nggak pa pa?” tanya Alvin di belakang Ify. Ify mengangguk.
                “Kalian lagi ada masalah ya sama Shilla?” tanya Nisa penasaran. Ify diam saja.
                “Salah paham sedikit, Nis,” sahut Alvin.
                “Tolong temenin Shilla ya.” Lanjut Alvin yang disambut acungan jempol Nisa.
                Ify dan Alvin pun beranjak menuju kantin. Sepanjang jalan menuju kantin tak satupun dari mereka bicara. Alvin dengan pikirannya sendiri dan Ify juga dengan pikirannya.
                “Ify!” panggil Rio saat Ify lewat dihadapannya. Ify tak menggubris panggilan Rio dan terus berjalan. Rio menggeram pelan lalu mencekal pergelangan tangan Ify.
                “Apa?” sahut Ify malas. Rio berdecak kesal. Alvin memandang aneh keduanya.
                “Lo duluan aja, alv.” Ujar ify pada Alvin. Alvin mengangguk lalu meninggalkan Ify dan rio.
                “kamu kenapa? Dari kemarin nggak hubungin aku. Habis dari rumah aku, kamu jadi gini,” ucap rio khawatir.
                “Sorry, aku lagi mikirin seseorang sekarang,” jawab Ify santai. Seseorang? Hati rio tak terima saat Ify mengucap kata ‘seseorang’.
                “cowok?” terka rio sambil menahan amarahnya. Ify menggeleng.
                “Terus?” tanya rio.
                “shilla.”
[]
                Shilla memilih kantin bagian belakang sekolah sebagai tempat pengisi perutnya kali ini. Ia tidak ingin melihat wajah Ify, Alvin, ataupun errr Rio. Shilla duduk sendirian di deretan bangku kantin itu menikmati sotonya. Yah, setidaknya itu mood booster Shilla.
                “Shilla ya?” sapa seorang gadis berambut pendek yang tadi tampak tertawa di bangku depan shilla. Shilla tidak menghiraukannya karena sibuk meniup kuah sotonya.
                “ehemm,” gadis itu masih bersikeras menyapa shilla. Shilla akhirnya mengalah ditatapnya gadis itu yang tak lain adalah Sivia.
                “ada apa?” tanya shilla sebal. Ia tidak ingin diganggu siapapun hari ini tapi gadis dei depannya ini baru saja melakukannya.
                “eh, itu.” Sivia tergagap ditanya begitu oleh shilla. Shilla berdecak pelan.
                “Gue mau makan kalau gitu,” tandasnya lalu melanjutkan makannya. Sivia tak menyahuti shilla lalu hanya menunggui Shilla makan. Setelah shilla selesai, Sivia akhirnya membuka suara lagi.
                “Aku mau beli tiket pensi Labsky,” ujar Sivia ragu.
                “Oh,” tanggap Shilla datar.
                “Lo kan bisa beli di Iyel,” hhh, Shilla malas harus menyebut nama Iyel karena secara tidak langsung ia mengingat Rio.
                “Gue balik dulu ya?” pamit shilla begitu Sivia terdiam begitu saja.
                “e…eh, tunggu,” sergah Sivia saat Shilla sudah berada di pintu keluar.
                “gue mau ketemu lo sore nanti bisa?” tanya Sivia pelan sambil mendekati Shilla yang masih berdiri di pintu. Shilla mengangguk.
                “Di Donat Bakar ya?” lanjut sivia antusias. Shilla mengangguk lagi, entah apa tujuan gadis di depannya itu menurut Shilla tidak ada salahnya ngobrol sedikit dengannya, lagipula ia sedang ingin makan donat.
                Shilla berjalan gontai menuju kelas, rasanya berat sekali meneruskan mengikuti pelajaran. Gadis itu memperhitungkan bolos, tapi minggu depan sudah mid test, rugi lah kalau ia pulang sekarang. Shilla menggaruk rambutnya yang tak gatal, harus bagaimana ia sekarang?
                “Arrrgh!” pekiknya pelan.
                “Shilla! Shill! Shilla!!” panggil Alvin. Shilla mencelos pelan lalu mempercepat langkahnya.
                “Shilla! Tunggu,” pekik Alvin lagi namun sayang, Shilla tidak berhenti ia masih tetap berjalan menghindari pemuda itu.
                Shilla terhenti begitu sampai di belokan koridor kelas. Bukan karena panggilan Alvin tadi tapi karena… ify. Shilla perlahan mundur, lalu berbalik kea rah yang lain. Biar saja ia bertemu Alvin yang pasti akan mengomeli atau menasihatinya atau apapun masa bodoh. Shilla tidak sanggup melihat Ify dan Rio berduaan, itu saja.
[]
                Rio tergugu menatap Ify karena Ify menatapnya tidak seperti biasa. Tatapan Ify penuh misteri. Rio sendiri tak tahu benar apa maksud tatapan Ify itu. Pemuda itu menghela napas tak kentara, lalu berdecak pelan.
                “Oke. Aku nyerah!” ucapnya putus asa. Ify melengos, sebegitu tidak peka ya pemuda di depannya ini.
                “Lo nggak ngerasa bersalah?” cerca Ify. Rio mengangkat sebelah alisnya. Apa? Ify menggeram pelan melihat reaksi Rio. Ify harusnya ingat dengan siapa ia bermain kode-kodean ini, dengan Junio Tesla. Manusia paling tidak peka, paling bebal, dan paling angkuh, ugh! Rio harusnya menengok catatan penilaiannya terhadap pemuda itu dulu sebelum ia sejauh ini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Belum sempat Ify menengok catatan kecilnya, ia sudah berjalan jauh di samping Rio.
                Dan sejauh ini, Ify percaya pemuda itu akan berubah. Menjadi lebih hangat, menjadi lebih peka. Tapi nyatanya, Rio tetaplah Rio. Dingin itu masih membekukan hati pemuda itu, entah harus dengan cara apalagi Ify mencairkan hati Rio.
                “Ify? Kok ngelamun?” Rio mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Ify. Ify pun mengerjap lalu menatap Rio tajam. Dikumpulkannya keberanian untuk mengungkapkan hal yang sudah ia sudah susun rapi-rapi di otaknya. Ify menghela napas sebentar lalu bersuara.
                “Jangan nemuin aku lagi sebelum kamu sadar salah kamu apa.” Rio terdiam mendengarnya. Setelahnya, Ify meninggalkan pemuda itu. Biarlah kali ini Rio yang menemukan salahnya sendiri. Bukan Ify tak mau memberi tahunya, Rio harus dong sekali-sekali ngaca sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan lebih dari itu, Ify ingin Rio sendiri yang mencairkan es di hatinya karena selama ini usaha Ify belum juga berhasil.
[]
                Ify mencuri pandang ke meja depan guru ketika sampai di ambang pintu kelasnya. Ia ingin mengecek keadaan shilla. Lho? Tapi kok tinggal Nisa seorang yang duduk manis disana. Apa Shilla bolos? Ify pun segera menghampiri Nisa, ia harus tanya Nisa daripada ia berspekulasi sendiri.
                “Nisa, Shilla kemana?” tanya Ify.  Nisa yang sibuk ngobrol dengan Maya yang duduk di belakangnya menoleh.
                “Pulang. Pusing katanya,” sahut Nisa singkat lalu kembali meneruskan obrolannya dengan Maya. Ify menghela napas kentara, lalu kembali ke bangkunya. Ify pun mengguncang Alvin yang terlelap saat ia sudah duduk di sebelah pemuda itu.
                “Alvin, Shilla bolos.” Cicit Ify sambil menerawang jauh.
                “Ya terus?” tanggap Alvin pendek. Ify berdecak, Alvin dan Rio sama tidak pekanya. Dasar laki-laki. Gerutunya dalam hati.
                “Alvin kok lo gitu sih?” gumam Ify pelan. Alvin menegakkan tubuhnya lalu menatap Ify.
                “Emangnya gue harus gimana, Fy?” Alvin mendengus frustasi.
                “Shilla lagi nge-pause game ini. Itu artinya kita perlu ngelakuin hal yang sama, Fy. Pause game ini. Kita perlu istirahat sebentar, Ify. Sebelum level game ini naik dan jadi makin sulit, makin rumit. Istirahat sebentar, fy. Kita introspeksi diri masing-masing sebelum kita resume lagi game ini, Fy.” Lanjut Alvin sambil menepuk bahu Ify. Ify mengangguk paham, Alvin benar. Mereka harus mempause game ini barang sebentar, beristirahat.
                Pelajaran ekonomi di jam terakhir terasa membosankan bagi Ify. Ify menoleh ke samping dan mendapati Alvin tengah asyik dengan menghitung pajak. Ify menghela napas, ia rindu Shilla yang duduk di sebelahnya. Ia rindu Shilla yang selalu berceloteh tentang drama korea bukannya pajak dan bunga. Ia rindu Shilla yang lebih senang mencoreti halaman belakang buku Ify dengan curahan hatinya bukannya sejarah Hindia-Belanda.
                Ah, itu dia. Coretan Shilla di buku sosiologinya mungkin bisa mengobati kehampaan Ify tanpa Shilla. Ify segera menggeledah tasnya dan mengeluarkan buku bersampul ‘campus’nya. Dengan tergesa Ify membuka halaman terakhirnya. Jantung Ify entah kenapa berdebar-debar, debarannya bahkan melebihi debaran saat bertemu Rio. Ih, kok Rio lagi sih, udah ah fokus ke Shilla dulu dong.
                Ify mulai membaca tulisan tangan Shilla. Ify tercekat membacanya.
Halo, Fy ~(‘-‘)~
Eh, gue mau ngomong nich. Xixi *paanseh*
Main cookie run yuk, Fy. Bagi gue hati, wqwq (?)
Lo bisa lompat tinggi-tinggi, fy. Tapi inget nih, lo bisa juga ndlosor sendlosor-ndlosornya, Fy. Kalau nggak hati-hati, lo kaget Fy. Game over deh, huhu.
Fy, gue jatuh masa. Sakit…
                Ify menahan diri agar tidak menangis saat ini. Banyak yang Shilla pendam selama ini tapi Ify tak menyadarinya sama sekali. Fokusnya pada Rio membuat jarak antara ia dan Shilla semakin lebar.
[]
                Shilla celingukan saat memasuki Hot Doughnuts, tempat kencannya dengan Siviaa. Tadi, Sivia bilang lewat sms dia sudah sampai.
                “Shilla! Sini!” panggil Sivia sambil melambai pada Shilla. Shilla segera menghampiri meja Sivia dan duduk di depan gadis itu.
                “Sorry lama. Rumah lagi ribet,” ujar Shilla sembari tersenyum kecil. Sivia mengangguk mengerti.
                “Mau pesen apa?” tanya Sivia. Shilla pun menyambar buku menu lalu mulai memilih. Sambil memilih, Shilla merenung, hidup ini selalu dipenuhi pilihan. Mau makan apa itu juga pilihan. Tanpa kita sadari, Tuhan selalu menyodorkan ‘buku menu’ pada kita, memberi kita berbagai pilihan dan membiarkan kita memilih. Begitu juga kisah Shilla saat ini. Ia diberi pilihan untuk meneruskan permainan ini atau mengakhirinya saja lalu pergi. Namun, Shilla belum memilih. Opsinya saat ini adalah istirahat sebentar.
                “Shilla, kok malah melamun?” tegur Sivia. Shilla mengerjap lalu tersenyum kikuk.
                “Eh, sorry-sorry. Kelamaan mikir y ague. Emm, gue mau donat stroberi sama choco float aja deh.” Tukas Shilla sambil meletakkan buku menunya di meja. Sivia mengangguk dan memanggil waitress dan mulai menyebutkan pesanan mereka berdua.
It’s killing me to see you go
After all this time
                Lagu Breathe kepunyaan Taylor Swift mengalun di kedai donat itu. Alunan lagu yang sendu itu menyapa pendengaran Shilla dan membuat gadis itu tersindir. Liriknya Shilla banget.
                ‘Kok gue banget sih,’ batin Shilla sebal dan sedih. Sivia yang diam saja membuat Shilla berkutat dengan pikirannya sendiri.
                Ia memang senang melihat Rio mulai ‘mencair dan hangat’ tapi di sisi lain tak bisa Shilla pungkiri bahwa ia juga terluka melihat Rio perlahan pergi darinya. Dan, parahnya Rio berlari menuju Ify yang jelas-jelas sahabat terbaik Shilla. Shilla tidak tahu ini salah siapa. Dan Shilla juga tak bisa dan tak berani menyalahkan siapapun. Mungkin sudah begini jalan permainan ini. Berada di jalan yang salah tanpa seorangpun menyalahkan dan mengaku salah.
We know it’s never simple, never easy
Never a clean break, no one here to save me
                Shilla tidak tahu akan bagaimana akhirnya. Bahagia atau tak ada akhirnya, tersendat di tengah jalan dan tidak akan terselesaikan alias game over. Yang shilla tahu sekarang, baik dia, Ify, maupun Rio sedang menyelamatkan diri di zona teraman mereka. Kembali lagi, mereka pada jalan yang salah tanpa seorangpun menyalahkan dan mengaku salah.
                “Shilla. Lo ngelamun.” Seloroh Sivia. Shilla menggaruk tengkuknya salah tingkah. Dua kali sudah sivia memergokinya melamun.
                “Eh, lo mau ngomong apa?” tukas Shilla sesaat setelah ia ingat ajakan Shilla tadi siang.
                “Oh itu,” Sivia Nampak berpikir untuk menyusun kalimatnya.
                Waitress datang membawa nampan dengan pesanan shilla dan sivia, menyela percakapan mereka sebentar. Sambil memotong donatnya, sivia kembali menata kalimat yang akan ia utarakan pada Shilla.
                “makasih,” ujar sivia . shilla mendongak dan menatap sivia bingung. Buat apa?
              “Juniel.” Lanjut Sivia. Shilla mengernyit bingung, memang ia sudah melakukan apa buat Juniel.
                “Kok Juniel?” celetuk Shilla. Sivia tersenyum.
            “Semenjak masuk klub mading. Dia dan mmm..gue bisa berteman dengan yang lain, thanks.” Ungkap Sivia sambil tersenyum. Shilla juga tersenyum dan mengangguk.
                “Sebagai gantinya, Shill.” Lanjut Sivia dengan wajah serius.
                “Gue bisa bantu nyelesaiin masalah lo sama…Junio.”
                Eh? Shilla tercekat. Sebooming itu ya masalahnya?!
[]
                Ify menghampiri Shilla yang baru saja datang.
                “Shilla.” Sapanya. Shilla berhenti dan menatap Ify. Ada apa?
             “Gue mau ngomong,” jawab Ify cepat sambil meraih tangan Shilla. Shilla melepaskan genggaman Ify.
             “Habis mid-tes. Kita selesaiin semua. Gue mau fokus dulu, Fy.” Tukas Shilla lalu beralih dari Ify menuju bangkunya. Ify menatap Shilla tak terbaca.
                Sehabis mid-tes semoga semuanya terselesaikan dengan baik. Shilla benar, mereka harus fokus dulu. 

**
Haha, masih ada bagian B nya loh. tunggu, beberapa menit lagi pasti saya post, wqwq :3 
Oiya, tanya-tanyaan yuk disini di ask Fm aku. ditunggu lohh, hihi
K byee ^^
Luvvv @citr_ 

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang