Halo, Assalamu'alaikum
happy eid mubarak! maaf kalo selama ini banyak salah selama nulis cerita ini ya :-]
Happy reading, pals :)
**
PART 17
“Kamu
serius, Fy?” tanya Rio. Ify mengangguk.
“Nggak
harus sekarang. Kalau kamu belum siap nggak usah dipaksain,” ujar Ify lembut.
Rio melengos, kenapa Ify selalu baik padanya. Sudah banyak milik Ify yang
menjadi tidak baik karenanya, persahabatannya dengan Shilla Alvin misalnya. Rio
harusnya bisa memilih sejak awal. Dan seharusnya Rio tidak memberikan apa-apa
pada Ify maupun Shilla yang akhirnya tidak ia pilih. Namun apa daya Rio, dia
terlalu serakah karena baru kali ini ia menemukan apa yang namanya kasih sayang
setelah sekian lama.
“Rio,
kamu mau lihat sunset?” tanya Ify membuat Rio mengerjap kaget.
“E-eh,
iya mau-mau,” jawab pemuda itu sekenanya. Ify tertawa renyah melihat Rio yang
seperti itu.
“Ajak
juniel sama Via gih daripada ribut mulu gitu,” perintah Ify. Rio segera
melakukannya, kini giliran Rio yang berdebat dengan Iyel.
“Parah
ya, sebenarnya yang the one with frozen heart itu Iyel.” Keluh Sivia. Ify
menepuk-nepuk pundak gadis itu.
“Kalau
masalah bisnis kayaknya Iyel lebih jago daripada rio, mangkanya Iyel lebih
ngeyel daripada Rio.” Timpal Ify. Sivia mengangguk mengiyakan. Setelah sekian
lama ia berpikir bahwa Riolah duplikat om Anwar kini berganti, Juniel tuh yang
duplikatnya om Anwar.
Juniel
dan Junio akhirnya mendekati Sivia dan Ify yang asyik ngobrol.
“Buruan
beresin tuh lapak.” Cicit Sivia pada si kembar. Rio tidak berkomentar sementara
Iyel mencibir tak jelas. Yang didengar Sivia sih ada ‘nggak untung, nggak
untung’ gitu.
“Dasar
otak bisnis, hih!” ujar Sivia gemas. Juniel yang sedang mengangkat set pembakar
jagung melirik Sivia.
“Eh,
biarin masalah buat lo? Wleee.” Juniel menjulurkan lidahnya pada Sivia membuat
gadis itu mengerucutkan bibir.
[|]
“Masih
betah disini, Shill?” Alvin mencoba memecah keheningan di antara keduanya.
Shilla mengerjap, lalu menatap Alvin.
“Eh?
Gimana ya?” jawab Shilla bingung, ia masih enggan meninggalkan tepi pantai ini.
“Lo
bukannya disini mau liputan?” tanya Alvin. Shilla menggaruk kepalanya bingung.
“itu…
eh, kan udah ada Ozy sama Kiki,” kilah Shilla. Alvin menatap Shilla gemas,
bilang saja mau nunggu sunset susahnya minta ampun. Dasar Shilla gengsian.
“Bilang
aja lo betah berduaan sama gue kan? Lo mau liat sunset kan sama gue? Iya kan?
Iya kan?” tukas Alvin percaya diri. Shilla mengangkat sebelah alisnya, maksud
lo?! Begitu terjemahannya.
“Idih,
ge-er!” Shilla lalu berdiri dan berlari kecil menjauhi Alvin. Di tempatnya,
Alvin tertawa puas.
“Eh,
Shilla tunggu!!” pemuda itu bangkit setelah puas tertawa lalu menyusul Shilla.
*
Shilla
terpaku di barisan paling belakang tribun pensi. Ia menatap layar yang sengaja
dipasang untuk mereka yang ada di barisan akhir tribun agar bisa melihat
pengisi acaranya dengan jelas juga.
“Yak,
jadi sekarang udah mau last perform nih, guys!” ujar host pensi labsky.
“Thanks
ya udah dateng dan ngeramein acara ini. Thankyou banget, guys! Inget ya save
our environtment. Save our sea, Sea you tomorrow. This is the last performance,
please welcome white shoes and the couples company!!”
Shilla
terkesiap begitu para personil menjamah panggung. Shilla memandang tak berkedip
layar besar itu. Gadis itu semakin terperangah ketika mendengar intro lagu yang
dimainkan. Shilla mengejang samar, lalu memandang Alvin yang tengah menatapnya
khawatir.
Bersandar
Menusuk jiwa
Menusuk jiwa
ini
Shilla
menarik Alvin hingga pemuda itu terduduk bersamanya. Alvin sedikit terkejut
dengan perlakuan Shilla. Ia masih memandang bingung ke arah gadis itu.
“Alvin
sebentar aja.” Pinta Shilla. Alvin mengangguk saja, bingung harus bagaimana.
Shilla kemudian meletakkan kepalanya di bahu Alvin. Shilla bersandar pada
Alvin, entah kenapa Shilla ingin sekali melakukannya. Sesak dihati Shilla
menguar seketika. Kristal yang tadi ia temukan perlahan mencair.
Alvin
menatap Shilla yang tengah terpejam. Banyak beban Shilla yang selama ini
dipendamnya sendiri. Alvin mengelus puncak kepala Shilla. Bersandarlah Shilla,
bersandarlah, meskipun itu menusukmu, aku dapat memastikan aku akan
menyembuhkan perihnya Shilla. Bersandarlah Shilla, bersandarlah padaku.
Bersandar,
menusuk jiwa
Berharap
seribu kasih
Namun kini
punahlah sudah
Bersandar,
menusuk jiwa
Menusuk
jiwa~
[]
Senja
membingkai semuanya. Bagaimana mereka yang sama-sama bawel bungkam saat si raja
siang kembali ke peraduan. Bagaimana dia si penumbuh harapan terpukau akan
sinarnya yang berpendar temaram. Bagaimana ia yang melelehkan dinding es rindu
pulang ke peraduannya, ke persahabatannya yang sejenak merenggang.
Ke
empat remaja itu diam saat menyaksikan sunset di pantai Ancol. Ify yang paling
terlihat kagum melihat fenomena alam ini. Sederhana sebenarnya, tiap hari ia
melihat matahari terbenam tapi tak sekalipun terbesit di pikirannya untuk
melihat matahari terbenam dengan saksama. Sungguh indah, Ify tidak bohong.
Seperti persahabatannya dulu, teramat indah. Ify hanya terlambat menyadari
keindahannya saat sudah bobrok seperti ini. Mata Ify mulai berkabut, tapi gadis
itu segera menghapus air matanya kasar. Ia tidak ingin menodai keindahan senja
dengan tangisnya.
Sivia
baru sekali ini melihat senja yang benar-benar senja. Meskipun berungkali ia
mengunjungi yang namanya pulau Bali, ke pantai mana saja tempat melihat sunset
terbaik. Ini sunset terbaiknya, ia baru benar-benar menyadari semuanya, ia
telah melewatkan banyak hal. Termasuk sunsetnya, seperti ia yang dulu terlalu
banyak melewatkan berbagai banyak hal tentang Junielnya. Juniel ibarat senja
baginya. Terkadang terlihat biasa saja tapi sesungguhnya ia teramat istimewa.
“Kamu
suka, Vi?” tanya juniel. Ify dan Sivia menoleh, merasa terpanggil.
“Sivia,”
Juniel memperjelas siapa yang ia maksud. Ify mengangguk lalu memandang lurus-lurus
ke depan.
“Iya,
suka.” Ujar Sivia dengan senyum mengembang di wajah chubbynya. Juniel pun ikut
tersenyum.
“Gue
nggak nyangka menutup toko lebih awal bisa terbayar sama sesuatu yang indah
kayak gini.” Ucap Juniel. Sivia memutar bola matanya, tuh kan otak pedagangnya
keluar lagi, batinnya kesal.
“Lo
sama kayak senja ini, Vi. Penutup yang sempurna, hehe.” Juniel mencoba gombal.
Sivia menatap juniel heran.
“Lo
nggak melting apa gimana gitu?” tanya Juniel. Sivia terkekeh pelan.
“Ya,
dikitlah. Hehe.” Sivia tertawa. Amboi, renyah sekali tawanya.
[]
Alvin
kembali berada di tengah lapangan dengan bola sepak di kakinya. Ingat waktu
kelas S-3 menang kemarin? Ya, hari ini pertandingan lanjutannya. Alvin mengoper
bola yang sejak tadi ia dribble ke Danu. Ugh, yak bagus Danu menangkap operan
Alvin dengan sempurna lalu menggiringnya ke gawang dan Goaal!! Yeaah! Alvin
mengepalkan tangannya ke udara lantas melirik ke lantai dua gedung sekolahnya.
Semoga ada Shilla disana.
“S-3
kalian kereeeen!” teriak pendukung kelas XI-S-3. Alvin dkk semakin semangat
akan adanya pemain ke –enam itu, ya kan futsal cuma lima orang, haha.
“Alvinn,
semangatt!!” ah suara samar-samar itu, Alvin tahu siapa yang punya suara itu.
Siapa lagi kalau bukan Shilla. Dengan kekuatan yang seolah terisi kembali Alvin
menggiring bolanya dengan semangat.
“Alvin
jago ya main bolanya?” komentar Rio polos di samping Ify. Ify yang sedang fokus
pada pertandingan kelasnya.
“Iya
lah. Emangnya kamu,” ledek gadis itu.
“Aku
nggak expert banget di bola kaki tapi kalau bola tangan aku jagonya.” Sombong
rio sambil tertawa. Ify melirik Rio malas.
“Bola
bekel?!” lagi-lagi Ify meledek pemuda itu. Kini giliran Rio yang melotot ke
arah Ify.
“seneng
lo seneng,” Rio manyun. Ify tertawa puas, bisa juga ya cowoknya eh? Rio cowok
Ify? Ah abaikan, bisa juga ya Rio manyun, mana manyunnya imut gini bikin Ify
gemes.
*
Shilla
mendengar sorak sorai di bawah sana. Nama kelasnya juga dielu-elukan kerumunan
siswa bhuana bangsa. Yeaaa, kelasnya menang lagi. Besok deh dia nonton langsung
di tepi lapangan tidak seperti hari ini dan kemarin, ia hanya nonton dari
lantai dua.
Shilla
kemudian melangkah menuju ruang pers, ia harus mulai liputan tentang pensi
labsky kemarin. Ya, walaupun Shilla tidak sepenuhnya ikut pensi itu, ingat kan
Shilla galau di pantai? Semoga saja kiki dan ozy punya liputan menarik sehabis
mengekori Serra seharian.
Shilla
memutar kenop pintu ruang pers.
“Eh.”
Shilla terkesiap saat didapatinya Sivia dan Juniel di dalam sana. Bukan pacaran
tapi lebih terlihat seperti sedang berdebat. Shilla tersenyum kikuk. Sepertinya
kehadirannya mengganggu dua orang itu.
“Sorry-sorry.”
Ujar Shilla kemudian gadis itu bersia keluar dari situ.
“Coba
kamu tanya Shilla pasti dia sependapat sama gue.” Shilla mendengar namanya
disebut menahan langkahnya.
“Shilla,
sini bentar coba.” Panggil Sivia. Shilla pun menghampiri keduanya. Lalu Shilla
menatap keduanya heran.
“Shill,
menurut lo nih ya. Menurut lo, wajar nggak sih kalau…”
“Udah
ah, yel. Gausah dibahas lagi.” Belum selesai iyel berucap sudah disela Sivia.
“kalian
berdua kenapa sih?” tanya Shilla heran. Sivia dan Iyel saling tatap.
“Tau
tuh, Iyel nyebelin.” Jawab Sivia sambil bersedekap.
“Oh,
yaudah gih lanjutin debatnya. Eh liat Ozy apa Kiki nggak?” Shilla beralih
menuju computer yang tidak jauh dari sana. Baik Sivia maupun Juniel tidak
menggubris Shilla lagi, keduanya sibuk berdebat lagi.
“Ibuu
Shillaaaa.” Suara nyaring itu menggema di ruang pers. Bahkan cicitan Sivia dan
Gabriel sampai tidak kedengaran karena suara itu.
“Obat
abis, Zy?” tanya Shilla. Ozy menggeleng dengan sok imutnya.
“Liat
dong, BBM gue dibales Serra. Shill, can I be happier?! Ini pertanda baik,
Shill.” Heboh ozy sambil menyodorkan handphonenya pada Shilla. Shilla hanya
mengangguk-angguk, mengiyakan saja biar ozy bahagia.
“Tuh,
Serra udah sama ozy.” Cerocos Sivia sambil mencubit lengan Juniel. Shilla dan
Ozy sontak menoleh ke arah mereka. Oh, ini toh masalahnya! Pasti Juniel
membanding-bandingkan Sivia dengan Serra.
“Iya,
yel. Gue sama Serra doain sukses ya” Ozy sudah histeris sendiri.
“Ck,
itu kan belum pasti juga.” Iyel tak terima. Sivia memandang Juniel tak percaya.
“Eh,
eh. Woles bro, woles. Gini aja kalau lo mau sama Serra nggak apa-apa, asal
Sivia sama gue, gimana?” tawar Ozy sambil menaik-turunkan alisnya. Juniel menatap Ozy tak terima lalu menarik
Sivia keluar dari ruang pers.
“Ngambek
doi, hahaha.” Ozy tertawa keras saat
Juniel meninggalkan ruangan. Shilla termenung, sebenarnya kasus Iyel sama
dengan Rio. Dia harus memilih antara Serra dan Sivia –ya meskipun dalam konteks
bercandaan—tapi terlihat jelas kan kalau Iyel itu lebih konsisten. Sivia ya
Sivia. Coba Rio seperti itu, konsisten sejak awal, mungkin hati Shilla tidak
akan remuk seperti ini. Shilla mengerjap, kenapa jadi mikirin Rio sih, batinnya
kesal.
“Gimana,
Shill. Lo sama dua sohib lo itu?” tanya Kiki. Lho? Sejak kapan Kiki masuk.
“Gue
udah agak baikan sama Alvin.” Tutur Shilla. Kiki hanya membulatkan mulutnya.
“Eh,
mana nih hasil kalian ngekor Serra kemarin?” palak Shilla. Kiki dan Ozy kompak
nyengir lebar.
“Tenang,
ibu ketua. Kita punya reviewnya lengkap.” Jawab Kiki sambil menyerahkan flash
disk putih pada Shilla.
[\]
Alvin
termenung di kelasnya yang sudah sepi. Tadi rio –ditemani Ify yang sembunyi di
balik pintu—menemuinya. Tidak disangka, pemuda itu meminta maaf pada Alvin
---ooo---
“Alvin.”
Alvin yang merasa terpanggil menoleh ke sumber suara. Alvin menyipitkan matanya
–yang sebenarnya sudah sipit—memastikan bahwa dia tidak salah lihat.
“Ada
apa?” tanya Alvin datar. Dia tidak ingin bersikap manis di depan pemuda yang
secara tidak langsung membuat jaraknya renggang dengan Shilla.
“Gue…
minta maaf.” Ujar Rio tertahan. Terdengar tulus dan juga terdengar begitu
sulit. Alvin tahu minta maaf adalah suatu hal yang sulit bagi orang model Rio.
Alvin membuang muka, menatap tempat lain untuk menetralkan hatinya yang sedang
berdebat. Memaafkan Rio atau tidak. Mata Alvin sempat menyambar sosok mungil
yang terlihat cemas di balik pintu. Itu pasti Ify.
“Lo
minta maaf cuma karena disuruh Ify, iya?” ujar Alvin tajam. Rio terkesiap,
tidak menyangka akan seperti ini respon Alvin. Rio menggeleng.
“Enggak.
Gue minta maaf atas kemauan gue sendiri. Ify cuma nunjukin gue caranya, Ify cuma
ngajarin gue. Ini murni dari hati gue, Vin. Bukan disuruh Ify.” Jelas Rio.
Alvin menghela napasnya kentara. Baiklah, kalau Rio tulus.
“Iya,
gue maafin. Inget, forgiven not forgotten. Gue nggak bakal lupa apa yang udah
lo perbuat, bro.” ujar Alvin akhirnya. Rio menepuk pundak Alvin.
“Thanks,
gue bakal minta maaf ke Shilla juga kok.” Rio melengkungkan senyum terbaiknya,
senyum kelegaan. Satu lagi bongkahan es besar itu meleleh menjadi air tenang
yang menyejukkan. Semoga seperti ini seterusnya, semoga air itu tidak
menenggelamkan Rio maupun masalahnya begitu saja.
---ooo---
Suara
resleting tas yang ditutup membuyarkan lamunan Alvin. Alvin menoleh tahu siapa
yang melakukan hal itu.
“Mau
kabur?” cerca Alvin yang sudah duduk di meja si empunya tas.
“Enggak
lah, masa iya seorang Tiara Shilla ingkar janji.” Sahut Shilla santai. Alvin
mengangguk mengerti.
“Tapi
gue lagi nggak mau keluar ke mall apa kemana gitu.” Ujar Shilla sambil
menggaruk tengkuknya. Alvin mengangguk lagi.
“Nggak
apa. Ke rumah gue aja, gimana?” tawar Alvin. Shilla mengangguk antusias lalu
segera menarik Alvin keluar dari kelasnya.
[/]
Shilla
pulang ke rumah pukul lima sore. Tadi ia nonton film di rumah Alvin, lumayanlah
bioskop gretong eh gratis. Di rumah Alvin tadi ia disuguh cupcake, mm yummy.
Tapi ada yang kurang, well tidak ada Ify. Jujur ya, Shilla kangen banget sama
Ify tapi ya gimana lagi, masalah yang –mendadak jadi—complicated ini membuat
Shilla pikir-pikir dulu buat ketemu Ify.
“Mbash,
baru pulang?” celetuk Acha saat Shilla membuka pintu kamarnya. Shilla melempar
tasnya sembarang.
“Lu
ngapain di kamar gue?!” omel Shilla pada adiknya itu. Acha memutar bola matanya
malas.
“Ahelah.
My lovely beauty sister, lupa ya? Kamar gue baru diset ulang. Banyak pikiran
sih lu, adik sendiri jadi kelupaan, huh.” Acha balas menyemprot kakaknya itu.
Shilla hanya menoyor Acha pelan lalu menjatuhkan dirinya di kasur. Shilla
menatap langit-langit kamarnya, biasanya kalau sedang capek begini Shilla
langsung tertidur setelah menatap langit-langit kamar. Tapi, akhir-akhir ini
hal itu tidak terjadi.
“Chaa?”
panggil Shilla pada Acha yang sedang membolak-balik majalahnya.
“Hmmm?”
sahut Acha.
“Gue harus gimana, Cha? Puyeng
gue.” Keluh Shilla sambil memijit keningnya.
“Kenapa sih, kak?” tanya Acha
penasaran, lalu menutup majalahnya.
“Gue sama Ify…”
“Kenapa lo sama Kak Ify.” Potong
Acha.
“Ih, Raisa Safanah kayak kereta
lo nyamber mulu, dengerin gue dulu kenapa?” sewot Shilla. Acha langsung diam
dan memandang kakaknya lekat-lekat.
“Kita suka sama cowok yang
sama.” Lanjut Shilla lesu. Acha terlihat kaget.
“Tapi cowok itu sukanya sama Ify
sekarang. Dan sekarang gue sama Ify kayak… musuhan.” Shilla melengos.
“Lo udah berusaha minta maaf
belum, mbash?” tanya Acha hati-hati. Shilla menggeleng lemah.
“Gue takut, gue nggak bisa,
Cha.” Jawab Shilla bergetar.
“Tiap gue ngeliat Ify, gue
ngerasa bersalah. Gue lupa kalau Ify suka sama cowok itu jauh sebelum gue sama
dia. Tapi, gue juga nggak tahu kenapa Ify kesannya ngebiarin gue suka sama dia.
Jujur, gue bingung sama itu cowok, sama Ify juga. Mereka pacaran, tapi
seakan-akan Ify ngizinin cowoknya itu selingkuh sama gue,” air mata Shilla
tumpah seketika. Acha segera merangkul kakaknya itu.
“Udah, Shill. Udah.” Acha
mencoba menenangkan Shilla.
“Gue bisa ngerasain gimana
nyeseknya jadi elo. Tapi kalau Mbash beneran sayang sama Kak Ify, kakak minta
maaf ke dia gih, jangan jadi kucing-kucingan gini. Kalau ada yang Mbash nggak
ngerti, Mbash kan bisa tanya ke Kak Ify. Kak Ify pasti punya penjelasannya kok
Mbash. Kalau Mbash terus-terusan takut kayak gini sampai tua juga nggak bakal
selesai masalah ini. Kak Shilla, harus berani minta maaf ya, okay?” Acha
memandang lembut kakaknya yang sedang kalut itu. Shilla mengangguk.
Beruntungnya punya adik pengertian seperti Acha.
[/]
Bukan hanya Shilla yang sedang
kalut, Ify juga sama kalutnya. Gadis itu sedari tadi bergulingan di atas
ranjangnya. Bingung harus bagaimana. Tadi siang, Rio sudah meminta maaf pada
Alvin. Misi Rio –dan juga Ify—tinggal satu, minta maaf pada Shilla.
Drrttt…
drrrtt… kringg… kring…
Alvin
Jo is calling…
Ponsel Ify berdering membuat Ify
berjalan tergesa-gesa meraih ponselnya yang tergeletak di meja belajarnya.
“Halo,” sapa Ify pada Alvin di
seberang sana. Hening sebentar.
“Emm, fy. Gimana kabar?”
“Basa-basi banget sih, piin. Ada
apa?” tanya Ify gemas. Alvin tertawa kikuk di seberang sana.
“Err, soal Shilla. Gini…” Ify
mendengarkan Alvin baik-baik.
“Gini, Fy. Gue kan sama Shilla
udah baikan, tadi gue bilang sama dia. Dia harus cepet-cepet baikan sama lo.”
Ify diam, speechless.
“Tapi, dia masih bingung gitu
sama kayak lo. Errgh, dasar cewek-cewek.” Gerutu Alvin. Ify terkekeh pelan
menanggapi perkataan Alvin. Ya, mau gimana lagi sudah kodratnya wanita kalau
gengsinya gede.
“Sehari, dua hari deh lo siap-siap
disamperin Shilla atau lo yang nyamperin.” Perintah Alvin.
“Tapi, vin…”
“Tapi apa lagi sih Fy. Lo mau
sampai kapan kaya gini sama Shilla. Udah deh simpen dulu gengsinya. Lo udah
gede, fy. Nggak usah takut ngakuin kesalahan, gue juga udah bilang gitu ke
Shilla. Oke, fy?” cerocos Alvin membuat Ify terdiam.
“Udah dulu ya, Fy. Bye..”
Alvin sudah memutuskan sambungan teleponnya.
Ify menatap kosong ponselnya lalu jatuh terduduk di lantai. Ify menatap ke arah
jendela, salah satu jalan masuk dan keluar udara dan cahaya selain pintu. Ify
termenung, Alvin sudah memberinya jalan keluar untuk masalah ini. Ify tidak
perlu takut untuk meminta maaf dan mengaku salah.
Kamu tahu apa guna matahari?
Tentu, matahari menyinari dunia ini,
menghangatkan bumi, tanpanya kita akan kedinginan bukan? Tanpa sinarnya, iya
kan?
Iya. Kamu seperti matahari juga buatku. Tanpa
kamu, aku akan tetap dingin dan membeku sendirian. Terima kasih, ya!
Rio memandangi Ify yang tengah menyemangati
tim kelasnya.
“Ayo, dipo. Ayo!!” teriak gadis
itu antusias. Ify memang selalu total dalam semua hal yang dilakukan gadis itu.
Tidak peduli risiko yang akan diterimanya, meskipun risikonya adalah Ify yang
sakit hati. Rio sudah melihat betapa totalnya Ify. Karena berusaha mendapatkan
uhmm Rio, Ify (pertama-tama) rela demi terluka mencomblangkan Shilla dengan
Rio. Lalu, keduanya Ify harus perang dingin dengan Shilla karena Rio. Rio
menghembuskan napasnya, ia cukup jahat ya kalau dipikir-pikir.
“E-eh? Rio mau kemana?” tanya
Ify saat rio beranjak dari duduknya.
“Nyari Juniel.” Bohong Rio. Tapi
toh, Ify tidak tahu, ia iyakan saja rio berlalu dari sana, lalu kembali
menyemangati tim futsal kelasnya.
Rio menyusuri jajaran siswa yang
menonton pertandingan futsal. Ia hanya mencari satu orang. Oh, itu dia disana
di antara anak-anak yang membawa drum. Tengah serius memperhatikan, sesekali ia
tertawa. Lalu ia berteriak keras-keras membuat anak-anak yang memukul drum
menutup telinga mereka. Lalu orang itu manyun sebentar lantas berteriak lagi.
Tapi kali ini ia yang menutup telinganya karena suara dentuman drum itu
sepertinya tepat mengenai gendang telinganya.
Rio tersenyum tipis. Itu dia
gadis polos yang dulu ia kejar setengah mati.
Matahari, aku melihat awan…
Dia menutupimu membuatku merasa teduh
Tapi, aku akhirnya membuat awan mendung,
matahari
Aku membuat awan itu menjadi hujan, matahari
Aku tahu kau tidak marah saat ia menutupi
sinarmu sebentar
Tapi, matahari… aku tahu kamu kecewa saat aku
membuat awan itu menangis, iya kan?
Maaf ya matahari. Aku tidak bisa memilih
awalnya, matahari atau awan.
Rio mendekati kerumunan
anak-anak dengan drum itu.
“Shilla.” Panggil Rio sedikit
keras agar suaranya tidak tertelan dentuman drum. Shilla menoleh, lalu rautnya
sedikit terkejut saat mendapati Rio yang memanggilnya.
“Kesini sebentar.” Pinta Rio
sambil tersenyum tipis. Shilla menoleh ke teman-temannya yang memegang drum
–kiki dan Ozy—keduanya mengangguk. Shilla pun berdiri dan berjalan menuju Rio.
Keduanya pun berjalan menuju teras kelas XI yang sepi.
“Bukannya aku dulu udah bilang
kalau…”
“Iya, kalau kamu yang bakal
nemuin aku dulu, gitu kan?” Rio memotong perkataan Shilla. Shilla mengangguk
pelan.
“Gini, maafin aku ya?” ujar Rio
sambil menatap Shilla dalam-dalam. Mata polos Shilla juga menatap mata Rio. Disana,
Rio melihat kilau Shilla yang meredup seperti mendung.
Awan, jadilah seperti saat kali pertama aku
melihatmu
Putih cerah, cerialah seperti dulu awan
Hapuslah kelammu, hapuslah mendungmu
“Shilla, aku tahu kamu merasa
bersalah. Tapi, ini semua bukan salah kamu. Bukan salah kamu kalau kamu mmm
suka sama aku.” Rio mencengkeram bahu Shilla. Shilla sedikit terperanjat dengan
perlakuan Rio.
“Terimakasih ya sudah suka sama
aku, itu keinginanku sejak aku lihat kamu. Aku dulu berharap seorang Tiara
Shilla bisa suka sama aku. Dan sekarang itu sudah terwujud.” Rio tersenyum
tenang.
Awan, kamu tahu?
Duniamu bukan cuma matahari, bukan cuma siang
Kamu ingat malam?
Iya, kamu memang tidak begitu nampak saat
malam
Tapi, bukan berarti malam melakukannya karena
ia membencimu
Justru ia melindungimu, Awan
Percayalah, dan buktikan sendiri kalau dia
benar melindungimu
“Tapi sayang aku terlalu jahat,
ya Shill? Aku berbalik menyukai hal lain saat kamu mulai menoleh ke arah aku. Dan
bodohnya, aku nggak tahu saat itu kamu belok arah, sementara aku terus jalan
bukan ke arah kamu, tapi arah lain.” Rio menghembuskan napasnya berat. Rio lalu
melepas cengkeramannya pada bahu Shilla, lalu ia melihat sekilas ke lapangan,
mata cokelatnya menyambar sosok pemuda yang sibuk mendribble bola.
“Maaf, Shilla. Aku sudah buat
kamu patah hati. Maaf, karena aku sudah hampir…” Rio tak sanggup meneruskan
kalimatnya. Shilla mengangguk mengerti, ia tahu apa yang akan dibilang Rio.
“Udahlah Rio. Aku maafin kamu,”
ujar gadis itu tulus. Shilla menepuk-nepuk pundak Rio.
“Soal Ify dan Alvin, bukan
sepenuhnya salah kamu. Aku juga salah, aku terlalu pengecut buat tanya apa yang
sebenernya. Aku memilih menjauh dan bikin spekulasi sendiri. Kamu tahu? Itu nggak
membuat aku lebih baik. Aku jauh lebih buruk malahan, sibuk mikir yang
enggak-enggak soal Ify, Alvin, dan kamu. Maafin aku juga ya?” Shilla
mengulurkan tangannya pada Rio. Rio meraihnya dan menjabat erat tangan Shilla.
“Umm, Shill?” panggil Rio lagi.
“Iya?” jawab Shilla.
“Kalau butuh tempat move on, gue
tahu siapa yang tepat.”
“Siapa, yo?” tanya Shilla.
“Mmm, Alvin.”
Malam, aku percaya kau akan menjaga awan
Meskipun kamu terlihat gelap tidak sepenuhnya
kamu gelap
Kamu sama teduhnya seperti awan
Dan kamu sama baiknya seperti matahari
Malam, jagalah awan secara blak-blakan
Jangan sembunyi dibalik gelapmu
Aku tahu, diam-diam awan sepertinya
mengharapkanmu
Alvin dkk melakukan selebrasi
saat akhirnya tim futsal kelas mereka menang. Alvin lalu menghambur ke
teman-teman sekelasnya yang setia menyemangati Alvin dan yang lain tadi saat
bertanding.
“Thanks ya guys.” Teriak Alvin
lantang. Teman-temannya mengangguk antusias juga ada yang berteriak sambil
memeluk Alvin anarkis. Ify lalu menyenggol Alvin dengan sikunya.
“Toss dulu, hehe.” Ujar Ify
sambil terkekeh. Alvin dan Ify pun high five.
“Gue ke yang lain dulu ya,”
pamit Ify lalu beralih ke Dipo. Alvin mengusap peluhnya. Dimana Shilla? Batinnya
Brukk. Punggung Alvin ditubruk seseorang. Eh bukan
ditubruk tapi lebih tepatnya di peluk.
“Alvin, selamat ya.” Alvin mengenali suara
itu dengan baik. Itu Shilla. Dengan gerakan cepat, Alvin meraih tangan Shilla
yang melingkar dipinggangnya.
“Cieee.” Anak kelas S-3 kompak menggoda Alvin
dan Shilla. Tapi, keduanya tidak peka. Shilla tetap memeluk Alvin, seakan takut
kalau ia melepaskannya ia tidak bertemu Alvin lagi.
“shilla, lo nggak mau nemuin Ify?” dari
banyak kalimat yang ingin ia sampaikan pada Shilla. Kalimat itu yang keluar.
Shilla melepas pelukannya, Alvin berbalik dan menatap gadis itu.
“now or never?” tawar Alvin mutlak.
Akulah salju
Tapi kini aku mengingkari siapa aku karena
kamu, matahari
Sinarmu itu menghangatkanku, menghilangkanku
saat musim semi tiba
Kurasa semi ini, giliranku menghilang
Berubah menjadi apa aku?
Jadi uap yang membentuk awan atau air yang
mengalir menjalin takdir
“iyel!” panggil Junio. Yang menoleh
bukan juniel, melainkan gadis berpipi gembul, Sivia. Partner debat Juniel yang
baru.
“Apa woy?” sahut Juniel yang
ikut menoleh sesaat setelah Sivia menoleh.
“Gue udah minta maaf ke awan eh maksud
gue Shilla.” Jawab Rio sumringah. Juniel menautkan alisnya, begitu juga Sivia,
eh kompak ya mereka? Juniel pun mendekati Rio lalu memeluk saudara kembarnya
itu.
“Good! That’s what a gentleman
does.” Ujar Juniel bangga sambil menepuk-nepuk pundak Junio.
“Gentleman apanya. Php iya.” Celetuk
Sivia membuat Juniel mendelik. Pemuda itu kembali ke arah Sivia.
“Jadi menurut lo itu nggak
gentle?” balas Juniel tak terima. Rio menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ah,
mulai lagi deh, batin Rio gemas. Lalu ia berlari meninggalkan Iyel yang
akhirnya beradu argument dengan Sivia. Ia harus menemui Ify, segera!
Matahari, aku lihat awan itu menujumu
Jangan menjauh matahari
Ia tidak akan mengambil seluruh hangat
sinarmu
Ia rindu padamu, rindu mengganggumu, ia
sungguh rindu
Shilla berulang kali menatap
Alvin lalu ujung sepatunya. Begitu terus lima menit terakhir ini. Mereka masih
berdiri di tempatnya tadi.
“Now or never?” tawar Alvin
lagi. Shilla menggigit bibir bawahnya, sulit rasanya menjawab Alvin.
“Now.” Shilla bergumam pelan.
Alvin pun mendorong Shilla ke belakang Ify. Membuat Ify berbalik menatap
Shilla. Shilla menatap Alvin bingung. Alvin melotot kea rah Shilla, membuat
Shilla takut.
“Fy,,” cicit Shilla.
“Iya, shill?” balas Ify dengan
tatapan hangatnya. Shilla mendadak kehilangan sederet kalimat yang sudah ia
hapal sejak semalam. Shilla akhirnya memeluk Ify. Gadis itu menangis. Ify
membalas pelukan Shilla.
“Maafin aku, Fy.” Ujar Shilla
disela tangisnya. Ify mengangguk.
“Iya.” Ify tahu banyak yang
ingin disampaikan Shilla. Shilla’s tears speak everything, kalian tahu kan
tears are unspoken words.
“Jangan nangis, Shill. Muka lo
kan jelek kalau habis nangis, eh?” Shilla sontak melepas pelukannya. Bagaimana bisa
Ify bilang begitu di saat yang sesyahdu ini.
“Ify, lo kok nggak bisa sweet
dikit gitu. Pantes lo nggak punya cowok.” Gerutu Shilla sambil
bersungut-sungut.
“Heh. Ify mah punya Rio. Lo tuh
yang nggak punya cowok.” Sambar Alvin. Shilla mendelik ke arah Alvin. How can
you be? Begitu mungkin yang tertulis di dahi Shilla.
“hhh. Gue baikan niatnya bukan
buat jadi bullyan, astaga.” Cicit Shilla kemudian berlari meninggalkan Ify dan
Alvin. Ify dan Alvin terkikik di tempatnya.
“Gimana, Fy?” tanya Rio yang
tiba-tiba saja sudah ada disana. Ify hanya tersenyum, rio pasti tahu
jawabannya.
It’s called
the melt down.
Bagaimana sebuah
hati yang tadinya membeku, meleleh begitu menemukan cinta.
Kamu tahu
kan film Frozen? Trollnya pernah bilang hanya perbuatan cinta kasih yang bisa
melelehkan hati Anna yang terkena es dari Elsa. Awalnya, aku tidak percaya. Ah,
itu hanya bisa-bisanya si pembuat film saja. Tapi, pernah dengar kan kata orang
kalau kau tidak akan percaya sebelum kau mengalaminya sendiri kan. Nah, aku
sudah mengalaminya, aku percaya bahwa cinta adalah matahari bagi hati yang
membeku. Perlahan, ia akan menghangatkanmu lalu pelan tapi pasti akan
meleburkan es di hatimu itu. Mengubah es itu menjadi gumpalan awan ataukah air
yang mengalir. Yang jelas, jadi apapun itu, ia tidak akan menyalahi takdir. Aku
percaya itu. – Rio.
SELESAI
Hai, jadi cerbung ini sudah tamat, akhirnyaaa.
Maap nyak kalau jadi begini akhirnya, I just can't ah...sudahlah, aku gabisa membuat akhir yang baik lah intinya, maap nyak. maap D':
Maap nyak kalau jadi begini akhirnya, I just can't ah...sudahlah, aku gabisa membuat akhir yang baik lah intinya, maap nyak. maap D':
terimakasih buat kalian yang senantiasa googling 'melted part...' siapapun kalian, saya berterimakasih karena sudah mau menyimak dan membaca cerita saya.
maaf kalau selama ini terlalu banyak keabsurd-an dalam cerita yang menjadi debut saya ini *halah*
MAAP NYAK KALAU ENDINGNYA GAJELAS GINI WKWKW
tinggalkan komentar ya, plis. sekali ini aja, kan udah end :(
ohya, rencananya nanti akan ada bonus part lhooo xD
oke, udahlah. Makasih dan Minal Aidzin wal Faidzin
lavvyuu guyysss
@citr_
0 komentar:
Posting Komentar
Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3