Minggu, 20 Juli 2014

Melted [15]



Hai, balik lagi nih tjoyy.
Maaf ya agak lama, galau sbmptn sih haha nggak ding.
Ya, akhir-akhir ini jarang buka word sih, hehe
Udah ah, nih part 15nya :)
Enjoy....
 


PART 15
                Mommy, you are always somewhere
                Daddy, I live outta town
                Tell me how it could ever be
                No more somehow
                Juniel memperhatikan foto besar yang selama ini terpampang di ruang tamunya. Sepasang suami istri dan putra kembar mereka, iya itu foto keluarganya. Foto saat ia dan adiknya, Rio berusia 10 tahun. Tahun terakhir semuanya seperti yang nampak di foto besar itu. Ayahnya belum sesibuk sekarang. Ibu selalu ada di rumah dengan dongeng-dongeng ajaibnya. Semuanya baik-baik saja. Teramat baik seingat pemuda itu.
                Tapi bukan berarti semuanya tidak baik-baik saja. Mengesampingkan masalah keluarga, satu hal yang baik dari semuanya yang telah terlewati adalah keadaan keuangan keluarga dan perusahaan waralaba Ayah yang semakin baik saja. Ya, itu saja yang baik. Lainnya? Semuanya bobrok menurut Juniel.
                “Iyel.”
                Juniel menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Juniel tercekat, itu….
                “Mama,” lirihnya.
                Iya, itu ibunya. Ibunya yang bilang akan pulang seminggu lalu. Kini sudah ada di depan Juniel sendiri. Wanita itu segera menarik Juniel dalam pelukannya. Juniel tak menolak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana ia selalu menolak pelukan Ibunya ataupun Ayahnya. Kali ini, Juniel mengalah saja, toh ia juga sangat rindu pelukan ibunya. Biar Mama memeluknya saat ini. Biar Mama yang mencairkan hati Juniel dengan pelukannya yang super hangat.
                “Mama,” panggil Juniel di rengkuhan Mama. Mama tak menjawabnya, hanya mengelus punggung putranya yang kini tingginya sudah melebihi dirinya. Ia sudah melewatkan banyak hal sepertinya.
                “Mama?” suara lain itu membuat Juniel melepaskan pelukannya. Ia dan juga Mama menoleh ke sumber suara. Yang ditatap hanya berdiri mematung, tidak tahu harus bagaimana.
[]
                “Mama?” panggil Rio
                Mama, baru kali ini Rio mengucap kata itu lagi setelah sekian lama. Rio tidak pernah lagi menyapa Ayah dan Ibunya di dunia nyata mmm., maksudnya saat mereka bertatap muka secara langsung. Sudah lama sekali saat Rio memanggil nama keduanya hingga Rio akhirnya lupa caranya. Terlebih lagi, sepertinya es dalam hatinya telah membekukan kata Mama dan Ayah. Membuatnya semakin sulit mengucap dua kata sederhana itu.
                Tapi sekarang, entah kenapa Rio memanggil nama itu lagi, mengucapa ‘Mama’ dengan napas tertahan menahan sesuatu, rindu. Saat tadi ia turun dari kamarnya, ia mendapati Mama tengah memeluk Juniel. Hal yang terakhir Rio lihat enam tahun yang lalu. Rio membeku, langkahnya seakan terhenti begitu saja saat menyaksikannya. Iyel tidak berontak, mengingat tidak jarang Iyel menyentakkan tangan Mama saat hendak memeluknya. Juniel tenang di pelukan sang Mama, satu hal yang diketahui Rio, hati Juniel telah mencair.
                Rio menyentuh dadanya yang mulai terasa sesak –sekaligus hangat bersamaan—. Rasa rindu kepada Mama yang bertahun-tahun ia pendam menyembul. Rindu yang hangat itu menjebol dinding es yang menyelubungi hatinya. Rindu yang hangat itu mencairkan kegengsian dan keegoisannya. Perlahan rindu itu membuat mulutnya bersuara lirih, mengucap kata Mama.
                “Mama,” Rio mengulangnya. Hatinya  lega saat ia mengucapkan kata itu. Kata sederhana yang selalu ia gunakan untuk memanggil ibunya. Mama, sebutan sederhana untuk wanita yang telah membuat Rio melihat dunia. Sebutan sederhana untuk wanita yang menjaga Rio –dan juga Iyel- semenjak di dalam kandungannya. Sebutan sederhana untuk wanita yang teramat Rio sayangi.
                “Rio,” suara lembut Mama membelai telinga Rio. Rio melangkah menuju Mama dan Iyel. Suara tadi seakan mengomando Rio untuk srgera menuju Mama. Saat Rio sampai di depan, Rio menubruk Mama dengan pelukannya.
                Mama sedikit tersentak dengan perlakuan putranya itu. Tapi mama maklum, lalu ia membalas pelukan hangat Rio. Mama juga mengelus rambut Rio penuh cinta. Membuat kepingan rindu Rio menguap seketika menjadi hujan kebahagiaan.
                “Anak kembar Mama sudah besar sekarang,” ujar Mama pelan –menahan haru dan penyesalan- menyesal melewatkan pertumbuhan dua jagoan kembarnya. Rio dan Iyel tersenyum, dan ah Ya Tuhan. Senyum mereka persis, membuat siapa saja yang melihatnya terpesona. Hal yang baru disadari Mama, senyum keduanya persis senyum Anwar, Ayah mereka.
                “masa iya kita kecil terus, ma.” Celetuk Iyel sambil tersenyum sumir. Mama mengacak rambut Iyel gemas. Iyel lalu menggamit lengan kiri mama, mengajak Mama ke tempat yang telah ia dan rio siapkan khusus untuk Mama. Rio seakan tak mau kalah meraih lengan kanan Mama. Ia tahu kemana Juniel akan membawa mama pergi, ah ya telepati kembar.
[]
                Gelak tawa memenuhi halaman belakang rumah rio dan Iyel. Mama barusan bercerita tentang masa kecil mereka tepatnya aib masa kecil mereka. Rio dan Iyel bergantian membela diri, membantah cerita Mama. Tapi Mama tetap kekeuh kalau ceritanya memang benar begitu. Membuat si kembar Juni hanya bisa pasrah.
                Acara minum the yang direncanakan Ify dan sivia berhasil. Bongkahan es di hati juniel dan junio meleleh seketika. Juga jarak mereka yang teramat renggang dengan sang Mama terhapus. Rio harus berterimakasih pada ify, harus! Secepat mungkin, batin Rio.
                “oh, jadi kalian disini.” Suara berat itu menggema di sela tawa si kembar Juni dan Mama.
                “Ayaaaah!!” pekik Junio dan Juniel bersamaan. Keduanya pun bangkit lalu menggiring ayah duduk di sebelah mama.
                “kalian dihukum karena membolos pelajaran bisnis ayah,” ujar ayah –pura-pura- galak. Rio dan Iyel tampak tak takut, malah mengulum senyum jahil mereka.
                “Hari ini libur dulu, Yah.” Celetuk juniel sambil menuangkan teh untuk Ayah. Sementara, junio asyik memijit lengan ayah. Mama dan ayah tergelak melihat kelakuan putra kembarnya. Sudah terlalu lama mereka tidak begini. Biarlah mulai hari ini, sore ini, detik ini, es yang menyelubungin keluarga mereka runtuh dan cair. Semoga seterusnya mereka menjadi keluarga yang seperti ini. Selalu tersenyum lebar di foto besar yang terpampang di ruang tamu. Semoga.
[]
                Suasana di lapangan SMA Bhuana Bangsa riuh. Siswa kelas XI-S-3 bertanding futsal dengan XII-A-1. Ify beserta teman-teman sekelasnya sibuk berteriak, menyoraki kelas mereka yang sedang bertanding. Sesekali Ify meneriakkan nama Alvin yang juga ikut bertanding. Namun di kerumunan kelas S-3 itu tidak ada Shilla disana.
                Gadis itu tak ikut menyaksikan pertandingan futsal di tepi lapangan seperti teman-temannya. Shilla menonton dari lantai dua. Lantai dua sepi karena hampir seluruh siswa menyatu di tepi lapangan. Suasananya yang sepi membuat pikiran Shilla yang blunder karena bertemu Rio tempo hari menjadi lebih tenang dan lebih jernih.
                “Nggak turun Shill?”
                Eh? Shilla menoleh kaget, Kiki ternyata.
                “Enggak disini aja,” sahut Shilla lalu fokus ke lapangan di bawah sana.
                “Lo masih berantem sama Ify-Alvin?” tanya Ozy, yang tiba-tiba saja datang. Ulala, memang ya Kiki-Ozy ini nggak bisa dipisahkan. Ada Kiki pasti ada Ozy mirip pepatah ada gula ada semut, eh?
                Shilla menatap dua cowok itu bergantian lalu mengangguk lemah. Masih, isyarat Shilla.
                “Tapi kemarin kalian pulang bareng kan?” ujar Ozy polos. Shilla mengangguk lagi, membenarkan.
                “Tapi kita nggak bahas itu. Belum.” Jawab Shilla lirih, Kiki dan Ozy mengangguk paham. ‘Itu’ yang dimaksud Shilla adalah kotak pandoranya, masalah mereka yang sesungguhnya.
                “Gue belum nemu timing yang pas buat ngomonginnya.” Lanjut Shilla, ia jadi ingat kata Sivia waktu di donat bakar dulu.
                “ lo harus cari waktu yang tepat buat ngomongin masalah ini.”
                “Nggak perlu buru-buru. Tunggu hati lo tenang, hati lo siap. Nggak perlu dibahas kalau lo belum siap.”
                “Pensi Labsky aja, Shill?” usul Ozy yang langsung dihadiahi jitakan dari Kiki.
                “Adaaaw!” ringis Ozy pelan.
                “Pensi itu bukan waktu yang tepat buat bahas masalah ini, odong.” Ujar kiki dengan tampang serius.
                “Terus momen apa dong?” tanya Shilla penasaran.
                “Momen gue pdkt-an sama Serra, haha.” Jawab Kiki percaya diri. Tawa Shilla pecah seketika sementara Ozy kini gentian menjitak Kiki.
[]
                Siswa kelas S-3 mengiring Alvin dkk yang tadi bermain futsal bak pemenang piala dunia. Kelas mereka menang tipis atas XII-A-1. Shilla yang asyik menonton layar laptop Oik mengalihkan perhatiannya sebentar. Lalu gadis itu menyalami satu per satu temannya yang bermain futsal tadi. Namun, shilla langsung melenggang pergi saat Alvin hendak meraih tangannya.
                Alvin mencelos, sedih juga dicuekin Shilla. Shilla juga kenapa sih jadi bunglon begini? Kemarin ceria-ceria saja eh sekarang menatap Alvin saja, Shilla ogah-ogahan.
                “Udahlan, vin,” Ify menepuk pundak Alvin pelan. Alvin mengangguk mengerti lalu beralih menuju bangkunya. Ify menyodorkan air mineral pada cowok berwajah oriental itu.
                “Makasih.” Ify mengangguk sambil tersenyum. Alvin lalu meneguk air mineral itu sampai habis.
                “Onta.” Cibir Ify sambil terkekeh pelan. Alvin hanya tersenyum menanggapinya. Senyum Alvin perlahan memudar saat ia dapati siapa yang di depan pintu kelas.
                “Dicariin tuh.” Ujar Alvin pada Ify. Ify mengikuti arah pandangan Alvin. Ify mendengus pelan lalu bangkit dari duduknya malas. Tapi, tatapan Rio yang memelas membuatnya tak tega, Ify setengah berlari menuju Rio.
                “Ada apa?” tanya Ify ketus. Rio menarik Ify menjauh dari kelasnya, mereka menuju taman. Ify bersedekap tak lagi berniat bertanya ada apa.
                “makasih ya.” Ujar Rio terdengar tulus.
                “Buat apa?” tanggap Ify datar. Rio menarik napas sebentar lalu menghelanya.
                “Buat ide kamu.” Jawab Rio tenang. Sebelum Ify mencicit, Rio meneruskan kalimatnya.
                “Ide minum teh. Kemarin Mama dan Ayah pulang.” Rio tampak sumringah. Ify menoleh kea rah Rio yang tengah tersenyum. Satu balok es di hati Rio telah mencair. Dalam hati, Ify bersyukur dan lega juga. Akhirnya satu masalah dalam hidup Rio teratasi. Semoga masalanya dengan Ify dan Shilla juga segera teratasi.
                “Ify?” panggil Rio.
                “Hmm?” jawab gadis itu.
                Detik berikutnya, Ify tercekat. Tidak mungkin! Batinnya tak percaya.
[]
                Hari yang dinanti siswa Labsky dan juga publik-mmm, siswa SMA lain- pun tiba. Hari ini pensi Labsky digelar. Pensi yang diadakan di daerah Ancol, daerah dekat pantai di utara Jakarta lantaran tema tahun ini Sea you tomorrow, yang intinya tema lingkungan agar generasi muda merawat laut, merawat lingkungan sekitar lah.
                Shilla begitu semangat, pagi-pagi ia sudah dijemput Kiki dan Ozy. Setelah berpamitan dengan Mama dan Papa, ia bergegas masuk ke mobil Ozy. Hari ini, ia harus bersenang-senang.
                “Let’s go.” Komando Shilla. Dan mobil ozy segera meluncur menuju Ancol. 


**
Wkwk, so how was it?
Oiya, ini totally fictive ya! :) soal pensi Labsky itu ngarang banget, wqwq. Jangan percaya. 
Drop a comment puhleasse? :) *puppy eyes*
Keep in touch. : @citr_ on twitter and @cipat on ask.fm :) 
Luuuvv <3 

0 komentar:

Posting Komentar

Bukan cuma juri Idol yang bisa, kamu juga bisa komen :3

 

Cerita Fufu Fafa Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang