Selasa, 29 Juli 2014

Melted [17/17]

Melted --Ending yang gagal
Halo, Assalamu'alaikum
happy eid mubarak! maaf kalo selama ini banyak salah selama nulis cerita ini ya :-]
Happy reading, pals :)
**



PART 17
                “Kamu serius, Fy?” tanya Rio. Ify mengangguk.
                “Nggak harus sekarang. Kalau kamu belum siap nggak usah dipaksain,” ujar Ify lembut. Rio melengos, kenapa Ify selalu baik padanya. Sudah banyak milik Ify yang menjadi tidak baik karenanya, persahabatannya dengan Shilla Alvin misalnya. Rio harusnya bisa memilih sejak awal. Dan seharusnya Rio tidak memberikan apa-apa pada Ify maupun Shilla yang akhirnya tidak ia pilih. Namun apa daya Rio, dia terlalu serakah karena baru kali ini ia menemukan apa yang namanya kasih sayang setelah sekian lama.
                “Rio, kamu mau lihat sunset?” tanya Ify membuat Rio mengerjap kaget.
                “E-eh, iya mau-mau,” jawab pemuda itu sekenanya. Ify tertawa renyah melihat Rio yang seperti itu.
                “Ajak juniel sama Via gih daripada ribut mulu gitu,” perintah Ify. Rio segera melakukannya, kini giliran Rio yang berdebat dengan Iyel.
                “Parah ya, sebenarnya yang the one with frozen heart itu Iyel.” Keluh Sivia. Ify menepuk-nepuk pundak gadis itu.
                “Kalau masalah bisnis kayaknya Iyel lebih jago daripada rio, mangkanya Iyel lebih ngeyel daripada Rio.” Timpal Ify. Sivia mengangguk mengiyakan. Setelah sekian lama ia berpikir bahwa Riolah duplikat om Anwar kini berganti, Juniel tuh yang duplikatnya om Anwar.
                Juniel dan Junio akhirnya mendekati Sivia dan Ify yang asyik ngobrol.
                “Buruan beresin tuh lapak.” Cicit Sivia pada si kembar. Rio tidak berkomentar sementara Iyel mencibir tak jelas. Yang didengar Sivia sih ada ‘nggak untung, nggak untung’ gitu.
                “Dasar otak bisnis, hih!” ujar Sivia gemas. Juniel yang sedang mengangkat set pembakar jagung melirik Sivia.
                “Eh, biarin masalah buat lo? Wleee.” Juniel menjulurkan lidahnya pada Sivia membuat gadis itu mengerucutkan bibir.
[|]
                “Masih betah disini, Shill?” Alvin mencoba memecah keheningan di antara keduanya. Shilla mengerjap, lalu menatap Alvin.
                “Eh? Gimana ya?” jawab Shilla bingung, ia masih enggan meninggalkan tepi pantai ini.
                “Lo bukannya disini mau liputan?” tanya Alvin. Shilla menggaruk kepalanya bingung.
                “itu… eh, kan udah ada Ozy sama Kiki,” kilah Shilla. Alvin menatap Shilla gemas, bilang saja mau nunggu sunset susahnya minta ampun. Dasar Shilla gengsian.
                “Bilang aja lo betah berduaan sama gue kan? Lo mau liat sunset kan sama gue? Iya kan? Iya kan?” tukas Alvin percaya diri. Shilla mengangkat sebelah alisnya, maksud lo?! Begitu terjemahannya.
                “Idih, ge-er!” Shilla lalu berdiri dan berlari kecil menjauhi Alvin. Di tempatnya, Alvin tertawa puas.
                “Eh, Shilla tunggu!!” pemuda itu bangkit setelah puas tertawa lalu menyusul Shilla.
*
                Shilla terpaku di barisan paling belakang tribun pensi. Ia menatap layar yang sengaja dipasang untuk mereka yang ada di barisan akhir tribun agar bisa melihat pengisi acaranya dengan jelas juga.
                “Yak, jadi sekarang udah mau last perform nih, guys!” ujar host pensi labsky.
                “Thanks ya udah dateng dan ngeramein acara ini. Thankyou banget, guys! Inget ya save our environtment. Save our sea, Sea you tomorrow. This is the last performance, please welcome white shoes and the couples company!!”
                Shilla terkesiap begitu para personil menjamah panggung. Shilla memandang tak berkedip layar besar itu. Gadis itu semakin terperangah ketika mendengar intro lagu yang dimainkan. Shilla mengejang samar, lalu memandang Alvin yang tengah menatapnya khawatir.
Bersandar
Menusuk jiwa
Menusuk jiwa ini
                Shilla menarik Alvin hingga pemuda itu terduduk bersamanya. Alvin sedikit terkejut dengan perlakuan Shilla. Ia masih memandang bingung ke arah gadis itu.
                “Alvin sebentar aja.” Pinta Shilla. Alvin mengangguk saja, bingung harus bagaimana. Shilla kemudian meletakkan kepalanya di bahu Alvin. Shilla bersandar pada Alvin, entah kenapa Shilla ingin sekali melakukannya. Sesak dihati Shilla menguar seketika. Kristal yang tadi ia temukan perlahan mencair.
                Alvin menatap Shilla yang tengah terpejam. Banyak beban Shilla yang selama ini dipendamnya sendiri. Alvin mengelus puncak kepala Shilla. Bersandarlah Shilla, bersandarlah, meskipun itu menusukmu, aku dapat memastikan aku akan menyembuhkan perihnya Shilla. Bersandarlah Shilla, bersandarlah padaku.
Bersandar, menusuk jiwa
Berharap seribu kasih
Namun kini punahlah sudah
Bersandar, menusuk jiwa
Menusuk jiwa~
[]
                Senja membingkai semuanya. Bagaimana mereka yang sama-sama bawel bungkam saat si raja siang kembali ke peraduan. Bagaimana dia si penumbuh harapan terpukau akan sinarnya yang berpendar temaram. Bagaimana ia yang melelehkan dinding es rindu pulang ke peraduannya, ke persahabatannya yang sejenak merenggang.
                Ke empat remaja itu diam saat menyaksikan sunset di pantai Ancol. Ify yang paling terlihat kagum melihat fenomena alam ini. Sederhana sebenarnya, tiap hari ia melihat matahari terbenam tapi tak sekalipun terbesit di pikirannya untuk melihat matahari terbenam dengan saksama. Sungguh indah, Ify tidak bohong. Seperti persahabatannya dulu, teramat indah. Ify hanya terlambat menyadari keindahannya saat sudah bobrok seperti ini. Mata Ify mulai berkabut, tapi gadis itu segera menghapus air matanya kasar. Ia tidak ingin menodai keindahan senja dengan tangisnya.
                Sivia baru sekali ini melihat senja yang benar-benar senja. Meskipun berungkali ia mengunjungi yang namanya pulau Bali, ke pantai mana saja tempat melihat sunset terbaik. Ini sunset terbaiknya, ia baru benar-benar menyadari semuanya, ia telah melewatkan banyak hal. Termasuk sunsetnya, seperti ia yang dulu terlalu banyak melewatkan berbagai banyak hal tentang Junielnya. Juniel ibarat senja baginya. Terkadang terlihat biasa saja tapi sesungguhnya ia teramat istimewa.
                “Kamu suka, Vi?” tanya juniel. Ify dan Sivia menoleh, merasa terpanggil.
                “Sivia,” Juniel memperjelas siapa yang ia maksud. Ify mengangguk lalu memandang lurus-lurus ke depan.
                “Iya, suka.” Ujar Sivia dengan senyum mengembang di wajah chubbynya. Juniel pun ikut tersenyum.
                “Gue nggak nyangka menutup toko lebih awal bisa terbayar sama sesuatu yang indah kayak gini.” Ucap Juniel. Sivia memutar bola matanya, tuh kan otak pedagangnya keluar lagi, batinnya kesal.
                “Lo sama kayak senja ini, Vi. Penutup yang sempurna, hehe.” Juniel mencoba gombal. Sivia menatap juniel heran.
                “Lo nggak melting apa gimana gitu?” tanya Juniel. Sivia terkekeh pelan.
                “Ya, dikitlah. Hehe.” Sivia tertawa. Amboi, renyah sekali tawanya.
[]
                Alvin kembali berada di tengah lapangan dengan bola sepak di kakinya. Ingat waktu kelas S-3 menang kemarin? Ya, hari ini pertandingan lanjutannya. Alvin mengoper bola yang sejak tadi ia dribble ke Danu. Ugh, yak bagus Danu menangkap operan Alvin dengan sempurna lalu menggiringnya ke gawang dan Goaal!! Yeaah! Alvin mengepalkan tangannya ke udara lantas melirik ke lantai dua gedung sekolahnya. Semoga ada Shilla disana.
                “S-3 kalian kereeeen!” teriak pendukung kelas XI-S-3. Alvin dkk semakin semangat akan adanya pemain ke –enam itu, ya kan futsal cuma lima orang, haha.
                “Alvinn, semangatt!!” ah suara samar-samar itu, Alvin tahu siapa yang punya suara itu. Siapa lagi kalau bukan Shilla. Dengan kekuatan yang seolah terisi kembali Alvin menggiring bolanya dengan semangat.
                “Alvin jago ya main bolanya?” komentar Rio polos di samping Ify. Ify yang sedang fokus pada pertandingan kelasnya.
                “Iya lah. Emangnya kamu,” ledek gadis itu.
                “Aku nggak expert banget di bola kaki tapi kalau bola tangan aku jagonya.” Sombong rio sambil tertawa. Ify melirik Rio malas.
                “Bola bekel?!” lagi-lagi Ify meledek pemuda itu. Kini giliran Rio yang melotot ke arah Ify.
                “seneng lo seneng,” Rio manyun. Ify tertawa puas, bisa juga ya cowoknya eh? Rio cowok Ify? Ah abaikan, bisa juga ya Rio manyun, mana manyunnya imut gini bikin Ify gemes.
*
                Shilla mendengar sorak sorai di bawah sana. Nama kelasnya juga dielu-elukan kerumunan siswa bhuana bangsa. Yeaaa, kelasnya menang lagi. Besok deh dia nonton langsung di tepi lapangan tidak seperti hari ini dan kemarin, ia hanya nonton dari lantai dua.
                Shilla kemudian melangkah menuju ruang pers, ia harus mulai liputan tentang pensi labsky kemarin. Ya, walaupun Shilla tidak sepenuhnya ikut pensi itu, ingat kan Shilla galau di pantai? Semoga saja kiki dan ozy punya liputan menarik sehabis mengekori Serra seharian.
                Shilla memutar kenop pintu ruang pers.
                “Eh.” Shilla terkesiap saat didapatinya Sivia dan Juniel di dalam sana. Bukan pacaran tapi lebih terlihat seperti sedang berdebat. Shilla tersenyum kikuk. Sepertinya kehadirannya mengganggu dua orang itu.
                “Sorry-sorry.” Ujar Shilla kemudian gadis itu bersia keluar dari situ.
                “Coba kamu tanya Shilla pasti dia sependapat sama gue.” Shilla mendengar namanya disebut menahan langkahnya.
                “Shilla, sini bentar coba.” Panggil Sivia. Shilla pun menghampiri keduanya. Lalu Shilla menatap keduanya heran.
                “Shill, menurut lo nih ya. Menurut lo, wajar nggak sih kalau…”
                “Udah ah, yel. Gausah dibahas lagi.” Belum selesai iyel berucap sudah disela Sivia.
                “kalian berdua kenapa sih?” tanya Shilla heran. Sivia dan Iyel saling tatap.
                “Tau tuh, Iyel nyebelin.” Jawab Sivia sambil bersedekap.
                “Oh, yaudah gih lanjutin debatnya. Eh liat Ozy apa Kiki nggak?” Shilla beralih menuju computer yang tidak jauh dari sana. Baik Sivia maupun Juniel tidak menggubris Shilla lagi, keduanya sibuk berdebat lagi.
                “Ibuu Shillaaaa.” Suara nyaring itu menggema di ruang pers. Bahkan cicitan Sivia dan Gabriel sampai tidak kedengaran karena suara itu.
                “Obat abis, Zy?” tanya Shilla. Ozy menggeleng dengan sok imutnya.
                “Liat dong, BBM gue dibales Serra. Shill, can I be happier?! Ini pertanda baik, Shill.” Heboh ozy sambil menyodorkan handphonenya pada Shilla. Shilla hanya mengangguk-angguk, mengiyakan saja biar ozy bahagia.
                “Tuh, Serra udah sama ozy.” Cerocos Sivia sambil mencubit lengan Juniel. Shilla dan Ozy sontak menoleh ke arah mereka. Oh, ini toh masalahnya! Pasti Juniel membanding-bandingkan Sivia dengan Serra.
                “Iya, yel. Gue sama Serra doain sukses ya” Ozy sudah histeris sendiri.
                “Ck, itu kan belum pasti juga.” Iyel tak terima. Sivia memandang Juniel tak percaya.
                “Eh, eh. Woles bro, woles. Gini aja kalau lo mau sama Serra nggak apa-apa, asal Sivia sama gue, gimana?” tawar Ozy sambil menaik-turunkan alisnya.  Juniel menatap Ozy tak terima lalu menarik Sivia keluar dari ruang pers.
                “Ngambek doi, hahaha.” Ozy  tertawa keras saat Juniel meninggalkan ruangan. Shilla termenung, sebenarnya kasus Iyel sama dengan Rio. Dia harus memilih antara Serra dan Sivia –ya meskipun dalam konteks bercandaan—tapi terlihat jelas kan kalau Iyel itu lebih konsisten. Sivia ya Sivia. Coba Rio seperti itu, konsisten sejak awal, mungkin hati Shilla tidak akan remuk seperti ini. Shilla mengerjap, kenapa jadi mikirin Rio sih, batinnya kesal.
                “Gimana, Shill. Lo sama dua sohib lo itu?” tanya Kiki. Lho? Sejak kapan Kiki masuk.
                “Gue udah agak baikan sama Alvin.” Tutur Shilla. Kiki hanya membulatkan mulutnya.
                “Eh, mana nih hasil kalian ngekor Serra kemarin?” palak Shilla. Kiki dan Ozy kompak nyengir lebar.
                “Tenang, ibu ketua. Kita punya reviewnya lengkap.” Jawab Kiki sambil menyerahkan flash disk putih pada Shilla.
[\]
                Alvin termenung di kelasnya yang sudah sepi. Tadi rio –ditemani Ify yang sembunyi di balik pintu—menemuinya. Tidak disangka, pemuda itu meminta maaf pada Alvin
---ooo---
                “Alvin.” Alvin yang merasa terpanggil menoleh ke sumber suara. Alvin menyipitkan matanya –yang sebenarnya sudah sipit—memastikan bahwa dia tidak salah lihat.
                “Ada apa?” tanya Alvin datar. Dia tidak ingin bersikap manis di depan pemuda yang secara tidak langsung membuat jaraknya renggang dengan Shilla.
                “Gue… minta maaf.” Ujar Rio tertahan. Terdengar tulus dan juga terdengar begitu sulit. Alvin tahu minta maaf adalah suatu hal yang sulit bagi orang model Rio. Alvin membuang muka, menatap tempat lain untuk menetralkan hatinya yang sedang berdebat. Memaafkan Rio atau tidak. Mata Alvin sempat menyambar sosok mungil yang terlihat cemas di balik pintu. Itu pasti Ify.
                “Lo minta maaf cuma karena disuruh Ify, iya?” ujar Alvin tajam. Rio terkesiap, tidak menyangka akan seperti ini respon Alvin. Rio menggeleng.
                “Enggak. Gue minta maaf atas kemauan gue sendiri. Ify cuma nunjukin gue caranya, Ify cuma ngajarin gue. Ini murni dari hati gue, Vin. Bukan disuruh Ify.” Jelas Rio. Alvin menghela napasnya kentara. Baiklah, kalau Rio tulus.
                “Iya, gue maafin. Inget, forgiven not forgotten. Gue nggak bakal lupa apa yang udah lo perbuat, bro.” ujar Alvin akhirnya. Rio menepuk pundak Alvin.
                “Thanks, gue bakal minta maaf ke Shilla juga kok.” Rio melengkungkan senyum terbaiknya, senyum kelegaan. Satu lagi bongkahan es besar itu meleleh menjadi air tenang yang menyejukkan. Semoga seperti ini seterusnya, semoga air itu tidak menenggelamkan Rio maupun masalahnya begitu saja.
---ooo---
                Suara resleting tas yang ditutup membuyarkan lamunan Alvin. Alvin menoleh tahu siapa yang melakukan hal itu.
                “Mau kabur?” cerca Alvin yang sudah duduk di meja si empunya tas.
                “Enggak lah, masa iya seorang Tiara Shilla ingkar janji.” Sahut Shilla santai. Alvin mengangguk mengerti.
                “Tapi gue lagi nggak mau keluar ke mall apa kemana gitu.” Ujar Shilla sambil menggaruk tengkuknya. Alvin mengangguk lagi.
                “Nggak apa. Ke rumah gue aja, gimana?” tawar Alvin. Shilla mengangguk antusias lalu segera menarik Alvin keluar dari kelasnya.
[/]
                Shilla pulang ke rumah pukul lima sore. Tadi ia nonton film di rumah Alvin, lumayanlah bioskop gretong eh gratis. Di rumah Alvin tadi ia disuguh cupcake, mm yummy. Tapi ada yang kurang, well tidak ada Ify. Jujur ya, Shilla kangen banget sama Ify tapi ya gimana lagi, masalah yang –mendadak jadi—complicated ini membuat Shilla pikir-pikir dulu buat ketemu Ify.
                “Mbash, baru pulang?” celetuk Acha saat Shilla membuka pintu kamarnya. Shilla melempar tasnya sembarang.
                “Lu ngapain di kamar gue?!” omel Shilla pada adiknya itu. Acha memutar bola matanya malas.
                “Ahelah. My lovely beauty sister, lupa ya? Kamar gue baru diset ulang. Banyak pikiran sih lu, adik sendiri jadi kelupaan, huh.” Acha balas menyemprot kakaknya itu. Shilla hanya menoyor Acha pelan lalu menjatuhkan dirinya di kasur. Shilla menatap langit-langit kamarnya, biasanya kalau sedang capek begini Shilla langsung tertidur setelah menatap langit-langit kamar. Tapi, akhir-akhir ini hal itu tidak terjadi.
                “Chaa?” panggil Shilla pada Acha yang sedang membolak-balik majalahnya.
                “Hmmm?” sahut Acha.
                “Gue harus gimana, Cha? Puyeng gue.” Keluh Shilla sambil memijit keningnya.
                “Kenapa sih, kak?” tanya Acha penasaran, lalu menutup majalahnya.
                “Gue sama Ify…”
                “Kenapa lo sama Kak Ify.” Potong Acha.
                “Ih, Raisa Safanah kayak kereta lo nyamber mulu, dengerin gue dulu kenapa?” sewot Shilla. Acha langsung diam dan memandang kakaknya lekat-lekat.
                “Kita suka sama cowok yang sama.” Lanjut Shilla lesu. Acha terlihat kaget.
                “Tapi cowok itu sukanya sama Ify sekarang. Dan sekarang gue sama Ify kayak… musuhan.” Shilla melengos.
                “Lo udah berusaha minta maaf belum, mbash?” tanya Acha hati-hati. Shilla menggeleng lemah.
                “Gue takut, gue nggak bisa, Cha.” Jawab Shilla bergetar.
                “Tiap gue ngeliat Ify, gue ngerasa bersalah. Gue lupa kalau Ify suka sama cowok itu jauh sebelum gue sama dia. Tapi, gue juga nggak tahu kenapa Ify kesannya ngebiarin gue suka sama dia. Jujur, gue bingung sama itu cowok, sama Ify juga. Mereka pacaran, tapi seakan-akan Ify ngizinin cowoknya itu selingkuh sama gue,” air mata Shilla tumpah seketika. Acha segera merangkul kakaknya itu.
                “Udah, Shill. Udah.” Acha mencoba menenangkan Shilla.
                “Gue bisa ngerasain gimana nyeseknya jadi elo. Tapi kalau Mbash beneran sayang sama Kak Ify, kakak minta maaf ke dia gih, jangan jadi kucing-kucingan gini. Kalau ada yang Mbash nggak ngerti, Mbash kan bisa tanya ke Kak Ify. Kak Ify pasti punya penjelasannya kok Mbash. Kalau Mbash terus-terusan takut kayak gini sampai tua juga nggak bakal selesai masalah ini. Kak Shilla, harus berani minta maaf ya, okay?” Acha memandang lembut kakaknya yang sedang kalut itu. Shilla mengangguk. Beruntungnya punya adik pengertian seperti Acha.
[/]
                Bukan hanya Shilla yang sedang kalut, Ify juga sama kalutnya. Gadis itu sedari tadi bergulingan di atas ranjangnya. Bingung harus bagaimana. Tadi siang, Rio sudah meminta maaf pada Alvin. Misi Rio –dan juga Ify—tinggal satu, minta maaf pada Shilla.
                Drrttt… drrrtt… kringg… kring…
                Alvin Jo is calling…
                Ponsel Ify berdering membuat Ify berjalan tergesa-gesa meraih ponselnya yang tergeletak di meja belajarnya.
                “Halo,” sapa Ify pada Alvin di seberang sana. Hening sebentar.
                “Emm, fy. Gimana kabar?”
                “Basa-basi banget sih, piin. Ada apa?” tanya Ify gemas. Alvin tertawa kikuk di seberang sana.
                “Err, soal Shilla. Gini…” Ify mendengarkan Alvin baik-baik.
                “Gini, Fy. Gue kan sama Shilla udah baikan, tadi gue bilang sama dia. Dia harus cepet-cepet baikan sama lo.” Ify diam, speechless.
                “Tapi, dia masih bingung gitu sama kayak lo. Errgh, dasar cewek-cewek.” Gerutu Alvin. Ify terkekeh pelan menanggapi perkataan Alvin. Ya, mau gimana lagi sudah kodratnya wanita kalau gengsinya gede.
                “Sehari, dua hari deh lo siap-siap disamperin Shilla atau lo yang nyamperin.” Perintah Alvin.
                “Tapi, vin…”
                “Tapi apa lagi sih Fy. Lo mau sampai kapan kaya gini sama Shilla. Udah deh simpen dulu gengsinya. Lo udah gede, fy. Nggak usah takut ngakuin kesalahan, gue juga udah bilang gitu ke Shilla. Oke, fy?” cerocos Alvin membuat Ify terdiam.
                “Udah dulu ya, Fy. Bye..”
Alvin sudah memutuskan sambungan teleponnya. Ify menatap kosong ponselnya lalu jatuh terduduk di lantai. Ify menatap ke arah jendela, salah satu jalan masuk dan keluar udara dan cahaya selain pintu. Ify termenung, Alvin sudah memberinya jalan keluar untuk masalah ini. Ify tidak perlu takut untuk meminta maaf dan mengaku salah.

Kamu tahu apa guna matahari?
Tentu, matahari menyinari dunia ini, menghangatkan bumi, tanpanya kita akan kedinginan bukan? Tanpa sinarnya, iya kan?
Iya. Kamu seperti matahari juga buatku. Tanpa kamu, aku akan tetap dingin dan membeku sendirian. Terima kasih, ya!
Rio memandangi Ify yang tengah menyemangati tim kelasnya.
                “Ayo, dipo. Ayo!!” teriak gadis itu antusias. Ify memang selalu total dalam semua hal yang dilakukan gadis itu. Tidak peduli risiko yang akan diterimanya, meskipun risikonya adalah Ify yang sakit hati. Rio sudah melihat betapa totalnya Ify. Karena berusaha mendapatkan uhmm Rio, Ify (pertama-tama) rela demi terluka mencomblangkan Shilla dengan Rio. Lalu, keduanya Ify harus perang dingin dengan Shilla karena Rio. Rio menghembuskan napasnya, ia cukup jahat ya kalau dipikir-pikir.
                “E-eh? Rio mau kemana?” tanya Ify saat rio beranjak dari duduknya.
                “Nyari Juniel.” Bohong Rio. Tapi toh, Ify tidak tahu, ia iyakan saja rio berlalu dari sana, lalu kembali menyemangati tim futsal kelasnya.
                Rio menyusuri jajaran siswa yang menonton pertandingan futsal. Ia hanya mencari satu orang. Oh, itu dia disana di antara anak-anak yang membawa drum. Tengah serius memperhatikan, sesekali ia tertawa. Lalu ia berteriak keras-keras membuat anak-anak yang memukul drum menutup telinga mereka. Lalu orang itu manyun sebentar lantas berteriak lagi. Tapi kali ini ia yang menutup telinganya karena suara dentuman drum itu sepertinya tepat mengenai gendang telinganya.
                Rio tersenyum tipis. Itu dia gadis polos yang dulu ia kejar setengah mati.
Matahari, aku melihat awan…
Dia menutupimu membuatku merasa teduh
Tapi, aku akhirnya membuat awan mendung, matahari
Aku membuat awan itu menjadi hujan, matahari
Aku tahu kau tidak marah saat ia menutupi sinarmu sebentar
Tapi, matahari… aku tahu kamu kecewa saat aku membuat awan itu menangis, iya kan?
Maaf ya matahari. Aku tidak bisa memilih awalnya, matahari atau awan.
                Rio mendekati kerumunan anak-anak dengan drum itu.
                “Shilla.” Panggil Rio sedikit keras agar suaranya tidak tertelan dentuman drum. Shilla menoleh, lalu rautnya sedikit terkejut saat mendapati Rio yang memanggilnya.
                “Kesini sebentar.” Pinta Rio sambil tersenyum tipis. Shilla menoleh ke teman-temannya yang memegang drum –kiki dan Ozy—keduanya mengangguk. Shilla pun berdiri dan berjalan menuju Rio. Keduanya pun berjalan menuju teras kelas XI yang sepi.
                “Bukannya aku dulu udah bilang kalau…”
                “Iya, kalau kamu yang bakal nemuin aku dulu, gitu kan?” Rio memotong perkataan Shilla. Shilla mengangguk pelan.
                “Gini, maafin aku ya?” ujar Rio sambil menatap Shilla dalam-dalam. Mata polos Shilla juga menatap mata Rio. Disana, Rio melihat kilau Shilla yang meredup seperti mendung.
Awan, jadilah seperti saat kali pertama aku melihatmu
Putih cerah, cerialah seperti dulu awan
Hapuslah kelammu, hapuslah mendungmu
                “Shilla, aku tahu kamu merasa bersalah. Tapi, ini semua bukan salah kamu. Bukan salah kamu kalau kamu mmm suka sama aku.” Rio mencengkeram bahu Shilla. Shilla sedikit terperanjat dengan perlakuan Rio.
                “Terimakasih ya sudah suka sama aku, itu keinginanku sejak aku lihat kamu. Aku dulu berharap seorang Tiara Shilla bisa suka sama aku. Dan sekarang itu sudah terwujud.” Rio tersenyum tenang.
Awan, kamu tahu?
Duniamu bukan cuma matahari, bukan cuma siang
Kamu ingat malam?
Iya, kamu memang tidak begitu nampak saat malam
Tapi, bukan berarti malam melakukannya karena ia membencimu
Justru ia melindungimu, Awan
Percayalah, dan buktikan sendiri kalau dia benar melindungimu
                “Tapi sayang aku terlalu jahat, ya Shill? Aku berbalik menyukai hal lain saat kamu mulai menoleh ke arah aku. Dan bodohnya, aku nggak tahu saat itu kamu belok arah, sementara aku terus jalan bukan ke arah kamu, tapi arah lain.” Rio menghembuskan napasnya berat. Rio lalu melepas cengkeramannya pada bahu Shilla, lalu ia melihat sekilas ke lapangan, mata cokelatnya menyambar sosok pemuda yang sibuk mendribble bola.
                “Maaf, Shilla. Aku sudah buat kamu patah hati. Maaf, karena aku sudah hampir…” Rio tak sanggup meneruskan kalimatnya. Shilla mengangguk mengerti, ia tahu apa yang akan dibilang Rio.
                “Udahlah Rio. Aku maafin kamu,” ujar gadis itu tulus. Shilla menepuk-nepuk pundak Rio.
                “Soal Ify dan Alvin, bukan sepenuhnya salah kamu. Aku juga salah, aku terlalu pengecut buat tanya apa yang sebenernya. Aku memilih menjauh dan bikin spekulasi sendiri. Kamu tahu? Itu nggak membuat aku lebih baik. Aku jauh lebih buruk malahan, sibuk mikir yang enggak-enggak soal Ify, Alvin, dan kamu. Maafin aku juga ya?” Shilla mengulurkan tangannya pada Rio. Rio meraihnya dan menjabat erat tangan Shilla.
                “Umm, Shill?” panggil Rio lagi.
                “Iya?” jawab Shilla.
                “Kalau butuh tempat move on, gue tahu siapa yang tepat.”
                “Siapa, yo?” tanya Shilla.
                “Mmm, Alvin.”
Malam, aku percaya kau akan menjaga awan
Meskipun kamu terlihat gelap tidak sepenuhnya kamu gelap
Kamu sama teduhnya seperti awan
Dan kamu sama baiknya seperti matahari
Malam, jagalah awan secara blak-blakan
Jangan sembunyi dibalik gelapmu
Aku tahu, diam-diam awan sepertinya mengharapkanmu
                Alvin dkk melakukan selebrasi saat akhirnya tim futsal kelas mereka menang. Alvin lalu menghambur ke teman-teman sekelasnya yang setia menyemangati Alvin dan yang lain tadi saat bertanding.
                “Thanks ya guys.” Teriak Alvin lantang. Teman-temannya mengangguk antusias juga ada yang berteriak sambil memeluk Alvin anarkis. Ify lalu menyenggol Alvin dengan sikunya.
                “Toss dulu, hehe.” Ujar Ify sambil terkekeh. Alvin dan Ify pun high five.
                “Gue ke yang lain dulu ya,” pamit Ify lalu beralih ke Dipo. Alvin mengusap peluhnya. Dimana Shilla? Batinnya
Brukk. Punggung Alvin ditubruk seseorang. Eh bukan ditubruk tapi lebih tepatnya di peluk.
“Alvin, selamat ya.” Alvin mengenali suara itu dengan baik. Itu Shilla. Dengan gerakan cepat, Alvin meraih tangan Shilla yang melingkar dipinggangnya.
“Cieee.” Anak kelas S-3 kompak menggoda Alvin dan Shilla. Tapi, keduanya tidak peka. Shilla tetap memeluk Alvin, seakan takut kalau ia melepaskannya ia tidak bertemu Alvin lagi.
“shilla, lo nggak mau nemuin Ify?” dari banyak kalimat yang ingin ia sampaikan pada Shilla. Kalimat itu yang keluar. Shilla melepas pelukannya, Alvin berbalik dan menatap gadis itu.
“now or never?” tawar Alvin mutlak.
Akulah salju
Tapi kini aku mengingkari siapa aku karena kamu, matahari
Sinarmu itu menghangatkanku, menghilangkanku saat musim semi tiba
Kurasa semi ini, giliranku menghilang
Berubah menjadi apa aku?
Jadi uap yang membentuk awan atau air yang mengalir menjalin takdir
                “iyel!” panggil Junio. Yang menoleh bukan juniel, melainkan gadis berpipi gembul, Sivia. Partner debat Juniel yang baru.
                “Apa woy?” sahut Juniel yang ikut menoleh sesaat setelah Sivia menoleh.
                “Gue udah minta maaf ke awan eh maksud gue Shilla.” Jawab Rio sumringah. Juniel menautkan alisnya, begitu juga Sivia, eh kompak ya mereka? Juniel pun mendekati Rio lalu memeluk saudara kembarnya itu.
                “Good! That’s what a gentleman does.” Ujar Juniel bangga sambil menepuk-nepuk pundak Junio.
                “Gentleman apanya. Php iya.” Celetuk Sivia membuat Juniel mendelik. Pemuda itu kembali ke arah Sivia.
                “Jadi menurut lo itu nggak gentle?” balas Juniel tak terima. Rio menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ah, mulai lagi deh, batin Rio gemas. Lalu ia berlari meninggalkan Iyel yang akhirnya beradu argument dengan Sivia. Ia harus menemui Ify, segera!
Matahari, aku lihat awan itu menujumu
Jangan menjauh matahari
Ia tidak akan mengambil seluruh hangat sinarmu
Ia rindu padamu, rindu mengganggumu, ia sungguh rindu
                Shilla berulang kali menatap Alvin lalu ujung sepatunya. Begitu terus lima menit terakhir ini. Mereka masih berdiri di tempatnya tadi.
                “Now or never?” tawar Alvin lagi. Shilla menggigit bibir bawahnya, sulit rasanya menjawab Alvin.
                “Now.” Shilla bergumam pelan. Alvin pun mendorong Shilla ke belakang Ify. Membuat Ify berbalik menatap Shilla. Shilla menatap Alvin bingung. Alvin melotot kea rah Shilla, membuat Shilla takut.
                “Fy,,” cicit Shilla.
                “Iya, shill?” balas Ify dengan tatapan hangatnya. Shilla mendadak kehilangan sederet kalimat yang sudah ia hapal sejak semalam. Shilla akhirnya memeluk Ify. Gadis itu menangis. Ify membalas pelukan Shilla.
                “Maafin aku, Fy.” Ujar Shilla disela tangisnya. Ify mengangguk.
                “Iya.” Ify tahu banyak yang ingin disampaikan Shilla. Shilla’s tears speak everything, kalian tahu kan tears are unspoken words.
                “Jangan nangis, Shill. Muka lo kan jelek kalau habis nangis, eh?” Shilla sontak melepas pelukannya. Bagaimana bisa Ify bilang begitu di saat yang sesyahdu ini.
                “Ify, lo kok nggak bisa sweet dikit gitu. Pantes lo nggak punya cowok.” Gerutu Shilla sambil bersungut-sungut.
                “Heh. Ify mah punya Rio. Lo tuh yang nggak punya cowok.” Sambar Alvin. Shilla mendelik ke arah Alvin. How can you be? Begitu mungkin yang tertulis di dahi Shilla.
                “hhh. Gue baikan niatnya bukan buat jadi bullyan, astaga.” Cicit Shilla kemudian berlari meninggalkan Ify dan Alvin. Ify dan Alvin terkikik di tempatnya.
                “Gimana, Fy?” tanya Rio yang tiba-tiba saja sudah ada disana. Ify hanya tersenyum, rio pasti tahu jawabannya.
It’s called the melt down.
Bagaimana sebuah hati yang tadinya membeku, meleleh begitu menemukan cinta.
Kamu tahu kan film Frozen? Trollnya pernah bilang hanya perbuatan cinta kasih yang bisa melelehkan hati Anna yang terkena es dari Elsa. Awalnya, aku tidak percaya. Ah, itu hanya bisa-bisanya si pembuat film saja. Tapi, pernah dengar kan kata orang kalau kau tidak akan percaya sebelum kau mengalaminya sendiri kan. Nah, aku sudah mengalaminya, aku percaya bahwa cinta adalah matahari bagi hati yang membeku. Perlahan, ia akan menghangatkanmu lalu pelan tapi pasti akan meleburkan es di hatimu itu. Mengubah es itu menjadi gumpalan awan ataukah air yang mengalir. Yang jelas, jadi apapun itu, ia tidak akan menyalahi takdir. Aku percaya itu. – Rio.

SELESAI
Hai, jadi cerbung ini sudah tamat, akhirnyaaa.
Maap nyak kalau jadi begini akhirnya, I just can't ah...sudahlah, aku gabisa membuat akhir yang baik lah intinya, maap nyak. maap D':
terimakasih buat kalian yang senantiasa googling 'melted part...' siapapun kalian, saya berterimakasih karena sudah mau menyimak dan membaca cerita saya.
maaf kalau selama ini terlalu banyak keabsurd-an dalam cerita yang menjadi debut saya ini *halah*
MAAP NYAK KALAU ENDINGNYA GAJELAS GINI WKWKW
tinggalkan komentar ya, plis. sekali ini aja, kan udah end :(
ohya, rencananya nanti akan ada bonus part lhooo xD
oke, udahlah. Makasih dan Minal Aidzin wal Faidzin 
lavvyuu guyysss
@citr_  

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang